3

570 58 0
                                    

Milo tidak pernah mengingat siapa dirinya, orang tuanya, dan mengapa Ia bisa berada di tempat ini.

Semuanya begitu buram. Beberapa kali Ia mencoba, Ia tidak bisa menemukan jawabannya.

Di tempat ini, dikatakan sebagai kantor polisi, banyak beberapa orang berseragam berlalu lalang di hadpaannya. Seorang pria yang tadi membawanya sudah pergi meninggalkannya sendiri. Membuat dirinya semakin merasa cemas dan takut dengan kondisi yang sedang di alamnya.

Sebelumnya Ia sempat mendengar beberapa orang bertukar percakapan. Mengatakan kalau dirinya adalah korban dari kebakaran besar di suatu rumah mewah. Ditemukan dalam keadaan tidak sadar dan tanpa luka sedikitpun disekujur tubuh. Mereka beranggapan mungkin orang tua 'nya' membantu dirinya keluar rumah agar dapat selamat.

Milo tidak yakin dengan itu. Ia juga tidak yakin dengan nama 'Milo' yang dilontarkan oleh salah satu petugas setelah mencoba mencari identitasnya.

Dari posisinya, Ia bisa melihat matahari yang sudah tenggelam. Di luar minim pencahayaan dari bulan, Milo berpikir matahari mematikan sinarnya untuk sejenak dan meminta sahabatnya bulan menggantikannya menyinari.

Terhitung pula sudah beberapa jam terlewat sejak Ia masuk ke tempat ini. Dan Ia lapar.

Suara langkah kaki mengalihkan perhatian Milo dari jendela. Ia melihat kedepan, mendapati seorang wanita dengan pakaian sederhana berjalan mendekatinya bersama petugas yang membawanya kemari.

Keduanya berhenti dihadapan Milo. Wanita itu menatap Milo prihatin, seolah wanita itu ikut mengalami kejadian yang Milo lewati.

"Ini bu anak yang ku maksud. Ia tidak memiliki sanak saudara yang dapat dihubungi, jadi kuharap ibu tidak masalah untuk membawanya ke panti asuhan."

Percakapan keduanya tidak terlalu dapat didengarnya. Milo memilih mengabaikannya. Pastinya Ia akan di buang ke panti asuhan karena 'kedua orang tuanya' sudah mati karena kejadian kebakaran itu. Dan anehnya tidak ada sedikitpun sanak saudara dari pihak ibu atau ayahnya yang dapat di hubungi. Atau sejak awal itu memang tidak ada.

Wanita itu akhirnya merendahkan dirinya di hadapan Milo. Mencoba meraih kedua tangannya yang langsung di tepis, wanita itu tidak melunturkan senyumnya.

"Kudengar nama mu Milo." Wanita itu mengalihkan kedua tangannya di depan lututnya sendiri. "Namaku Berlie. Pemilik panti asuhan Star tidak jauh dari kantor polisi ini. Salam kenal."

Milo tidak membalas. Ia mengalihkan perhatiannya membuat pria dibelakang Berlie menggeram kesal.

"Hei, kamu—"

Itu dihentikan ketika Berlie mengangkat tangan kanan, memberitahu untuk tidak melanjutkan dan kemudian wanita itu berdiri.

"Di tempatku ada beberapa anak sepertimu." Ucapnya masih dengan senyum terbit di bibir. "Kurasa mereka akan senang saat tahu akan mendapatkan teman baru."

Bukan keinginannya ketika tangannya terangkat meraih ujung pakaian Berlie. Rasa cemasnya berkurang serta rasa ingin bersama wanita itu bertambah setelah Berlie melanjutkan ceritanya tentang anak-anak panti asuhan.

Satu hal yang Ia tahu. Ia setuju untuk ikut bersama Berlie ke panti asuhan.

---

Ia pikir setidaknya tinggal di panti asuhan akan menjadi tempat yang nyaman baginya. Tidak sampai Ia bertemu oleh anak liar pertama kalinya ketika sampai bersama Berlie. 

Handuk basah di wajahnya sudah menunjukkan betapa kasar anak yang berdiri menjulang dihadapannya. Dengan tangan di pinggang, beberapa kata kasar dilontarkan untuknya. 

[BL] NoelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang