Terhitung sudah tiga hari Luna absen dari kantor, sudah tiga hari pula Gio tidak dapat bertemu Luna dengan semestinya. Luna belum mau, bahkan rentetan pesannya saja hanya dibaca. Tapi bukan Gio kalau menyerah begitu saja, dia rutin berkunjung ke rumah Luna tiap pulang kerja. Semua makanan kesukaan Luna dia bawa, termasuk bunga tulip berwarna merah muda yang tak pernah ketinggalan.
Gio tahu, dia tidak boleh memaksa. Dia harus perlahan melakukan semuanya, setidaknya Luna tidak lupa dengannya, setidaknya Luna tahu kalau dia berusaha, setidaknya Luna paham betapa besar Gio mengharapkan dirinya. Kedatangan Gio ke sana biasanya hanya disambut Tari, mengobrol kesana kemari pun dengan Tari. Sedangkan Luna diam saja di kamar, tidak ada minat keluar sedikitpun.
Tari juga sudah berusaha, sudah bicara perlahan pada Luna sampai memintanya keluar dari kamar juga perlahan. Tapi semuanya nihil, Luna enggan, bahkan pernah langsung berlari masuk saat dengar mobil Gio masuk ke halaman rumah.
Tapi, pada suatu hari, Tari mendapati Luna tertidur pulas sambil memeluk jaket yang entah milik siapa. Kalau dari aromanya, Tari bisa menebak jika itu milik Gio. Saat Tari mengonfirmasi pada Gio pun ternyata benar, jaket itu milik Gio. Dari situlah berawal Tari akhirnya tahu sebenarnya apa yang Luna rasakan kini pada Gio.
Luna dengan jujur mengatakan bahwa dirinya rindu, rindu sekali, tapi naluri alami dalam dirinya menolak kehadiran laki-laki itu. Bayangan-bayangan akan kekerasan yang bisa saja dia lakukan di masa depan itu terputar terus dalam bayangan Luna.
"Tapi, setahu Bunda, anak Bunda ini pemberani loh, walaupun cengeng, tapi pemberani" ujar Tari lembut sambil membelai pelan surai sang anak
Hal itulah yang membuat Luna akhirnya bersedia membuka pintunya saat Gio datang. Dengan menunduk dalam, gadis itu melangkah ragu menuju tamu laki-laki yang rutin datang tiap malam tiga hari terakhir itu.
"Nih, Mas Gio mau ajak Luna makan bakso di pasar malem situ. Katanya pengen ke sana kamu" ujar Tari lembut
"Ayo, Lun!" timpal Gio tak kalah lembut
Luna terdiam lama, karena dia perlu dealing dengan banyak hal dalam dirinya sebelum memutuskan. Luna perlu berkali-kali meyakinkan diri bahwa Gio benar-benar bisa dipercaya, Gio tidak akan melukai fisiknya. Tapi sulit, rasanya apa yang Luna lihat saat ini itu topeng, sedangkan yang terjadi beberapa hari lalu di hotel itu adalah aslinya.
"Sayang" panggil Tari lagi
Luna menoleh ke Bundanya.
"Sana, keburu kemaleman loh. Luna kan suka kesel kalau Mas Gio pulang kemaleman" bujuk Tari lagi
Kali ini, Luna beranikan diri untuk menoleh pada Gio. Tatapan ragunya itu disambut senyum hangat yang khas, senyum yang menciptakan rasa tersendiri dalam benak Luna. Ya Tuhan, Luna rindu sekali, tapi kenapa dia takut di saat yang bersamaan?
"Bentar, aku ambil jaket" lirih Luna akhirnya bersuara
Senyum sumringah langsung tampak di wajah Gio, kelegaan menjadi yang paling dominan di sana. Apalagi saat gadis yang dinantinya itu benar-benar keluar dari kamarnya dengan kondisi yang lebih siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limitless Love
FanfictionKata orang-orang, setiap manusia itu punya keberuntungan dan ujiannya masing-masing. Artinya, jika ada satu sisi kehidupan dari seseorang itu memperoleh keberuntungan, maka akan ada sisi lain yang mendapati ujian. Namun, Luna tidak sepakat dengan it...