Berjalannya waktu, perlahan kondisi semuanya membaik. Vieve sudah kembali beraktivitas seperti biasa, dan Gavin juga kembali berjibaku dengan persiapan pernikahannya yang tinggal menghitung hari. Satu-satunya yang masih sama adalah kondisi Gio, bedanya sekarang dia sudah mau kembali menempati unit apartemennya.
Bukan tanpa alasan Gio mengambil keputusan demikian, karena dia mulai sadar kalau hidupnya harus berlanjut. Apapun yang terjadi padanya, nafas harus terus terhembus walaupun terdengar menderu. Gio harus terbiasa, dia tak bisa terus memaksa orang lain untuk menghadapi ketidakstabilannya.
Usai kembali tinggal sendiri, hidup Gio memang jadi berantakan. Makannya tak teratur, terutama saat malam datang. Tiap pulang, dia selalu tak ketinggalan membawa botol-botol alkohol. Gio tidak berniat minum memang, tapi tiap malam dia selalu terbangun belakangan ini, dan keinginannya untuk meminum alkohol tak bisa dia tahan.
Seperti pagi ini, Gio terbangun karena perutnya seperti ditonjok begitu kencang. Dia langsung bangkit menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Sisa-sisa alkohol itu benar-benar menguras isi perutnya sampai diperas habis. Gio sampai lemas setelah mengeluarkan semua isinya.
Usai lebih tenang, Gio beralih melangkah keluar kamar dan menuju dapur. Dia mengambil sebuah gelas dan menuangkan air dingin di sana, segelas air itu langsung habis dia teguk sampai tak tersisa. Gio berharap hal itu berhasil menghilangkan pusingnya, tapi ternyata tidak sama sekali.
Gio menoleh pada jam dinding di dekat sana, sudah sebentar lagi waktunya berangkat ke kantor. Dia harus tetap berangkat, kalau tidak, Danu bisa mengamuk, apalagi kalau tahu alasannya adalah Gio belum pulih dari pengar semalam. Mau tak mau, Gio harus meminta bantuan, dan ya siapa lagi kalau bukan ke asisten pribadinya.
"Halo"
"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa jemput saya di apart? Saya nggak bisa nyetir"
"Bisa, Pak. Tapi Bapak nggak apa-apa, kan?"
"Jemput aja!"
"Baik, Pak. Setengah jam lagi saya jalan ke sana"
Sambungan telefon itu Gio putus secara sepihak, dia juga langsung saja menggeletakkan ponselnya di meja dapur dan meninggalkannya kembali ke kamar. Walaupun sudah sadar, Gio tidak bisa nekat mengemudi, pasti kadar alkohol dalam tubuhnya masih terdeteksi jika bertemu polisi.
****
Pertanyaan selama perjalanan akhirnya terjawab saat Luna melihat 3 botol whiskey berdiri di meja ruang tengah apartemen Gio, ketiganya sudah kosong. Luna mendesah pelan, dia ambil botol-botol itu dan dia buang ke tempat sampah. Benci sekali Luna dengan botol-botol itu, apalagi kalau dalam jumlah banyak dan ada di sekitar Gio.
Tak ingin munafik, karena Luna juga bisa dan pernah minum. Namun, Luna masih bisa lebih menahan dan melihat kondisi, tak seperti Gio yang seenaknya sendiri seperti tak ada hari esok. Mumpung Gio masih sibuk di dalam kamar, Luna nekat membuka kulkas Gio. Benar dugaan Luna, tidak ada isinya, hanya ada beberapa botol air minum dan tentu saja botol alkohol. Tapi, Luna tak bisa berbuat apapun dengan itu, dia tak punya hak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limitless Love
FanfictionKata orang-orang, setiap manusia itu punya keberuntungan dan ujiannya masing-masing. Artinya, jika ada satu sisi kehidupan dari seseorang itu memperoleh keberuntungan, maka akan ada sisi lain yang mendapati ujian. Namun, Luna tidak sepakat dengan it...