Episode 51

6 1 0
                                    

Episode 51

Sekitar pukul setengah delapan malam, Maulana sampai di rumah. Ia menghentikan mobil di depan pintu rumah, terlihat Istri dan Ibunya sedang berbicara sesuatu, namun entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Maulana segera turun dari mobil sambil membawa kantong plastik berisi bakso dan mie ayam, ia melangkahkan kaki menaiki beberapa anak tangga lalu kemudian memeluk pinggang sang Istri dari belakang.

Fira terkejut mendapatkan pelukan tiba-tiba dari arah belakang, ia langsung memutar tubuh ke belakang lalu mengangkat tangan menampar pipi pria tersebut.

Maulana terkejut mendapatkan tamparan dari sang Istri, begitu juga Fira terkejut karena ternyata dirinya telah menampar Suaminya.

Fira mundur beberapa langkah, kedua tangannya menutup mulut dengan pupil mata melebar.

"Sayang?"

Maulana menatap Istrinya bingung, ia pun masih dalam keterkejutannya, namun tidak ingin buruk sangka dengan sikap Istrinya.

"Ma-maaf, Mas." Fira sangat menyesal, ia berjalan beberapa langkah mendekati sang Suami.

"Mas boleh menampar ku balik, tapi setelah itu maafkan aku. Aku terkejut tadi, aku pikir..." Fira menundukkan pandangan.

"Ayah yang memeluk ku dari belakang." Gadis itu melanjutkan ucapannya dengan lirih.

Maulana tersenyum maklum, ia mengerti perasaan dan rasa trauma gadis itu.

Pria itu mendekatkan diri pada sang Istri lalu memeluknya lembut."Sayang, Mas sudah memaafkan mu. Mas juga tidak akan menampar mu, maaf juga sudah membuatmu terkejut."

Catherine menatap menantunya iba, pastinya sebagai seorang wanita yang hampir dilecehkan juga akan mengalami trauma, sekalipun tidak diperlihatkan namun dari reaksi gadis itu, telah menjelaskan semuanya.

Fira membalas pelukan sang Suami, perasaan tertekan dan gelisah perlahan menghilang berganti dengan perasaan nyaman.

Maulana melepaskan pelukannya setelah dirasa gadis itu lebih tenang, dipandangnya wajah cantik itu.

"Sayang, kenapa kamu di luar?"

"Aku menunggu Mas pulang, Mas bilang akan keluar sebentar. Tapi habis isya baru kembali." Fira mengerucutkan bibirnya.

Maulana tersenyum tipis, ia hampir lupa kalau sekarang sudah punya Istri, tidak bisa seenaknya keluar rumah dan kembali di atas pukul 10 malam saat semua penghuni rumah tidur kecuali penjaga malam.

Pandangan Fira beralih pada kantong plastik di tangan sang Suami."Itu apa, Mas? Sepertinya enak, apakah untuk ku?"

Maulana mengikuti arah pandang sang Istri, ia mengangkat kantong plastik berisi bakso dan mie ayam di depan Istrinya.

"Iya, ini ada bakso dan mie ayam. Mas ingat kamu sangat suka makan bakso dan mie ayam, jadi Mas mampir ke warung bakso tadi."

Ekspresi Fira berubah girang, ia mengambil kantong plastik berisi bakso dan mie ayam itu lalu melihatnya.

"Ini ada empat bungkus, aku satu, Mas satu. Yang dua untuk Ayah dan Ibu."

Fira memutar tubuh lalu berjalan mendekati Catherine, ia menunjukkan kantong plastik itu."Ibu, buat Ayah dan Ibu dua."

Maulana tersenyum senang melihat betapa Istrinya sangat perhatian pada kedua orangtuanya.

Catherine menatap bungkusan bakso itu tanpa minat, ia mengulurkan tangan mengambil sebungkus mie ayam.

"Ibu ini saja deh, ayo makan di dalam."

Fira mengangguk, ia berjalan lebih dulu di depan Catherine.

Catherine menoleh pada sang buah hati."Van, kamu panggil Ayahmu. Kita sudah lama tidak makan satu keluarga."

"Baik." Maulana mengangguk, ia melangkahkan kaki menuju kamar Sang Ayah bersama Nadia.

Kebiasaan Ayahnya selalu bersama Nadia meski Istrinya bukan hanya Nadia.

Maulana mengetuk pintu kamar sang Ayah saat telah sampai di depan pintu kamarnya.

"Assalamualaikum, Ayah."

Sinya menoleh pada pintu kamar, di dalam kamar, pria itu sedang menggoda sang Istri muda.

Nadia marah karena dirinya hampir melecehkan Fira dan ingin menikah lagi dengan Nita.

Sinya bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju pintu kamar, mengangkat tangan meraih knop pintu lalu memutarnya hingga pintu terbuka.

Sinya memperhatikan sang buah hati, ia menyadari anaknya itu sedang menyembunyikan senjata api di balik jasnya.

Sinya mundur beberapa langkah, khawatir kalau sang buah hati akan menggunakan senjata api itu pada dirinya.

Maulana mengerutkan kening melihat ekspresi wajah sang Ayah."Aku tidak sekejam itu, Ayah. Ibu meminta Ayah ke meja makan, kita makan mie ayam bersama."

Sinya menghela nafas lega."Ayah tidak pikun, Ayah masih ingat seperti apa kau dulu."

Sinya menutup pintu kamar lalu berjalan ke meja makan.

Maulana menghela nafas berat."Benar juga, mantan Mafia seperti ku, mana pantas mengatakan kalau aku tidak jahat. Lebih baik aku simpan saja, jangan sampai Fira tahu. Dia bisa menganggapnya mainan."

Maulana memutar tubuh berjalan menuju dapur, ia mengambil senjata api miliknya lalu dilempar pada Snef.

Dengan cepat Snef menyembunyikan senjata api tersebut, ia yakin majikannya itu pasti telah bertemu dengan salah penjahat sehingga membawa senjata api andalannya.

Maulana menarik kursi di sebelah Fira, tersenyum sendiri ketika melihat semangkuk bakso di depannya, ia menoleh pada sang Istri, rupanya gadis itu menuangkan bakso untuknya.

"Sayang, kamu yakin cukup mie ayam itu saja?" Maulana pernah melihat saat di kantin sang Istri memesan semangkuk bakso dan semangkuk mie ayam, gadis itu menghabiskan semua sendiri.

"Cukup kok, kan besok aku bisa beli lagi." Fira menoleh sejenak pada sang Suami, setelah itu kembali mengaduk mie ayam.

Sinya terus memperhatikan menantunya, pilihannya memang tidak salah namun sayang gadis itu bukan jadi miliknya.

"Ayah, kapan Ayah dan Nita akan menikah?" Maulana bertanya sambil mengaduk bakso.

Sinya menaikkan pandangan menatap sang buah hatinya, dahinya berkerut mendengar pertanyaan sang buah hati.

"Nita sendiri sudah mengatakan pada Fira, Nita setuju menikah dengan Ayah. Jadi aku tidak bisa melarang, namun Ayah harus dapat izin dari semua Istri Ayah, tanpa paksaan." Maulana kembali berkata, ia memotong -motong pentol bakso dan tahu pentol. Pria itu tidak segera memakannya, karena ingin memberikan pada sang Istri.

"Kamu serius, Nita setuju?" Sinya sangat senang mendengarnya.

Maulana mengangguk."Tapi sekali lagi, Ayah harus dapat izin dari semua Istri dan anak Ayah."

"Kamu sendiri bagaimana? Apakah kamu mengizinkan?" tanya Sinya pada Maulana.

"Aku terserah Ayah saja, selama bukan Istri ku yang Ayah nikahi. Aku tidak ada masalah, Ayah yang akan mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai seorang Suami, bukan aku. Jadi aku rasa, aku tidak perlu melarang Ayah," jelas Maulana.

Ia mendorong mangkok bakso yang sudah dipotong ke arah sang Istri."Makanlah ini juga, Mas sudah potongkan untuk mu."

Fira menoleh pada sang Suami, pandangannya turun pada mangkuk bakso merah di depannya."Ini untuk ku?"

Maulana mengangguk."Tentu, Mas tidak terlalu suka makan seperti ini. Mas sengaja beli tadi buat kamu, tapi malah dikasih kembalian."

Maulana mengambil uang 40 ribu dari kantong bajunya, lalu menaruh di depan sang Istri.

Suami Terbaik 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang