Episode 77

7 1 0
                                    

Malam semakin larut, udara semakin dingin, pantulan sinar rembulan ditemani lampu-lampu kota saat sepasang Suami Istri itu berjongkok di depan seorang Nenek penjual sayur.

Mereka membeli semua barang dagangan Nenek itu, setelah sang penjual membungkus semuanya, pria berstatus sebagai Suami itu menyerahkan uang senilai 1 juta.

Nenek penjual sayur itu menatap uang tersebut agak lama, ia yakin harga sayuran itu tidak sampai 100 ribu namun pria yang ternyata dianggap cucunya saat masih kecil itu memberikan uang lebih.

"Nenek, itu untuk Nenek. Jika Nenek butuh apapun, Nenek bisa menghubungi ku. Sekarang aku sudah punya penghasilan sendiri, jadi Nenek tidak perlu khawatir."

Fira sang Istri tersenyum sambil mengangguk, ia senang dengan sikap dermawan sang Suami, gadis itu pun ikut menimpali ucapan Suaminya,"Iya, Nek. Nenek terima saja."

Nenek Peni sayur itu mengangguk dengan penuh rasa syukur, pandangan mata tua itu beralih pada sosok pria bertubuh besar yang masih berdiri tidak jauh dari mereka dengan tatapan kesal bercampur takut.

"Andi, kemarilah. Kamu jangan takut seperti itu, bukankah dulu kamu suka menjahili Ivan?"

Dengan terpaksa pria bernama Andi itu melangkahkan kaki menuruti perintah Nenek penjual sayur yang merupakan Ibunya.

Andi berdiri di samping tubuh ringkih Nenek penjual sayur, namun pandangan mata Andi tidak sedikit pun beralih dari Maulana.

Andi merasa heran dan tidak senang, bagaimana mungkin anak kecil yang dulu sering diganggu olehnya sekarang tumbuh menjadi pria dewasa dengan aura begitu mengerikan.

Maulana memiringkan kepala dan menaikan pandangan membalas tatapan Andi padanya."Paman, apakah tadi Paman takut padaku?"

Maulana tersenyum sendiri sedangkan Andi semakin kesal karena merasa dipermainkan.

"Jadi kau si pendek itu?!" Andi ingin sekali menendang tubuh Maulana seperti dulu, namun sekarang pasti dirinya yang akan terlempar.

Maulana terkekeh, kemudian bangkit dari tempat duduknya.

Andi mundur beberapa langkah kebelakang, selalu saja merasa ketakutan hanya dengan melihat pria di depannya itu berdiri di depannya.

"Paman, jangan takut. Aku ini hanya kebetulan saja lewat sini." Maulana sangat ingin tertawa melihat ketakutan terlihat di wajah Andi.

Fira menghela nafas melihat sikap sang Suami, ia pun kembali berjalan ke arah Suaminya lalu menarik tangan pria itu."Mas, ayo pulang. Jangan menggoda dia lagi."

Maulana bukan tidak kuat jika menahan tangan sang Istri, namun melihat ekspresi kesal di paras cantik itu membuat dirinya gemas.

Maulana menurut dan pergi bersama sang Istri kembali ke mobil.

Di dalam mobil Catherine memperhatikan Suami Istri tersebut, ia tadi juga melihat Nenek tua yang pernah merawat Maulana saat masih kecil, ada rasa bersyukur dalam hati melihat wanita tua itu baik-baik saja.

Maulana dan Fira masuk ke dalam mobil, pria itu memasang sabuk pengaman untuk sang Istri setelah itu melajukan mobil.

"Van, tadi itu Nenek Ranti ya?" Catherine bertanya karena ingin memastikan bahwa penglihatannya masih berfungsi dengan baik.

"Iya, Bu. Dia Nenek Ranti, tidak menyangka hidupnya sekarang seperti itu." Maulana merasa sedih dengan nasib yang menimpa Ranti, wanita tua yang dulu pernah menjaganya.

"Mas, kenapa dulu Mas bisa dirawat Nenek tadi?" Kini giliran Fira yang bertanya, ia sendiri juga merasa heran.

"Dulu Mas tinggal di gubuk, ada orang baik yang meminjamkan tempat tinggal itu." Maulana mengingat kembali betapa pahit hidup yang dijalani.

Fira mengalihkan perhatian pada sang Suami, ia yakin pasti sangat sedih dan menderita.

"Mas, coba ceritakan masa kecil Mas padaku."

Maulana menoleh pada sang Istri, memandang gadis itu ragu, rasanya tidak nyaman kalau harus menceritakan masa kecil yang begitu menyedihkan.

"Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya ingin dengar saja, Mas pelit sekali." Fira pura-pura cemberut, ia sangat ingin mendengar kisah masa kecil sang Suami.

"Baiklah, Mas akan ceritakan. Tapi kamu jangan cemberut seperti itu, Istri ku." Maulana tidak suka melihat sang Istri kesal, apalagi disebut pelit. Ia hanya ingin membuat gadis tercintanya itu bahagia saat bersama dirinya.

Fira mengangguk, kemudian tersenyum lebar dengan pandangan mata menanti kisah masa kecil Isterinya.

Maulana mengalihkan perhatian ke arah jalan di depannya, pandangan mata menerawang jauh mengingat masalalu saat dirinya masih kecil.

24 tahun yang lalu, terlihat guyuran hujan membasahi bumi kota Genteng kabupaten Banyuwangi.

Langkah kecil seorang anak laki-laki memercikkan genangan air di atas tanah berlumpur, dipeluknya tubuh kedinginan itu menggunakan kedua lengan mungil.

Pandangan mata safir jernih terlihat putus asa saat hujan semakin deras, tas kecil di bahu berisi berbagai macam barang bekas yang sudah dibuang oleh pemiliknya.

Menjadi seorang pemulung adalah pekerjaan yang harus dilakukan untuk tetap bertahan hidup, saat tiba di sebuah rumah reot dengan atap selalu bocor saat hujan, tangan mungil itu menaruh tas kecil berisi barang bekas di atas lantai dari tanah semen rusak.

Bibir mungil itu tersenyum dengan tatapan mata menerawang ke dalam rumah, di dalam rumah itu adalah seorang wanita cantik yang telah melahirkan dirinya dan selalu menunggu untuk dirinya kembali dengan selamat.

Dengan langkah kaki riang, kaki kecil itu berlari ke dalam rumah sambil berteriak bahagia,"Ibu...!"

Sosok wanita cantik 30 tahun menoleh dari dapur mendengar suara buah hatinya, bibir ranum itu tersenyum sedih setiap kali melihat putra kecilnya bekerja keras untuk hidup mereka, sebagai seorang Ibu, ia merasa berdosa karena tak dapat menghidupi Putranya.

Catherine Wilson memutar tubuh dengan nampan berisi beberapa kue goreng buatannya serta air hangat, ia berjalan menemui sang Buah hati yang nampak tersenyum cerah.

"Ibu, hari ini Lana dapat banyak botol bekas." Bocah kecil bernama Ivan Maulana Rizky sang Ibu memanggilnya Ivan namun bocah itu ingin dipanggil Lana.

Tangan kecil itu menunjuk pada sekantong plastik berisi botol bekas, Catherine mengikuti arah telunjuk itu dan mengangguk dengan senyum di bibirnya.

"Ivan, besok kamu jangan cari botol bekas lagi ya... Kamu masih kecil, biarkan Ibu saja yang kerja."

Maulana menoleh pada sang Ibu, ia tidak setuju dengan ucapan wanita itu karena sekarang wanita itu sedang sakit, sebagai anak laki-laki, dirinya harus kerja.

"Tidak, Ibu. Dokter bilang Ibu tidak boleh terlalu lelah, Lana saja yang kerja."

Catherine mengalihkan perhatian pada buah hatinya, betapa terharu dalam hati mendengar ucapan seperti itu dari anak usia 6 tahun, pagi sekolah siang sampai sore kadang malam harus cari botol bekas untuk dijual.

"Nak, tapi kamu masih kecil. Tubuhmu tidak akan sanggup menanggung semua beban itu, biarkan Ibu saja yang kerja. Insya Allah, Ibu mampu."

Catherine berusaha meyakinkan Maulana agar tidak lagi memaksakan diri untuk bekerja.

Suami Terbaik 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang