Episode 78

31 1 0
                                    

Bola mata safir itu menatap sedih wanita yang telah melahirkan dirinya tersebut, sedih dan menyesal karena merasa tidak mampu melindungi Ibunya saat Ayahnya menikah lagi dengan janda kaya.

Maulana memaksakan diri mengambil tugas sebagai pelindung sang Ibu dan memenuhi kebutuhan Ibunya meski tidak seperti Ayahnya.

Catherine menatap buah hatinya itu bingung, seumuran sang buah hati, biasanya anak-anak suka bermain dan bermanja namun putranya ini justru ingin selalu kerja untuk dirinya, sebagai seorang Ibu, dirinya merasa sangat bersalah.

"Ibu, biarkan aku tetap bekerja. Aku akan cari uang yang banyak buat Ibu, Ibu berdoa saja agar aku selalu sehat dan bisa menjadi anak yang baik." Maulana kecil kembali berbicara, mata kecil itu memancarkan ketulusan dan harapan besar dalam hidupnya.

Rasa tak kuasa menahan air mata mengalir begitu saja dari netra safir Catherine, ia merendahkan tubuh di depan sang buah hati lalu mendekap tubuh mungil tersebut."Sayang, maafkan Ibu. Ibu belum bisa membuatmu bahagia, Ibu selalu menyusahkan mu."

Tangan mungil itu membalas pelukan sang Ibu, ada perasaan bahagia setiap kali wanita cantik itu memeluk dirinya, keinginan semakin kuat untuk bekerja dan membuat Ibunya bahagia serta dihormati.

"Ibu, jangan minta maaf. Aku yang bersalah, karena aku, Ayah pergi meninggalkan Ibu. Kalau saja aku tidak lahir, Ayah tidak akan kesusahan mencari uang dan tidak akan meninggalkan Ibu demi wanita lain."

Catherine melepaskan pelukannya, menghapus air matanya dan menggelengkan kepala menatap sang buah hati."Tidak, Nak. Bukan salah kamu Ayahmu pergi, tapi memang Ayahmu tidak setia. Kamu jangan menyalahkan diri, kamu anak yang baik , anak Ibu yang paling baik."

Netra safir itu menatap sang Ibu cukup lama, sedih dan tidak tega setiap kali mendengar Ibunya menangis dalam kamar karena Pengkhianatan yang dilakukan oleh Ayahnya.

"Sayang, ayo kita makan. Hujan sudah mulai reda, kamu ganti baju dulu lalu makan." Catherine berbicara dengan lembut.

Maulana mengangguk, bocah 6 tahun itu segera memutar tubuh meninggalkan sang Ibu dan masuk ke dalam kamar.

Catherine memandang punggung mungil itu terharu, ia ingat pada Sinya, Suaminya itu selalu menyalahkan sang buah hati karena lahir dari kecelakaan akibat penculikan yang dilakukan oleh Carlos Santana, namun ia bersyukur kalau Maulana tidak tahu siapa Ayah kandungnya sendiri.

Setelah berganti baju, Maulana duduk di meja makan yang terbuat dari rotan bersama Ibunya hingga suara Sinya bersama seorang anak kecil terdengar di telinga mereka.

"Sayang, Istriku."

"Mama..."

Maulana dan Catherine menoleh ke arah pintu, terlihat Mizuruky Sinya menggendong anak kecil usia 5 tahun. Mereka melangkahkan kaki masuk ke dalam gubuk reot miliknya, Sinya memandang Istri pertamanya dengan penuh kerinduan namun enggan menatap Maulana.

" Mas, kenapa kau ke sini?" Catherine tidak suka Melia Suaminya datang, ia terlanjur sakit hati karena sudah dikhianati.

" Tentu saja membawamu bersamaku, tinggalkan anak haram ini dan kita hidup bersama. Sintia bersedia aku membawa mu." Sinya menjelaskan dengan ekspresi wajah bahagia dan penuh semangat.

" Tidak, Mas. Mas jangan menyebut Ivan sebagai anak haram, dia anak kita. Aku sudah bilang kalau aku tidak di apa-apain oleh orang itu." Catherine berusaha meyakinkan Suaminya, meski ia tahu bahwa ia sering di perkosa, namun itu bukan keinginan dirinya sendiri.

Perih dan sakit dalam dada mendengar ucapan Sinya, hati anak mana yang tidak terluka saat orang tua yang diharapkan kasih sayangnya justru menyebut anak haram.

Maulana mengulurkan tangan meraih tangan besar Sinya, menggenggamnya lembut.

Mizuruky Sinya ingin menghempaskan tangan itu, namun ia tidak tega, dirinya yang merawat dan membesarkan hingga usia 5 tahun, rasa kasih sayang itu tentu saja ada.

Namun sebagai seorang laki-laki, rasa ragu dan tidak akan percaya bila Istrinya tidak pernah disentuh oleh Carlos Santana, mafia asal Jerman yang telah menculik Istrinya selama lebih dari sebulan dan saat pulang, Istrinya dalam keadaan hamil.

"Ayah, kenapa Ayah sangat membenciku? Kenapa Ayah lebih sayang pada Nindi? Bukankah aku dan Nindi adalah anak Ayah?"

Rasanya Sinya ingin menangis mendengar ucapan Maulana, ia pun tak ingin membandingkan Nindi dan Maulana, juga tidak ingin membuat anak pertamanya itu begitu sedih, namun dirinya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Maulana kemungkinan bukan anak kandungnya.

"Ayah, aku akan kerja. Jadi setelah dewasa, aku akan jaga Ayah dan Ibu. Tapi Ayah jangan marah lagi? Jika aku salah, Ayah katakan saja padaku. Tapi jangan tinggalkan aku." Maulana kecil tersenyum merayu Sinya, dengan harapan pria itu bersedia kembali pada keluarga kecilnya.

Sinya memalingkan muka, tak sampai hati jika harus bersikap kasar dengan menatap paras tampan sang buah hati, apalagi mendengar ucapan tulus itu tak pernah didengar dari anak manapun.

Sinya menghempaskan tangan mungil Maulana, dengan dingin ia berkata,"Aku tidak butuh apapun dari mu, jika kamu ingin Ibumu bahagia. Kau pergi dan jangan kembali."

Catherine terkejut mendengar ucapan Sinya, ia tidak menyangka Suaminya akan bersikap begitu kejam pada sang buah hati, dirinya rela dimadu agar anaknya bisa memiliki keluarga lengkap, namun ternyata sama saja.

Maulana terdiam dalam kesedihan, rupanya Ayahnya tidak menginginkan dirinya namun masih ingin Ibunya.

Wajah kecil itu memandang sang Ibu, ia tersenyum menguatkan diri kemudian bangkit dari tempat duduknya."Baik, Ayah. Aku akan pergi, tapi Ayah harus janji jangan tinggalkan Ibu. Ibu sangat cinta pada Ayah, meski Ayah telah berkhianat pada Ibu."

Catherine menoleh pada sang buah hati, ia tidak setuju dan tidak ingin anaknya pergi, dirinya lebih rela kehilangan Suami dari pada kehilangan anaknya.

Maulana masih kecil dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia pun tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari hasil dosa karena hasil pemerkosaan, kalau anak itu harus pergi, bukankah itu sangat kejam.

"Tidak, Sayang. Ibu tidak ingin bersama Ayahmu, Ibu akan tetap bersamamu. Kamu anak Ibu, Ibu rela kehilangan seorang Suami dari pada seorang anak yang berbakti dan selalu berusaha membuat Ibu bahagia."

"Tapi dengan Ayah, Ibu bisa hidup enak. Ibu tidak perlu kedinginan dan tidak perlu kehujanan kalau rumah ini bocor." Jawaban polos dan tulus dari Maulana membuat Sinya sadar, anaknya itu tidak salah dan hanya ingin melihat Ibunya bahagia.

Maulana pun juga tidak tahu apapun tentang penculikan yang dialami Catherine, kenapa dirinya harus egois dengan membuat pilihan seperti itu?

"Sudalah, kamu ikut juga. Kita bisa tinggal di rumah Sintia, lagipula... Itu bukan salahmu, aku juga tidak mungkin membiarkan tambang emas hilang begitu saja."

Meski tidak tahu maksud ucapan Sinya, namun Catherine dan Maulana cukup lega karena mereka bisa berkumpul kembali.

Suami Terbaik 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang