Suasana hening menyelimuti ruang rapat dewan Guru, tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara, peristiwa penyerangan pada salah satu Guru sekolah SMA Dirgantara masih membuat trauma di pikiran mereka.
Maulana yang duduk di kursi paling ujung merasa aneh dengan mereka, meminta untuk diadakan rapat darurat untuk membahas masalah penyerangan namun tidak ada yang berani bicara.
Semua fokus pada pikiran sendiri, tatapan mata kosong seakan berada di dunia lain.
Klak ...
Para Guru itu berteriak ketakutan bahkan berlarian ke bawah kolong meja hanya karena mendengar suara ponsel ditaruh di atas meja.
Maulana tersenyum sendiri melihat betapa mereka ketakutan setelah kejadian tadi, bahkan saat dirinya tanpa sengaja menaruh ponsel di atas meja sedikit keras membuat mereka kaget dan bersembunyi.
"Ehem, maaf ." Suara Maulana terdengar dingin dan berat di telinga para Guru itu, dalam pikiran mereka seakan putaran kejadian bagaimana seorang Ivan Maulana Rizky berkelahi dengan para penjahat itu begitu mengerikan.
"Maafkan kami, Pak Ivan. Mohon Bapak jangan marah." Edo yang paling ketakutan dan merasa bersalah keluar secara perlahan dari balik tempat persembunyian, ia bersimpuh di depan Maulana dengan kepala tertunduk.
Mendadak kepala Maulana terasa pusing, memori tentang kejahatan yang pernah dilakukan dulu seakan putar kembali.
Orang-orang ketakutan bahkan bersimpuh di depannya memohon agar nyawa mereka diampuni, namun Maulana tidak mengindahkan semua itu dan tetap menghabisi nyawa mereka satu persatu.
Pria bermata safir itu menyentuh kepalanya pelan."Bangunlah, Pak Edo."
Perlahan Edo bangkit dari posisinya dengan rasa lega."Terimakasih, Pak Ivan."
Perlahan Maulana bangkit dari tempat duduknya, memutar tubuh berjalan meninggalkan tempat itu.
Tubuh terasa lemas dengan dada sesak, ia berpegangan pada daun pintu saat tubuh terasa hampir jatuh.
Satu persatu Guru keluar dari tempat persembunyian, mereka menatap Maulana heran dan khawatir.
Rangga berjalan mendekati Maulana lalu memegangi lengan pria itu."Pak Ivan, Pak Ivan kenapa? Pak Ivan sakit?"
Maulana memutar kepala pelan, terlihat Rangga menatapnya khawatir."Pak Rangga, kenapa Pak Rangga kemari?"
Rangga tidak mengerti pertanyaan Maulana, tentu saja karena dirinya khawatir melihat Maulana seperti sakit.
"Kau tidak takut padaku?" Pandangan Maulana memburam, seakan ia terseret ke dalam 12 tahun lalu.
Rangga semakin tidak mengerti dengan ucapan Maulana, pandangan mata pria itu berubah bahkan gaya bicaranya dingin dan menakutkan, namun Rangga berusaha tidak terbawa perasaan.
"Pak Ivan, apa yang sebenarnya terjadi pada Pak Ivan?"
Yusuf menyadari keponakannya itu seakan berada dalam masalalu kelam, ia pun segera berjalan mendekati sang ponakan, meraih kepala Maulana dan memaksanya menunjuk menatap dirinya.
"Maulana! Sadarlah! Lihatlah Paman! Kamu jangan terbawa perasaan masa muda mu! Kamu harus ingat bahwa sekarang kamu bukan John William melainkan Ivan Maulana Rizky!"
Yusuf berusaha membuat keponakannya itu sadar, namun tatapan Maulana belum berubah, dingin dan penuh aura membunuh yang kuat.
"Mas..."
Maulana tersentak, seketika ia kembali sadar saat mendengar suara manja sang Istri.
Maulana menggelengkan kepala kasar lalu mengusap wajah dengan telapak tangannya.
Yusuf menghela nafas lega."Kamu ini mengangetkan Paman saja, untung Paman tidak jantungan."
Maulana tersenyum maklum."Maaf, Paman. Tadi saya ..."
"Hah, sudalah. Untung Fira datang." Yusuf kembali berjalan menuju meja rapat, sedangkan Rangga masih berdiri menatap pria yang lebih tinggi daripada dirinya itu bingung.
"Pak Ivan tadi kenapa?"
Maulana menoleh pada Rangga."Tidak apa-apa, Pak Rangga. Maaf kalau tadi sudah menakuti Pak Rangga."
"Bukan, Pak Ivan. Saya tidak pernah takut sama Pak Ivan, kenapa saya harus takut? Pak Ivan bukan polisi, bukan penjahat pula." Rangga yang tidak mengetahui apapun tentang masalalu Maulana hanya mampu kebingungan.
"Saya baik-baik saja, Pak Rangga. Terimakasih Pak Rangga, saya permisi dulu." Maulana meninggalkan Rangga yang masih berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bingung.
Maulana menghampiri sang Istri, gadis itu berdiri di depan kelas 1 A sambil memeluk sebuah buku pelajaran.
Maulana langsung memeluk tubuh mungil tersebut."Sayang, Mas harap kamu tidak akan pernah meninggalkan Mas apapun yang terjadi. Kamu juga jangan takut pada Mas, sungguh Mas tidak bermaksud seperti itu.".
Fira kebingungan tiba-tiba dipeluk oleh sang Suami di depan para Guru dan murid yang kebetulan di luar kelas."Mas kenapa? Aku bahkan tidak berniat meninggalkan Mas sedikit pun. Aku hanya takut Mas terluka."
Perlahan kegelisahan Maulana menghilang, ia melepaskan pelukannya pada tubuh sang Istri, menatap gadis itu penuh kasih.
"Kamu ke sini ada apa?"
Fira menunjukkan buku pelajaran itu pada Maulana."Aku harus mencetak beberapa lembar dari buku di halaman ini, nanti digunakan untuk pelajaran terakhir. Mas mau mengantarkan ku?"
Rangga dan Ian langsung berlari memegangi lengan Maulana."Eh, tunggu Fir. Bagaimana kalau Pak Ian saja yang mengantarkan mu? Biar Pak Ivan tetap di sekolah." Rangga tersenyum merayu gadis itu.
Fira mengalihkan perhatian pada Rangga, mereka sangat aneh."Tapi kenapa, Pak? Kan sekarang jadwal Pak Ivan kosong."
Rangga dan Ian menarik tangannya dari lengan Maulana."Fira cantik, di sini banyak orang dan banyak nyawa yang harus dilindungi. Tadi beberapa warga sudah lapor polisi, tapi polisi belum datang. Kalau Pak Ivan pergi bersamamu, kalau ada penjahat lagi bagaimana?" Rangga menatap Fira memohon pengertian.
"Itu benar, Fira. Percayalah, Pak Ian akan menjagamu." Ian menimpali ucapan Rangga, setidaknya tempat fotocopy itu sedikit jauh dari sekolah, jadi terhindar dari bahaya.
Fira sangat tidak ingin pergi bersama Rangga atau Ian, namun tidak berani menolak hingga hanya bisa diam.
"Tidak apa, biar Mas antarkan kamu."
Fira tersenyum bahagia mendengar ucapan Maulana, sang Suami itu memang selalu pengertian terhadap dirinya.
Maulana menoleh pada Rangga."Pak Rangga, pinjam kunci motor. Pak Rangga nanti bisa pakai mobil saya."
Dengan berat hati Rangga memberikan kunci motor pada Maulana."Jangan lama-lama, Pak."
Maulana menghela nafas, setelah itu merangkul bahu sang Istri, membawanya pergi meninggalkan tempat tersebut menuju tempat parkir roda dua.
"Pak Ian, kalau para penjahat itu datang lagi bagaimana? Kita bisa apa?" Rangga menatap Ian panik.
"Saya bisa beladiri, Pak. Tapi juga tidak sehebat Pak Ivan tadi, sudalah, Pak. Lebih baik kita masuk ke dalam ruang kelas lalu kunci ruangan." Ian juga merasa takut kalau para penjahat itu datang lagi.
"Tapi saya belum waktunya jam mengajar, masa kita tutup ruang Guru?" Rangga memutar tubuh berjalan ke arah ruang Guru, diikuti oleh Ian di belakangnya.
Di ruang kesehatan, Fransis duduk di bangku memikirkan para pria berbaju hitam yang tadi menyerang Maulana dan Fira."Mereka siapa? Gerakan mereka sangat gesit seperti sudah terlatih dalam beladiri. Aku harus cari tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Terbaik 2
RomanceDipaksa menikah dengan seorang rentenir ternyata Fira justru mendapat anak dari si Rentenir.Sosok pria yang lembut pada dirinya namun sangat dingin pada orang lain, awalnya Fira berpikir kalau Suaminya itu juga sama kejam seperti mertua tapi ternyat...