Episode 75

57 4 0
                                        

Temaram lampu kota menerangi jalan setiap pengendara motor dan mobil bahkan juga ada yang mengendarai sepeda, udara dingin menyengat kulit meski tubuh telah terbungkus oleh kain.

Laju mobil membela udara, memaksa tetap berjalan di tengah setiap benturan dengan angin.

Jantung berdebar kencang hanya membayangkan bagaimana mereka berdua akan menghabiskan malam di hotel, diam -diam netra kecoklatan melirik sosok pria memakai kemeja biru di samping.

Tatapan mata safir fokus pada jalan, tidak sedikitpun pun terganggu dengan dinginnya malam.

Sesekali paras itu terkena pantulan cahaya rembulan, memantulkan rona merah di pipi putihnya.

"Kita akan ke hotel, kan?" Suara itu terdengar bergetar meski berusaha di tenangkan.

"Hm." Hanya dua huruf itu yang terdengar dari mulut sang pria.

Jemari mungil putih itu berada di atas pangkuan, meremat kain pembungkus paha, tubuh terasa panas dingin kala membayangkan adegan apa yang akan dilakukan.

"Kamu terlihat tegang?" Suara wanita lain yang lebih tua di balik tempat duduk miliknya terdengar bagai angin terbang.

Gadis cantik itu mengangguk, ini adalah pertama kali dirinya diajak ke hotel oleh seorang pria.

"Kenapa juga kamu tegang? Bukankah kalian sering melakukan di rumah?" Wanita lebih tua itu menatap luar jendela, terlihat beberapa orang berjalan di tepi jalan raya, dengan berbagai macam aktivitas.

"Tapi ini pertama kali aku dibawa ke hotel oleh Mas Ivan." Wajah gadis itu semakin menunduk, meski bagi orang tidak ada bedanya antara di hotel atau di rumah saat melakukan percintaan, namun baginya itu hal berbeda.

"Kamu lucu sekali, kalian sudah menikah dan sering melakukan itu. Tapi kamu terlihat seperti orang pacaran dan melakukan adegan ranjang panas di hotel." Wanita lebih tua itu menghela nafas heran.

Tersenyum melihat ekspresi wajah sang gadis tercinta, namun senyum itu luntur kala rasa tidak nyaman kembali menyerang perutnya.

Keringat dingin mulai membanjiri tubuh, namun ia tetap berusaha fokus pada jalan di depannya demi keselamatan kedua wanita yang paling dikasihi.

Terlihat lampu lalu lintas berwarna merah, dengan kaki  gemetar menahan sakit ia menginjak pedal rem.

Fira menoleh pada sang Suami, dahi berkerut melihat wajah pucat pria itu, perlahan ia mengulurkan tangan menyentuh pipi pria tersebut.

"Mas."

Maulana menoleh ke samping, dalam pandangan matanya dapat terlihat raut kecemasan di sana.

"Mas baik-baik, Istriku."

"Tapi kenapa Mas begitu pucat? Mas, jangan disembunyikan seorang diri jika Mas sedang sakit. Kita ke rumah sakit ya? Atau Mas punya orang pereda rasa nyeri?" Gadis itu hampir menangis karena tidak sampai hati melihat pria yang paling dicintai menderita.

Maulana tersenyum tipis, ia mengambil obat di laci dashboard lalu mengeluarkan botol obat dan mengambil beberapa butir obat setelah itu menelannya.

"Sudah, kamu tenang saja, Sayang."

Wanita lain yang duduk di belakang mengalihkan perhatian pada sang buah hati, memperhatikan sosok pria 30 tahun itu.

"Van, apakah kamu sakit? Jujur pada Ibu."

Maulana tidak tahu harus menjawab apa, kalau jujur maka Istri dan Ibunya pasti akan khawatir namun bila tidak jujur, dirinya akan berdosa karena sudah berkata dusta.

"Van, kamu anak Ibu. Kamu harus jujur, jangan apa-apa itu ditanggung sendiri." Wanita itu kembali bicara, mendesak sang buah hati agar bisa berbicara dengan jujur tanpa harus menyembunyikan apapun.

"Sirosis hati." Bertepatan saat Maulana menyebutkan nama penyakit yang diderita, suara klakson mobil di belakangnya berbunyi hingga Chaterine tidak mendengar saat sang buah hati menyebutkannya.

Maulana kembali melajukan mobil saat rasa nyeri mulai mereda, ia bersyukur memiliki sahabat dokter, memberikan obat pereda nyeri meski tidak tahu jenisnya.

"Tadi kamu jawab apa, Van?" Catherine kembali bertanya.

"Lebih baik Ibu lupakan saja, aku baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja." Maulana tidak ingin membahas tentang penyakit, ia khawatir kalau Istri kecilnya akan dengar lalu khawatir. Dirinya juga bersyukur karena tadi bertepatan dengan suara klakson mobil orang lain.

Fira menoleh pada sang Suami, ia samar-samar mendengar ucapan pria itu namun tidak terlalu jelas, dalam pendengarannya sang Suami menyebut kata sosis bukan sirosis.

"Memangnya Mas suka makan sosis?"

Maulana menaikkan sebelah alis mendengar pertanyaan sang Istri, ia mengerti alasan gadis itu tersenyum adalah karena salah dengar, namun menurutnya itu lebih baik.

"Tidak juga, tapi jika kamu ingin makan, Mas bisa belikan kamu."

"Tidak usah, Mas lagi sakit. Aku tidak ingin Mas semakin sakit." Fira menolak tawaran sang Suami, meski seingin apapun dirinya juga tidak akan meminta pria yang sakit untuk membelikannya.

Maulana tersenyum."Baiklah, sekarang kita ke hotel. Besok setelah pulang sekolah, Mas akan bawa kamu ke rumah baru. Tapi rumah itu tidak seberapa rumah sebelumnya."

"Tidak apa-apa kok, Mas. Aku akan pergi kemanapun Mas pergi, bagiku rumah terbaik dan ternyaman adalah tempat dimana ada Mas." Fira masih menoleh pada sang Suami, menatap pria itu dengan senyum manis.

"Masya Allah, ternyata Mas punya Istri luar biasa." Maulana menanggapi ucapan sang Istri.

Fira mengerutkan kening mendengar tanggapan pria itu, ia teringat sebuah novel yang pernah dibaca tentang Gus, pemeran utama pria sering mengatakan itu pada Istrinya sebagai bentuk kagum dan keharuan.

Maulana melirik sejenak sang Istri, ia merasa aneh melihat ekspresi gadis itu."Ada apa, Sayang?"

"Tumben Mas bilang begitu? Seperti novel dengan MC Gus." Fira memberikan penjelasan mengenai ekspresi wajahnya.

Maulana terkekeh, ternyata gadis itu mengira dirinya seperti novel kesukaannya.

"Memangnya biasa Mas seperti apa?"

"Tidak ada, biasanya Mas hanya senyum saja. Tidak mengatakan Masya Allah." Fira menoleh ke luar jendela, tak sengaja melihat seorang nenek-nenek duduk di tepi jalan dengan sayuran ditaruh di atas karpet. Wajah nenek itu terlihat sedih, mungkin karena jualannya belum ada yang laku hingga malam.

"Mas, Mas mau tidak aku masakin?"

"Tentu saja Mas mau, Mas juta senang jika kamu bersedia." Maulana tidak menoleh pada sang Istri saat memberikan jawaban itu.

Fira tersenyum senang dan langsung meminta Suaminya menepikan mobil."Mas, berhenti dulu."

"Ada apa, Sayang?" Maulana menepikan mobil di tepi jalan, mengalihkan perhatian pada sang Istri dan menatapnya penuh tanda tanya.

"Tadi aku melihat ada seorang nenek duduk di tepi jalan, nenek itu terlihat sedih karena jualannya utuh. Aku mau beli jualannya, kasihan." Fira mengalihkan perhatian pada sang Suami saat menjelaskan alasannya meminta sang Suami menghentikan mobil di tepi jalan.

Maulana tersenyum bangga pada Istrinya."Belilah, Istriku."

" Tapi aku tidak bisa nyebrang jalan, Mas anterin ya?" Fira tersenyum dengan ekspresi imut.

Suami Terbaik 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang