Episode 37

7 1 0
                                    

Hari senin jadwal pelajarannya adalah Matematika 4 jam pelajaran, satu jam pelajaran terdiri dari 45 menit, namun karena ada upacara bendera makan waktu pelajaran Matematika terpotong.

Fira mengeluarkan buku matematika, pelajaran berhitung adalah pelajaran paling tidak disukai oleh gadis itu, meski Gurunya tampan tapi tetap saja pelajaran paling sulit menurut dirinya.

Naira duduk di bangku samping Fira, seminggu yang lalu gadis itu tidak masuk karena ada alasan, hingga  mereka tidak saling mengenal, itu karena Fira masih murid baru.

"Pak Ivan kemana si? Tadi aku tidak melihat my lovely teacher sama sekali."Naira mengeluarkan buku matematika, kepalanya terus menoleh ke arah pintu, berharap bertemu dengan Guru kesayangannya.

"Pak Ivan baru kesini pukul 10 nanti." Fira membuka buku pelajaran, baru juga halaman pertama, kepalanya mendadak pusing hanya karena melihat deretan angka dengan rumus menyusahkan.

Naira menoleh pada Fira, ia tersenyum lebar."Namamu siapa? Kita belum saling kenal, aku Naira Latifatus Syifa."

Fira menoleh pada Naira."Firanda firdaus, panggil Fira saja."

Naira mengangguk, ia senang karena bertemu teman baru, selama ini tidak ada yang bersedia berteman dengannya, namun sekarang ada Fira.

Tak lama kemudian Rangga datang, di tangannya terdapat amplop coklat berisi soal-soal latihan Matematika.

Rangga berjalan menuju meja Guru lalu menaruh amplop coklat itu di atas meja, kemudian berjalan ketengah dan memberi salam.

" Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."

"Walaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh." Serentak seluruh murid memberikan jawaban salam dari Rangga.

"Hari ini sebenarnya Bapak ingin mengadakan ulangan harian, tapi Kepala Sekolah meminta untuk memilih beberapa murid dengan tinggi badan untuk ikut lomba gerak jalan tingkat SMA." Rangga mengamati satu persatu murid kelas 3F, ia tidak dapat melihat mana murid dengan tinggi sesuai ketika mereka sedang duduk.

"Pak Ivan sedang sibuk, jadi mungkin tidak bisa datang hari ini." Dia menambahkan informasi lain tentang Wali Kelas 3F.

Antonio malas menanggapi Rangga, baginya semua Guru di SMA Dirgantara tidak ada yang harus ditakuti selain Wali Kelasnya.

"Semua berdiri!" Rangga meminta murid-murid untuk berdiri, namun tidak ada yang menuruti perintah Rangga selain Fira dan Naira.

Rangga mendengus kesal, sebenarnya ia tidak ingin melakukan pemilihan peserta lomba gerak jalan di kelas 3F, menurutnya lebih baik menunggu Maulana saja, tetapi Yusuf meminta dirinya.

"Kenapa tidak ada yang berdiri?"

"Pak, kami tidak mau ikut! Bapak saja yang ikut." Antonio berdiri menatap Rangga murka, matanya melotot tajam dengan dada membusung.

"Tinggi 170 tapi tidak ikut."

Antonio mengerutkan kening, ia memutar kepala ke arah pintu, terlihat Maulana berdiri menyender di pintu.

Sebuah jas hitam tersampir di lengannya, pria itu segera ke sekolah karena mendengar ada keributan antara Antonio dan Kevin, dengan terpaksa dirinya segera kembali ke sekolah.

Naira menoleh pada Wali Kelasnya, ia bersorak kegirangan."Yey, Pak Ivan datang."

Raut murung Fira berubah ceria melihat kehadiran sang Suami.

Maulana berjalan santai ke depan kelas, berdiri di depan para murid dengan tatapan mata tajam.

"Berdiri!" Maulana memerintahkan semua murid untuk berdiri dengan tegas.

Serempak seisi ruangan berdiri, tidak ada satupun yang berani duduk.

"Berani duduk,  Bapak pastikan besok kursi kalian akan Bapak kasih lem!"

Tidak ada yang berani menjawab ucapan Maulana, semua diam dengan kepala tertunduk.

"Pak Rangga berdiri di sini, meminta kalian untuk berdiri dengan baik-baik. Kalian malah bicara tanpa sopan, membusungkan dada. Apakah kalian tidak tahu yang namanya menghormati Guru?!"

Suasana hening tanpa suara, bahkan Antonio merasa takut walau sekedar mengangkat pandangan.

Fira memberanikan diri mengangkat pandangan menatap sang Suami, mata safir itu menyiratkan kemarahan, wajah merah padam, bahkan urat leher terlihat saat berteriak.

"Antonio!" Maulana memanggil Antonio dengan nada marah.

Antonio terkejut, ia langsung mengangkat pandangan menatap sang Wali Kelas.

"Kemari!" Maulana mengangkat tangan memberi isyarat pada Antonio untuk maju ke depan.

Dengan patuh, Antonio berjalan menuruti perintah Maulana.

Maulana memejamkan matanya rapat, entah kenapa tiba-tiba perutnya kembali nyeri, perlahan pria 30 tahun itu menyentuh bagian tubuh yang sakit.

Setelah itu kembali membuka mata, mengurangi kemarahan dengan tatapan mata lebih lembut."Antonio, bisakah kamu lebih sopan pada Gurumu? Bapak baru izin terlambat beberapa jam, sudah dapat telpon bahwa kamu dan Kevin bertengkar. Bukankah kamu menyayangi Fira? Coba kamu bayangkan saat terjadi keributan antara kamu dan Kevin, dia pasti sedih dan ketakutan, kamu tidak kasihan?"

Jemari lentik Maulana sedikit menekan bagian perut yang terasa sakit.

"Memangnya Bapak mengizinkan aku menyayangi Fira?" tanya Antonio memandang Maulana takut.

"Siapa yang akan melarang mu menyayangi seseorang? Namun rasa sayang itu tentu harus diarahkan pada tempat yang benar," jelas Maulana.

Antonio malu sendiri mendengar ucapan menenangkan dari Maulana, ia pikir tadi akan ditampar atau ditendang karena selalu membuat kekacauan.

"Tinggi kamu berapa, Antonio?" tanya Maulana lagi, jemari lentiknya semakin menakan area perut saat nyeri semakin terasa, meski begitu ia tetap bersikap sabar dan tenang.

"170, Pak."

"Kamu baris di halaman, bersama teman-temanmu, ajak mereka semua kecuali dengan tinggi 150 bagi laki-laki." Maulana memerintahkan Antonio untuk membawa teman-temannya.

Antonio mengangguk, ia menoleh sejenak pada murid laki-laki, dengan pandangan mata saja mereka mengerti. Satu persatu mengikuti Antonio keluar dari kelas.

Tinggal murid perempuan, mereka semua masih berdiri dengan rasa takut.

"Kalian yang tinggi 155 ke atas, segera keluar lalu membentuk barisan. Sebentar lagi Bapak akan memeriksa kesiapan kalian." Maulana kembali memerintahkan murid, kali ini nadanya lebih lembut.

Mereka semua satu persatu keluar kelas, kecuali Fira. Fira berjalan mendekati sang Suami, ia mengangkat pandangan menatap sang Suami.

"Mas, jangan marah terus lagi. Aku tadi tidak sengaja ngobrol saat upacara bendera."

Maulana bahkan tidak tahu Istrinya ngobrol, Rangga juga tidak mengatakan apapun.

"Baik, lain kali jangan lakukan itu, Sayang."

Rangga merasa seperti obat nyamuk, ia pun menyusul para murid yang sedang berbaris di halaman.

Fira menurunkan pandangan, memperhatikan tangan sang Suami, pria itu seperti kesakitan.

"Perut Mas sakit lagi?"

Maulana tersenyum tipis, ia memutar tubuh dan berjalan ke arah kursi lalu duduk di kursi meja Guru.

"Iya, tapi tidak apa-apa. Kamu jangan khawatir, nanti juga baik sendiri." Maulana mengambil obat dari saku jasnya lalu mengeluarkan butiran obat dan menelannya.

Fira berjalan mendekati Maulana, merendahkan tubuh di depan pria tersebut. Fira menaruh kedua tangan di atas pangkuan sang Suami, matanya menyendu tak tega setiap kali pria itu kesakitan.

"Mas, sebenarnya Mas sakit apa? Kenapa sering sekali sakit perut?"

Maulana diam tidak tahu harus menjawab apa, ia tidak ingin jujur dan membuat Istrinya khawatir.

Suami Terbaik 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang