Episode 63

9 1 0
                                    

Satu persatu regu gerakjalan di berangkatkan, Rangga dan Maulana mengawasi regu kelas 3F putra dan putri sedangkan Indri mengawasi kelas 3A putra dan putri.

Rangga memilih menaiki motor sedangkan Maulana berjalan di belakang regu putra, di salah satu tangannya terdapat tongkat kecil berukuran satu meter terbuat dari bambu yang sudah diraut hingga halus digenggam.

Maulana terkenal sebagai seorang Guru yang galak namun perhatian, setiap kali Maulana masuk ke dalam kelas, tidak ada yang berani bicara sendiri atau tidak memperhatikan materi atau akan diberikan hukuman berupa cubitan, jeweran atau dipukul pakai bambu.

Semenjak  2 bulan mengajar di SMA Dirgantara, tidak ada lagi Wali Murid yang mengancam atau lapor polisi hanya karena mendapat hukuman, karena Maulana membagi hukuman menjadi 3 tahapan.

1: Diberi peringatan lembut
2: Peringatan keras
3: Tidak ada ampun yaitu akan mendapatkan hukuman fisik atau akan disuruh menyalin surat yang ada dalam Al Qur'an.

Awal pertama dirinya mengajar, banyak yang protes dengan ketegasannya, bahkan Wali Murid sering datang untuk protes.

Maulana hanya menunjukkan bukti tentang kenakalan yang dilakukan oleh murid tersebut, bila orang tuanya tidak terima, maka dengan senang hati meminta para Wali Murid untuk mengajar sendiri anak -anak yang kelewat bandel di rumah.

Pada akhirnya tidak ada lagi yang berani protes, terlebih karena identitas asli Maulana bukanlah dari kalangan rendah melainkan seorang Miliarder yang memiliki sebuah kekuasaan jika kekuasaan itu menggunakan uang.

Di sepanjang jalan yang dilalui, Maulana sering mendapatkan sapaan dari warga yang kebetulan lewat, mereka merasa berterima kasih atas keramahan dan bantuan secara pribadi yang diberikan oleh Maulana.

"Pagi, Pak Ivan." Seorang Ibu-ibu membawa plastik merah berisi bawang merah menyapa Maulana.

Maulana berhenti sejenak lalu menjawab sapaan Ibu-ibu itu."Selamat pagi, juga."

"Ini, Pak. Kebetulan Suami saya lagi dagang bawang merah, ini buat Pak Ivan dan keluarga." Ibu-ibu itu menyerahkan seplastik bawang merah tersebut.

Maulana tidak tahu harus bagaimana, ia tidak pernah berbelanja bahan dapur, dirinya hanya kerja cari uang lalu menyerahkan uang bulanan pada kepala pelayan untuk dapur.

"Ini harganya berapa, Bu?"

"Pak Ivan ini, saya ini memberikan pada Pak Ivan. Terimakasih atas pertolongannya, mereka itu memang sudah sering bersikap seenaknya di kampung sini."

Maulana tidak mengerti tentang ucapan wanita itu, mereka siapa? Dan tentang apa.

"Maaf, Bu. Apa Ibu salah orang? Saya tidak merasa menolong siapapun, dan kapan saya menolong? Mereka itu siapa?"

"Duh, Pak Ivan ini. Selain ganteng dan jago beladiri, tapi sering melupakan kebaikan sendiri. Tadi pagi, Pak. Bukankah Bapak berkelahi dengan para preman di atas atap rumah Adik saya?"

Maulana memikirkan kembali ucapan wanita itu, sepertinya ia mengerti maksud ucapan wanita tersebut.

"Oh, tadi pagi itu? Itu karena mereka menyerang saya dan..." Maulana belum sempat meneruskan ucapannya.

"Bagaimana kalau Pak Ivan kapan-kapan mampir ke rumah saya? Saya akan kenalkan Bapak pada putri saya, dia seorang calon dokter." Wanita itu sangat antusias, meski Suaminya seorang pedagang bawang merah namun anaknya mampu sekolah kedokteran karena menjual warisan.

"Eh, itu ..." Maulana semakin bingung, sepertinya wanita itu ingin menjodohkan dirinya dengan putrinya.

"Kenapa, Pak?" tanya wanita itu melihat ekspresi Maulana.

"InsyaAllah ya, Bu. Tapi sekarang saya harus pamit, murid -murid saya sudah jauh di depan." Maulana tidak ingin berlama-lama ngobrol dengan wanita itu.

"Ya, Pak Ivan, silahkan. Maaf, telah mengganggu pekerjaan Pak Ivan." Wanita itu mengangguk.

Maulana membalikkan tubuh lalu melangkah kaki bergabung dengan barisan gerak jalan murid kelas 3F.

"Pak Ivan." Rangga mendekati Maulana dengan menaiki motor di atasnya, melajukan motor sangat pelan mengimbangi langkah kaki Maulana.

"Itu dapat dari warga ya, Pak?" Pandangan Rangga tertuju pada plastik besar warna merah di tangan Maulana.

Maulana menyerahkan plastik itu pada Rangga."Ini, Pak Rangga. Bapak bawa, ini adalah bawang merah, isinya mungkin 5 kg."

"Ha?" Rangga mengambil plastik besar warna merah berisi bawang merah itu, lalu menaruh di depannya.

"Lumayan berat kalau terus dibawa."

Maulana tersenyum tipis."Pak Rangga ini ada-ada saja."

"Pak Ivan, Bapak seperti artis saja, banyak penggemar." Rangga bicara dengan becanda.

Maulana terkekeh mendengar gurauan Maulana."Pak Rangga ada-ada saja, saya bukan artis dan tidak memiliki penggemar."

Pria itu memperhatikan jalan di depannya, menatapnya dalam diam."Pak Rangga, manusia terkenal dengan dua hal. Terkenal karena kebaikan dan terkenal karena kejahatan, buat apa terkenal kalau terkenal kejahatannya seperti Fir Aun dan Abu Lahab."

Rangga mengangguk, apa yang dikatakan Maulana benar. Kenapa manusia sangat ingin terkenal? Kenapa tidak ingin menjadi baik? Buat apa terkenal dan memiliki banyak pengikut kalau itu tentang suatu ketidak baikan.

"Pak Ivan selalu bijak."

"Tidak juga, Pak Rangga. Saya hanya manusia biasa, juga bukan orang baik, tapi saya belajar menjadi orang yang baik." Maulana tersenyum miris mengingat betapa dulu dirinya sangat jahat dan seakan tidak memiliki perasaan.

"Pak Ivan ini bicara apa? Kalau orang seperti Pak Ivan dikatakan bukan orang baik, lalu orang seperti saya ini termasuk orang apa?" Rangga tidak mengerti sendiri.

Di barisan kelas 3F putri, Fira menoleh kebelakang sejenak. Ia penasaran dengan apa yang tadi dibawa oleh sang Suami, namun melihat pria itu masih ngobrol dengan Rangga, rasanya tidak pantas kalau dirinya menyela.

"Andrian, Zayda itu pacarmu ya?" Antonio bertanya pada Andrian, meski terkadang tidak ditanggapi dengan baik.

"Ya." Hanya itu jawaban Andrian, mereka ngobrol sambil tetap berjalan dalam barisan.

Antonio tersenyum."Fira itu pacar ku, aku suka dia karena kesederhanaan. Dia juga jujur dan tidak suka berbohong hanya demi sebuah ketenaran."

Andrian melirik Antonio sejenak, ada perasaan tidak nyaman dalam hati saat mendengar Andrian mengatakan bahwa Fira adalah pacarnya Antonio, ia ingin Fira terus mengejarnya dan mencintainya.

"Dulu Fira sangat menyukaiku, dia seperti orang gila saat mengejar ku. Tapi masa baru 8 hari langsung punya pacar?" Dia berbicara dalam hati, tidak percaya dengan ucapan Antonio.

"Tapi Fira itu Istrinya Pak Ivan," kata Antonio lagi.

Andrian menoleh pada Antonio, ia semakin tidak percaya. Yang didengar adalah Fira dipaksa menikah dengan pria tua demi melunasi hutang orang tuanya, saat itu Andrian sangat menyesal karena membiarkan gadis itu keluar dari sekolah dan menikah.

Saat Andrian mendengar Fira kembali sekolah namun pindah sekolah, ia memutuskan untuk pindah sekolah juga, sekalian ingin memperbaiki hubungan dengan gadis itu.

Namun siapa sangka, ternyata Fira justru menikah dengan seorang pria tampan meski usianya beda jauh.

Suami Terbaik 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang