Episode 24

55 3 0
                                        

Mansion Mizuruky

"Kau yakin ini rumah Pak Ivan?" Antonio mengamati dari sebrang jalan sebuah rumah dengan pintu gerbang warna hitam. Ia dan Angga masih duduk di atas motor sport miliknya.

" Tentu saja, aku pernah melihat Pak Ivan masuk ke dalam rumah ini. Fira juga bilang kalau ini memang rumah Pak Ivan," balas Angga penuh keyakinan.

Antonio kembali memperhatikan Mansion Mizuruky, di depan pintu gerbang terdapat 4 orang pria dengan kemeja putih, jas hitam, celana dan dasi bahkan sepatu juga hitam.

Ia yakin kalau 4 pria itu adalah seorang pengawal yang sudah terlatih, semua terlihat dari ekspresi datar dan posisi berdiri tegak.

"Tapi mana mungkin seorang guru honorer bisa punya rumah sebesar ini?"

"Kau jangan salah, Ayahmu sendiri yang bilang kalau nama Pak Ivan itu adalah Mizuruky Ivan, hanya selama ini Pak Ivan menggunakan nama Ivan Maulana Rizky, kalau tidak salah si seperti itu." Angga sedikit tidak yakin dengan nama Wali kelasnya itu, dia bukan PNS hingga di seragamnya tidak ada nama dada.

"Sudahlah, lebih baik kita tanya saja pada mereka."

Antonio menghidupkan mesin motor, kemudian melajukan ke arah Mansion Mizuruky.

Para pengawal itu langsung siaga saat motor Antonio mendekati Mansion Mizuruky.

Antonio menghentikan motor tidak jauh dari pengawal itu berdiri, ia dan Angga turun dari motor lalu berjalan mendekati para pengawal.

"Pak, apakah benar ini rumah Pak Ivan? Guru SMA Dirgantara?"tanya Antonio sopan.

"Benar."

Angga menelan ludah dengan jawaban singkat dari penjaga itu, baru kali ini melihat manusia seperti robot.

"Apa Pak Ivan ada? Saya Antonio, murid Pak Ivan." Antonio kembali melanjutkan pertanyaan.

"Tuan Muda tidak ada di rumah."

Antonio mengangguk."Terimakasih, Pak."

Antonio menyentuh bahu Angga memberikan isyarat untuk pergi.

Sementara itu...

Tak henti-hentinya Fira menyeka air mata, syok masih belum hilang dari pikiran meski sang Suami sudah dipindahkan di ruang VVIP.

Gadis itu duduk di tepi hospital bed, matanya sembab karena terus menangis tanpa henti.

Yasmin berusaha menghibur putrinya, ia dan sang Suami segera menyusul ke rumah sakit saat anak keduanya itu telpon.

"Fir, sudah jangan menangis lagi. Kasihan Suamimu, dia akan sedih melihat mu terus menangis," kata Yasmin sambil mengusap lembut bahu sang buah hati.

"Benar kata Ibumu, Fira. Biarkan Suamimu istirahat dulu, kalau kamu menangis terus, kapan dia bisa istirahat. Suamimu kan baru siuman," timpal Ghifari sambil berjalan duduk di sofa.

"Tapi tadi kan takut, Pak. Bapak si tidak tahu," balas Fira sambil terisak pilu.

Melihat sang Istri menangis ketakutan, Maulana tidak tega, dengan tubuh lemah ia berusaha bangkit dari posisi tidur.

Pria 30 tahun itu perlahan menggerakkan tangan menyentuh jemari mungil Istrinya."Sayang, kemarilah."

Fira mengalihkan perhatian pada sang Suami, ia menuruti perintah pria itu untuk mendekat.

Maulana menarik Fira ke dalam pelukannya, kemudian berkata,"Maaf karena sudah membuat mu bersedih, aku juga tidak tahu ini akan terjadi."

Fira semakin histeris, ia mengeratkan pelukannya pada sang Suami."Paman, aku tadi sangat takut. Bagaimana kalau Paman tidak bangun lagi? Bagaimana kalau aku harus jadi janda? Aku tidak mau hidup menderita lagi, apalagi harus dijual," katanya sambil menangis.

Maulana tersenyum kecil mendengar keluhan sang Istri."Siapa yang ingin menjual mu? Selama Suamimu ini masih hidup, tidak akan ada yang boleh menyakitimu."

Fira menarik diri dari pelukan sang Suami, mendongak menatap pria tersebut sambil berkata,"Paman, jagalah kesehatan, jangan sakit-sakit. Paman, aku sekarang suka Paman."

Dia berkata dengan wajah malu-malu."Paman jangan sakit, aku nanti sedih."

Maulana terkekeh pelan, ia mengangkat tangan mengusap air mata sang Istri."Istriku, Suamimu ini juga tidak berniat sakit, kamu doakan saja ya? Kalau kamu suka, kenapa masih panggil Paman? Kenapa tidak panggil Mas saja?"

Yasmin dan Ghifari tersenyum malu melihat keromantisan anak dan menantunya, mungkin ini juga yang disebut musibah membawa berkah.

"Nak, Nak Ivan kan Suamimu, jadi kamu tidak sopan memanggilnya Paman," sahut Yasmin dengan senyum malu.

"Baiklah, aku akan panggil Mas." Fira merengut tidak rela.

Maulana tersenyum lembut."Kamu sudah makan? Ini sudah siang."

"Mana ada nafsu makan lihat Mas seperti itu, Mas tadi pingsan lama sekali, aku kan sangat takut," balas Fira.

Maulana mengangguk, ia meraih ponsel yang atas di nakas lalu menghubungi seseorang.

"Mizuno, belikan Nyonya Muda makanan di restoran. Bawa ke rumah sakit."

Fira memperhatikan saat sang Suami memerintahkan orang, ia tersenyum sendiri melihat betapa perhatian pria itu pada dirinya.

"Mas, kenapa hanya untuk ku? Untuk Bapak dan Ibu ku mana?"

Maulana mengangguk."Iya, kan bisa beli lebih dari satu porsi. Mas senang sekali lihat kamu begitu perhatian terhadap orang tua."

"Tidak perlu seperti itu, Fir. Jangan merepotkan Suamimu, dia sedang sakit," kata Ghifari menegur sang Buah hati.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya justru senang karena Istri saya peduli pada orangtuanya," balas Maulana.

Yasmin dan Ghifari sangat senang."Baiklah, kalau begitu kami keluar dulu. Kalau perlu sesuatu, panggil saja."

Fira menoleh pada kedua orang tuanya."Iya, tapi nanti Bapak dan Ibu nginep di sini kan?"

"Iya, kamu jangan khawatir," balas Yasmin.

Fira tersenyum lega, ia membiarkan kedua orangtuanya keluar dari ruang rawat tersebut.

Perlahan Maulana merebahkan tubuhnya kembali, tubuhnya masih sangat lemah.

Fira turun dari tempat tidur pasien, ia berjalan ke arah meja, di atas meja itu ada ponsel miliknya.

Gadis itu mengulurkan tangan hendak meraih ponsel itu, tapi belum sempat mengambil suara pintu ruangan diketuk membuatnya mengurungkan niatnya.

Fira menegakkan tubuhnya kembali, mengalihkan perhatian pada arah pintu.

Tak lama kemudian pintu itu terbuka, terlihat Sinya dan Catherine dari balik pintu masuk ke dalam ruangan.

Di tangannya terdapat keranjang buah, sepasang Suami Istri itu berjalan menghampiri buah hati mereka.

"Van, bagaimana perasaan mu sekarang?" tanya Catherine lembut.

"Sudah lebih baik, Bu. Ayah dan Ibu kenapa ke sini?" balas Maulana heran, tidak biasanya kedua orang tuanya itu akan pergi bersama.

"Sebenarnya Papa lebih ingin membawa Mama Nadia, tapi Ibumu melarang. Katanya Mama Nadia nanti ribut dengan Istri mu," jelas Sinya dengan wajah masam pada Istri pertamanya.

"Bukankah memang seperti itu? Nadia selalu memandang Fira sebagai saingan cintanya, padahal Fira itu bukan madunya tapi Istrinya Ivan," balas Catherine kesal.

"Nadia bukan bermaksud seperti itu, Nadia hanya tidak suka karena Fira selalu menguasai Ivan. Menurut Nadia, Ivan lebih cocok dengan gadis yang baik dan berpendidikan," kilah Sinya tidak terima Istri terakhirnya dipandang jelek.

Fira merasa sakit hati dengan ucapan Sinya

Suami Terbaik 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang