Ini siang dimana matahari nampak malu-malu. Benda kuning yang biasanya bersikap superior itu kini sedang terhalang sekawanan gumpalan empuk keabuan yang berenang malas di riakan langit.
Anak-anak angin berlarian di sepanjang cakrawala. Kadang mengibaskan ekornya dengan nakal, mengebahkan daun-daun dari pepohonan.
Tak luput karena ulahnya, selembar daun jati yang sedari tadi bergelayut lemah di pucuk ranting, kini mulai melayang zig-zag menuju rerumputan, namun akhirnya berhenti untuk meniti jemari seorang gadis yang sedang duduk di bawah induk pohonnya.
Frisca bertopang dagu diatas silaan lututnya, lalu memainkan daun di tangannya dengan bosan. Ini daun kelima yang sudah gugur sejak Ia duduk di bawah rimbunan pohon kawasan taman belakang Season High. Daun yang berarti 'Luke'.
Frisca merasa otaknya sudah tidak waras. Alih-alih mencoba mendengar ke lubuk nuarni, Ia malah memutuskan duduk disini seperti pertapa sambil menentukan pilihan hatinya (antara Calum dan Luke) dengan cara menghitungi daun yang jatuh.
Frisca menyentil daun di tangannya, lalu mengosongkan mata. Mengingat obrolan monolog kurang menyenangkan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Di dapur kediaman keluarga Hemmings.
***
[flashback on]
Pernah suatu kali, Frisca tak sengaja memecahkan jambangan bunga Bundanya. Hari itu, waktu Frisca kelas 3 SD, kelasnya baru saja belajar mengenai bola kasti. Ibas yang baru saja mendengar kata 'kasti' hari itu sudah bersikap layaknya Ia pitcher liga internasional, langsung menginvasi rumah kontrakan Frisca yang memiliki ruang tamu cukup lapang untuk diubah menjadi area permainan.
Entah bagaimana ceritanya, bola lemparan Ibas mengenai jambangan tua di sudut meja, yang langsung berderak pecah dan berubah menjadi potongan-potongan keramik kusam tak berbentuk.
Ibas beserta konco-konconya langsung melongo lalu tiba-tiba memutuskan bahwa hari sudah kelewat sore padahal mereka masih harus melakukan kunjungan 'diplomatik' ke rumah Rizky, meninggalkan Frisca yang harus menyembunyikan jambangan itu di bawah tempat tidurnya.
Akhirnya, Frisca juga memutuskan mengubah dekorasi ruang tamu, meletakkan botol air kosong menggantikan jambangan. Berharap Bundanya tidak sadar dan menganggap botol air itu memang lebih cocok menjadi penghias ruang.
Tentu saja Bunda, yang baru pulang dari rumah Bu RT sehabis meminjam oven, menyadari perubahan kecil namun cukup signifikan di ruang tamunya.
Bunda menghampiri Frisca yang sempat menghindar dan bersembunyi di kamar, lalu mengajaknya bicara pelan-pelan. Belum apa-apa, bahkan belum mendakwa, Frisca sudah memanjat ke pangkuannya lalu menangis tersedu disana. Menyesal.
Setelah Bunda mengusap rambut dan belakang telinganya, Frisca bisa mendengar Bunda berkata lembut bahwa Ia kecewa bukan karena Frisca memecahkan jambangannya, tapi kenapa gadis cilik itu menyembunyikan pecahannya di bawah kasur dan tidak berkata jujur. Tragedi pun diakhiri dengan permohonan maaf Frisca dan janji bahwa Ia takkan mengulanginya.
Dan beberapa hari yang lalu, hal itu terulang lagi. tapi, kali ini Frisca tak menepati janjinya untuk tidak menyembunyikan kejujuran. Calum sedang mencoba menarik kepingan kebenaran itu dari Frisca. Tapi gadis itu menahannya, membiarkan pecahan itu ada dalam dekapannya. Tak mengacuhkan luka yang bias ditimbulkan dari sana. Karena Frisca tak mau siapapun mengorek kesalahannya, walau pada kenyataannya semua orang melihat bukti di tangannya.
Frisca sedang berada di dapur, memotong-motong beberapa gelondongan tofu di atas talenan kayu saat terdengar suara baritone yang khas itu.
"Boleh minta tolong semua kosongkan dapur?" nada memohon dengan aksen memerintahnya yang biasa.
![](https://img.wattpad.com/cover/74953019-288-k769117.jpg)