Frisca membiarkan Michael menggerakkan setir VW antic-nya entah kemana. Gadis itu begitu kalutnya hingga tak punya sedikitpun dorongan untuk bertanya. Ternyata, rasa pahit pil-pil kenangan itu tak mau lepas dari ujung kulitnya. Dan semakin Frisca mencoba menepisnya, lapisan itu malah mengacaukan sistem otaknya.
Michael sendiri tak tahu kenapa. Sejak melihat kegalauan Frisca di depan pintu ruang rawat Sifa tadi, Ia ikut terpana dan tak tahu harus berbuat apa. Setelah lepas dari ketidaksadaran sekaligus rasa bersalahnya, Michael baru menyadari gadis itu sudah –kebingungan- menaiki angkutan umum dan pulang menuju rumah Calum.
Michael, mau tak mau merasa bertanggungjawab atas simalakama yang diberikannya secara tak langsung pada Frisca. Ia tahu, gadis itu pasti tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Dan Ia yang tertuntut untuk menjabarkan segalanya, dengan semua keterpaksaan yang ada.
Frisca akhirnya mengangkat wajah saat VW Michael berhenti di depan gerbang sebuah rumah yang cukup dikenalnya. Rumah minimalis milik keluarga Sifa. Michael menatap Frisca, mendesah pelan "Turun sebentar ya, Ca. Gue butuh bicara," yang dijawab gadis itu dengan anggukan pasrah.
Frisca mengekori langkah Michael yang sudah turun terlebih dulu dari mobilnya. Mendengar pemuda itu mengucapkan entah apa pada satpam di rumah Sifa yang sudah dikenalnya lewat sela-sela gerbang. Setelah pintu gerbang terbuka, Michael menitipkan mobilnya pada satpam yang sama sekaligus menolak halus tawaran utnuk memasukkan VW-nya karena kata pemuda itu mereka hanya akan berkunjung sebentar saja.
Frisca tidak berniat mengangkat kepala, benaknya digelantungi pusaran pikiran aneh yang membuatnya hanyai inign mengikuti kaki-kaki Michael. Terserahlah pemuda itu mau kemana atau mau apa, Frisca tidak mau berusaha mengerti.
Michael berhenti di depan sebuah pintu kayu aras, menghela nafas lalu memutar kenop dengan tangannya. Ia memasuki ruang bermain Sifa. Mata indahnya mencari-cari sekilas. Dan akhirnya Ia mengambil sebuah kantong kertas yang didapatinya di sela-sela meja.
Pinjam sebentar ya, Sif. Jangan buat Frisca satu-satunya yang tidak mengerti disini, batin Michael pelan. Ia bergerak memasukkan beberapa benda yang sempat diceritakan Sifa padanya secara cepat melalui sebuah pesan singkat. Pesan berisi informasi yang dipaksanya untuk diceritakan Sifa saat melihat Calum mencari kertas teka-teki itu pada suatu sore.
Frisca memainkan jari-jari tangannya, masih bersikap tak mau peduli. Sedari tadi, Ia berusaha untuk tidak memikirkan apa-apa. Takut kalau-kalau pemandangan yang dilihatnya tadi muncul lagi dan ..... Sudahlah. Frisca benar-benar ingin berpura-pura tak tahu satu hal pun.
Michael berjalan ke depan Frisca sambil menenteng kantong kertas yang sudah dimuatinya.
"Ca," ucap Michael, berusaha mendapat perhatian gadis itu sambil menaruh kantong tadi di dekat kakinya.
Frisca memejamkan mata sekali lalu mengangkat wajah dan menatap Michael "Kenapa?" tanyanya begitu lemah.
"Mungkin semua hal ini.. terlalu membingungkan ya buat lo?" Tanya Michael "Gue juga bingung pada awalnya. Ada beberapa hal disini yang memang seharusnya gak kita coba untuk mengerti, karena hal-hal itu gak ada artinya buat kita, selain untuk mereka."
Frisca mengerutkan kening, tidak tahu dan sesungguhnya tidak mau tahu kemana arah pembicaraan Michael. Ia tak mau mengerti. Lebih baik lagi, jika Ia berusaha menyangkali dirinya sendiri.
"Calum dan Sifa, jelas ada sesuatu di antara mereka. Harusnya gue gak berhak certain semua ini. Dan masalahnya adalah, lo tanpa sadar sudah terseret terlalu jauh, mau gak mau lo harus tahu, meski kayaknya lo sekarang gak berniat untuk mengerti," Michael menarik nafas saat Frisca menunduk lagi lalu melanjutkan.
"Gue punya satu permohonan, Ca. Satu aja. Untuk kali ini, ijinkan Sifa terhibur dengan keberadaan Calum. Gue sudah terlalu sering melihat Sifa sedih karena tekanan pikirannya sendiri. Dan kalau Calum lah yang bisa membuat Sifa bertahan dari guncangan ini untuk seterusnya, tolong bantu Sifa ya, Ca?"