Bab 36

5.3K 578 1.5K
                                        

Java Ballroom, Brew Hotel, 19.30

Frisca menarik dan membuang nafas perlahan, lalu mengulangi prosesi itu lagi hingga beberapa kali. Ia lantas bergerak menumpukan kedua tangan di atas dada, merasakan detak jantungnya bergemuruh riuh. Sebentar lagi, batinnya putus asa.

Ia memang sudah benar-benar pasrah, menyadari ia menapaki ruas buntu yang tak pernah menjanjikan jalan kembali.

Gadis itu mendesah, memutuskan berdiri dari sofa yang ia duduki lalu berjalan lamat-lamat dan melongok keluar dari pintu yang sedikit terbuka, berusaha mencari-cari anggota keluarga yang lain.

Luke, Romi dan Stefanus nampak menyebar secara sporadis di seputar ballroom, sibuk beramah-tamah dengan para tamu yang semuanya sedang memegang segelas cocktail. Calum... Tak tahu kemana. Sementara dirinya sendiri, memilih bersembunyi di ruangan kecil yang menyendiri di salah satu sudut ballroom. Tempat dengan meja dan sofa-sofa, yang dikhususkan untuk ruang istirahat keluarga.

Frisca, yang sedari tadi merasa kakinya diganduli beban seberat sepuluh ton, menghela nafas bersyukur karena seluruh anggota keluarga memutuskan memasuki ballroom lewat jalan khusus. Tidak melalui grand foyer di depan pintu utama, hingga dirinya terbebas pula dari ancaman tambahan ketegangan karena melihat tamu-tamu yang datang.

Setelah beberapa lama menyadari ia merenung seperti orang aneh di depan pintu, gadis itu akhirnya memutar tubuh, berjalan lunglai menuju sofa dan memutuskan kembali duduk disana, menunggu panggilan neraka itu tiba.

Frisca membuang nafas lelah, menyenderkan kepala di atas bantalan sofa lalu tak lama merubah posisi wajahnya menjadi miring akibat tatanan rambut yang mengganjal. Gadis itu pun menyilangkan kaki dan memejamkan mata, berusaha membunuh waktu dengan terlelap lagi saja. Karena takut jika ia menunggu, ia akan merasa makin tak mampu.

Baru sekitar dua menit memasuki alam bawah sadar, Frisca terpaksa kembali membuka mata akibat sebuah suara samar yang terdengar memanggilnya.

"Ca?"

Gadis itu reflek menoleh lalu bergegas mengangkat kepala dan membenahi posisinya ketika melihat siapa yang datang berkunjung. Ashton dan Gabby, ternyata.

Frisca tersenyum pelan, mengurai lipatan kakinya lalu berdiri dan menghampiri kedua orang yang masih berdiam di dekat pintu itu.

Gabby, yang memang sudah sejak lama mengibarkan bendera putih, tanpa ragu menempelkan pipi kiri dan kanannya pada milik Frisca lalu mengucapkan, "Selamat ya," pelan.

Frisca mengangguk sekilas, lalu beralih memandang Ashton. Kedua kawan lama itu hanya saling menatap beberapa saat, nampak masih menelaah perubahan masing-masing setelah cukup lama tak bertemu.

Hingga akhirnya, pemuda pemilik atmosfir hangat itu pun mengeluarkan senyum menenangkannya yang biasa lalu bergerak memeluk Frisca lebih dulu, menularkan aura positifnya.

Frisca menepuk punggung Ashton beberapa kali lalu perlahan menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, untuk pertama kalinya tersenyum tanpa memikirkan beban malam itu. "Thanks, Ash." Ucapnya lirih, seperti selalu, sejak dulu ia hanya bisa berhutang pada pemuda itu.

Ashton melepas pelukannya, lalu ganti menepuk pelan rambut Frisca. Sebetulnya ia ingin mengacaknya, tapi takut tindakannya akan menimbulkan kekacauan penampilan gadis itu.

"Gue belum bilang apa-apa kok udah diucapin thanks," protesnya bercanda.

Frisca tertawa, lalu tiba-tiba terdiam dan bergegas memandang Gabby. Takut gadis itu mengamuk cemburu atau semacamnya. Tapi ternyata, Gabby hanya menatapnya dengan pandangan aneh, seperti bingung, yang jelas bukan mengindikasikan iri atau apapun yang dicemaskannya.

Love Command [5SOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang