Ada sebuah rasa berbeda, saat mengalun bersamanya. Sebuah lagu asing yang membawanya, meretas asa bersama sang pujangga tawa. Waktu pun terperangkap dalam kaca, karena hadirnya. Dan timbulah rasa kecewa, bagi sepotong hati lainnya.
***
Pesta Sifa sudah hampir berakhir, namun Frisca masih berasa di balkon yang sama, menikmati pemandangan laut yang sama. Namun dengan iklim emosi yang berbeda. Karena, ikut pergi, bersama sosok lelaki tadi.
Frisca memejamkan mata, merasakan tangis yang tersisa di sela bulu matanya. Angin malam berhembus pelan, mengeringkan dua riak sungai yang membekas di pipinya.
Dingin. Sedingin kedua selaput bening mata pencair tembaga yang ditatapinya tadi. Frisca bergidik pelan.
Namun dalam beberapa detik, malam tidak begitu dingin lagi. Frisca menoleh dan mendapati bahwa Ashton baru saja datang, membawa atmosfir hangat khas-nya.
Raut wajah dan binar mata Ashton tampak cemas. Perlahan, Ia melepas dan menyelubungkan bahu Frisca dengan jasnya yang cukup besar, lalu dengan berhati-hati mengurai kuncir tinggi rambut Frisca sehingga tidak terhalang baju penghangat barunya.
Frisca menatap Ashton melakukan semuanya dalam diam. Dan membiarkan sosok itu ikut beranjak ke sampingnya, mendengar desau angin yang sama.
Ashton menatap lurus ke depan, "lo gak dengerin kata gue ya?"
"Hah?" Kata Frisca spontan.
Ashton mengalihkan pandangan kearah gadis di sebelahnya, "buat nikmatin pestanya."
"Oh," jawab Frisca pelan "keliatan ya?"
Ashton mengangkat bahu, menoleh ke depan lagi. Melihat pemandangan yang sama dengan Frisca. Ombak yang memukul batu karang.
Hening sejenak, yang akhirnya dipecahkan oleh desahan panjang Frisca. Ashton kembali memalingkan wajah kearah Frisca.
"Gue kira..." Kata Ashton pelan, "elo setegar karang."
Frisca tersenyum miris, masih memandang kearah karang, "karang pun bisa rapuh kalau diterjang ombak terus."
"Jadi, cowok itu ombaknya?"
Frisca terkejut dengan pertanyaan Ashton barusan, Ia memandang cowok itu lekat-lekat, "keliatan ya?"
Tak disangka, Ashton tertawa kecil. "Gak ada yang kebih menyedihkan daripada orang yang nanya hal yang sama dalam waktu kurang dari lima menit."
Frisca menundukkan kepala, tau keadaannya memang teramat menyedihkan.
Ashton mendesah, "cuma bercanda." Heran sendiri, kenapa dia begitu peduli pada gadis yang baru dikenalnya kurang dari empat jam yang lalu.
Frisca menarik sudut sudut bibirnya ke atas. Usaha tersenyum yang gagal. Mengenaskan.
"Cowok itu siapa?" Tanya Ashton pelan. Siapanya elo? Kenapa dia ninggalin elo disini? Kenapa dia bikin lo nangis? Kenapa dia datang sama cewek lain? Kenapa lo begitu sedih? Rentetan tanda tanya berukuran gigantis melayang di benak Ashton.
"Eh, bukan berarti gue mau interfering loh, cuma..." Ashton menggantung kata-katanya.
Frisca tersenyum, "iya, aku tau," katanya melirik kejujuran di mata Ashton "tapi cerita ini agak panjang.."
Frisca mengangkat kepalanya, melihat Ashton yang tersenyum kecil, mengetahui bahwa lelaki ini tulus dan mau bersabar mendengarnya.
Mungkin terlalu banyak yang ditanggungnya sendiri, terlalu banyak teka teki yang tak mampu dipecahkan hati kecilnya yang malang. Mungkin, harus ada seseorang untuk berbagi. Seseorang yang bisa membantunya meng-dekode misteri perasaannya. Dan mungkin, laki-laki di sebelahnya kini, adalah orangnya.
