Setelah sarapan, Frisca akhirnya benar-benar melarikan diri. Tidak. Bukan dari kediaman Hemmings, namun hanya dari tekanan pikirannya sendiri. Dan karena ia tahu, satu-satunya cara ia bisa tenggelam dalam dunia lain hanya melalui buku, ia pun memutuskan bertandang ke perpustakaan.
Ah. Ruangan yang mengingatkannya pada sesuatu. Frisca mendesah samar, berharap kali ini takkan ditemukannya Luke di meja tengah ruangan. Tidak lagi dengan harum dan analogi teh yang hanya memperumit hidupnya. Ya. Ia ingin menghindari pemuda itu biar hanya untuk beberapa waktu saja kali ini.
Gadis itu mulai menyusuri bagian rak fiksi, sambil mendengar ritmik ketukan langkahnya sendiri yang terperangkap dalam kesenyapan sebelum akhirnya berhenti.
Tak lama, ia sudah sibuk bolak-balik membungkuk dan menegakkan tubuh -sesekali berjingkat-, secara acak memindai barisan buku yang menjulang hingga jauh di atas kepalanya. Frisca mengulum bibirnya sendiri, harusnya tak merasa heran tak menemukan novel atau apapun sejenis fiksi yang sesuai dengan selera atau pengetahuannya.
Kebanyakan bacaan disini berbahasa Inggris, dengan nama-nama pengarang asing -baik berbau Barat maupun Jepang- yang tak pernah ia ketahui. Sejauh ini, fiksi ter-'ringan' dan tersering ia dengar yang ia temukan hanya versi orisinal trilogi The Golden Compass oleh Philip Pullman.
Gadis itu meringis, tidak ada seri remaja disini. Perpustakaan yang serius sekali, nilainya. Ia menggeleng-geleng lalu tak lama terdiam lagi, menyadari mungkin memang tidak ada alasan untuk menambahi koleksi dengan bacaan ber-genre umur itu, karena sebelumnya tak ada perempuan seumurannya disini.
Frisca akhirnya mengangkat bahu, lalu memutuskan menyambar Silver Knife, sekuel The Golden Compass dari sana. Mungkin dengan modal grammarnya yang cukupan, buku ini bisa jadi tantangan sekaligus jalan untuknya. Untuk menyibukkan diri dan berhenti sejenak memikirkan hal-hal yang meresahkan hati.
Tap .. Tap .. Tap ..
Frisca tercekat dan kontan berhenti di tempat ketika mendengar ketukan langkah yang baru menggema.
Tap .. Tap .. Tap ..
Terdengar lagi ketika ia berdiam. Berarti tidak mungkin itu suara langkahnya sendiri kan. Gadis itu meneguk ludah.
Jadi siapa? Luke kah? Atau Calum? Gadis itu mencengkram buku di pelukannya erat-erat, lalu setelah beberapa saat memutuskan untuk kembali berjalan tanpa suara, kabur jika bisa.Karena ia berada dalam posisi belum siap untuk dihadapkan dengan kenyataan. Tidak sekarang, di tengah ruangan sesepi ini, di tengah usahanya menyembunyikan diri.
Tapi kesialan ternyata masih sudi menyapanya. Karena tepat ketika ia tengah mengindap di balik barisan genre astronomi, takdir menuntunnya untuk menemui pemilik langkah tadi.
Dan ternyata ia bukan siapa-siapa, melainkan Stefanus Hemmings.
***
Frisca meneguk ludah, membenahi posisi duduknya lalu mengalihkan pandangan pada santigi di tengah meja. Ia tak tahu sejak kapan tanaman hias mungil itu ada disana. Kali terakhir ia kesini belum ada, seingatnya.
Lalu tak lama gadis itu mendesah tak kentara. Tahu kekhawatirannya bukan tentang santigi, tapi mengapa pria di hadapannya tiba-tiba mau mengajaknya bicara disini. Akan didakwakah ia?
Stefanus berdeham kaku, sebenarnya juga ragu mengapa sebelum ini ia tak bisa menahan diri meminta bincang dua mata pada gadis itu. Mungkin dorongan kuat untuk menyelesaikan kisahnya dan juga kisah mereka.
Frisca kini ganti memperhatikan cover novel yang tadi diambilnya dengan terlalu seksama, akibat bingung mau berbuat apa. Sesekali, ia melirik Stefanus dengan ekor mata, lalu mengembalikan pandangan pada objeknya yang semula ketika pria itu tak juga mengindikasikan akan mulai berkata.