Shock yang dialami Frisca karena bentakan cowok tampan tadi semakin menjadi-jadi ketika si bibi tua itu membawanya masuk melewati gerbang besar tadi. Dengan tatapan takjub, Frisca melirik kearah kamera CCTV yang berada diatas gerbang.
Sebuah air mancur besar berdiri megah di tengah halaman, di sebuah jalan setapak yang cukup lebar untuk tempat parkir mobil orang sekampungnya –diasumsikan, semua orang di kampungnya yang padat itu punya mobil-. Ditingkat teratas air mancur itu terdapat sebuah ukiran besar dari marmer, lambang yang sama dengan simbol di gerbang tadi. Di sisi kiri dan kanan jalan setapak itu terhampar sebuah kebun luas. Masing-masing luasnya hampir 4 kali lipat dari luas kebun Mang Kirman.
Dan astaga, ketika Frisca melemparkan pandangannya kedepan, sebuah rumah besar bertingkat empat menjulang kokoh di hadapannya. Beranda depan rumah itu –yang luasnya lima kali dari rumah kontrakannya- ditopang oleh pilar-pilar besar yang terbuat dari marmer. Begitu pula lantainya. Lampu Kristal menggantung angkuh di langit beranda, menyempurnakan segalanya.
Ini rumah atau hotel? Pikir Frisca.
"Kita lewat garasi aja ya masuknya, jangan lewat pintu depan." Si bibi menarik Frisca ke samping beranda, kearah sebuah pintu kecil yang bersebelahan tepat dengan pintu dorong yang cukup panjang.
Bibi tua itu membuka pintu kecil itu dan ternyata Frisca dibawa masuk ke dalam sebuah.... Showroom mobil?
Memang tidak begitu banyak, kira-kira ada 10 buah mobil mewah yang duduk manis di dalam garasi "kecil" itu. Dari mulai si besar Alphard hingga si lincah Porsche. Frisca meneguk ludah. Mobil-mobil ini hanya biasa dilihatnya dari majalah otomotif kepunyaan pamannya Mauren, yang kerap dibawanya dari kota. Ya ampun, rumah macam apa ini sebenarnya?
Si bibi ternyata membawa Frisca memasuki sebuah ruangan yang tersambung dengan garasi. Ternyata dapur. Beberapa perempuan yang memakai baju terusan berwarna hitam yang sama terlihat sangat sibuk. Memotong buncis, merebus daging, memreteli jagung ada juga beberapa yang sibuk mengobrol. Frisca mengangkat sebelah alisnya. Ternyata bukan hanya di film-film saja, pelayan dari sebuah rumah megah memakai seragam seperti ini.
Memang sih tidak mereka tidak memakai baju pelayan yang berenda-renda seperti di serial Korea. Tapikan tetap saja seragam. Frisca bisa melihat sekilas di dada kanan baju terusan hitam lengan pendek itu terdapat juga simbol yang sama, seperti yang terdapat di gerbang dan air mancur.
Begitu melihat si bibi masuk, beberapa pelayan yang kelihatan mengobrol langsung kembali ke pekerjaannya masing-masing. Wah, padahal si bibi tidak memakai seragam seperti mereka. Mungkin dia yang dituakan.
"Ehm.." kata si bibi memecah keheningan.
Pelayan-pelayan itu langsung menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan si bibi.
"Ini teman baru kalian.." bibi menepuk pundak Frisca, "namanya..." si bibi menengok kearah Frisca.
"Frisca, eh panggil saja Ica." jawabnya otomatis.
Bibi mengangguk-angguk, "bantu dia di dalam pekerjaannya. Ingat bahwa keluarga yang kalian layani selalu menginginkan yang terbaik. Kembalilah bekerja!"
Para pelayan kembali sibuk. Bibi kembali menuntun Frisca ke sebuah ruangan yang juga terkoneksi dengan dapur. Sebuah lorong panjang yang tampak seperti bangsal rumah sakit. Bibi membuka salah satu pintu. Frisca mengintip ke dalam. Sebuah kamar kecil berisi dua buah ranjang, sebuah lemari, sebuah aisle-telephone dan sebuah meja rias kecil.
"Ini kamar kamu, mulai sekarang kamu tinggal disini." Kata si bibi
"Tapi...." Frisca baru teringat tujuan awalnya kesini.
Bibi itu mengangkat alisnya, "oh iya saya Rahmi, semua orang disini memanggil saya Bibi Rahmi, saya kepala rumah tangga bagian pelayan disini". Bibi Rahmi melanjutkan, "kamu punya waktu 30 menit, bereskan barangmu, ada pakaian pelayan baru di dalam lemari."