27 ( REVISI )

23.1K 590 7
                                    

Sofia baru akan membuka pintu ruang inap Arin, tapi sesuatu membuatnya penasaran. " Sam? Apa yang dilakukannya di sini? " bathin Sofia terus menatap Sam yang sedang mencium kening Arin. " Tumben dia kesini? " Pikir Sofia heran karena ini pertama kali Sam datang ke kamar Arin.

" Dia akan pergi. " kata Sofia pelan lalu bersembunyi di ujung lorong. Setelah memastikan Sam pergi, Sofia buru-buru masuk ke ruangan Arin.

Sofia melebarkan matanya ketika melihat sekilas pergerakan Arin saat ia akan membuka pintu kamar. Sofia ingin bersorak gembira ia menggenggam tangan Arin namun mendadak alat pendeteksi detak jantung berbunyi keras, " Arin??? Kamu kenapa?? " Sofia langsung memencet bel darurat dengan panik.

" Arin...Arin..ada apa denganmu??" Tanya Sofia masih panik dan menggenggam tangan Arin erat.

" Tidak ada hal yang buruk terjadi padanya, tadi hanya mengalami shock, tapi ada hal yang membuat saya bingung..Arin takkan seperti ini jika tidak ada faktor yang mempengaruhinya, mungkin saja Anda atau keluarga Anda mungkin memberi pengaruh pada Arin. Menurut penjelasan Anda, tadi ada seseorang yang datang ke ruangan Arin. " Sofia mengangguk cepat, " Benar, saya melihat dengan jelas teman adik saya itu datang tadi. "

" Pendapat saya, orang itu memiliki pengaruh kuat pada Arin, mungkin terdengar aneh tapi kenyataannya pasien yang koma bukanlah tertidur mereka bisa masih bisa merespon hal yang paling melekat dalam pikiran mereka, apalagi jika orang itu berkaitan dengan keadaan yang dialami oleh Arin. Hal ini bisa membantu mempercepat proses pemulihan Arin secara psikologis. " kata Dokter panjang lebar.

Sofia langsung berdiri, " Kalau begitu..terima kasih dokter,saya permisi. " Sofia langsung berlari cepat, ia berharap Sam masih ada disini. Dari informasi yang didapat oleh Sofia, pria itu datang untuk tes kesehatan. " Aku harus menemui Sam, hanya dia
" bathin Sofia berlari cepat. Hingga Sofia tiba di depan ruangan pemeriksaan. Sebulan yang lalu Sofia sering melihat Sam pemeriksaan di ruangan ini.

Sofia membuka pintu itu perlahan namun hanya ada Dr. Erick dan perawatnya. " Permisi, bolehkah saya bertanya, apakah pasien atas nama Sam Benedict melakukan pemeriksaan hari ini disini? "

" Dia baru saja pergi. " Perawat itu menjawab lebih dulu.

" Oh tidak..aku harus menahannya. " Bathin Sofia lalu berlari sebelum itu ia sempat membungkuk mengucapakan terimakasih. Sofia mencari Sam di basement tapi nihil, tidak ada tanda-tanda keberadaan Sam. Sofia mengedarkan pandangannya kembali lalu ia melihat Emily masuk ke sebuah mobil, samar-samar Sofia juga melihat Sam ada didalam mobil itu.

" Sam....Sam!!" teriak Sofia saat mobil itu mulai menancap gas. Sofia terus berlari mengejar mobil itu.

" Kak.. sepertinya itu kak Sofia. " Emily melihat dengan seksama orang yang berlari hampir menyamai laju mobilnya.

" Tolong percepat mobilnya. " Kata Sam pada Mr. Sioh sopir pribadi keluarga Benerdict. Mr Sioh semakin menancap gas. Tapi, Sofia tidak menyerah, ia semakin mempercepat langkah larinya.

" Saam!!! Saamm!!! Waaait!!! " Teriak Sofia lagi namun mobil itu terus melaju lebih cepat. " Sam...jangan pergi....!! Arin membutuhkanmu!!! " teriak Sofia saat mobil itu mulai menjauh.

" Kak..Kak Sofia daritadi memanggil. " Emily menggoyangkan tubuh Sam.

" Biarkan saja. " jawab Sam kembali menutup matanya.

" Kak..Tapi.. " Suara Emily tercekat ketika mendapati tatapan tajam dari Sam. " Sudahlah Emily, aku ingin tidur. Jangan ikut campur lagi. " potong Sam. Emily mengerucutkan bibirnya kesal, ia tidak habis pikir dengan pemikiran kakaknya ini. Sam memiringkan wajahnya menghadap kaca mobil.

" Maafkan aku Sofia, aku berjanji akan selalu menjaga Arin namun aku tidak akan berada didekatnya lagi tapi aku akan tetap menjaganya dari kejauhan, akan lebih baik jika dia tidak mengingat kejadian itu dan diriku. " Bathin Sam kembali menutup matanya namun setetes yang belum sempat mengaliri langsung diseka oleh Sam.

" Arin...maaf kami datang dini hari begini, menganggu waktu tidur malam cantikmu. " Olsa mengusap rambut Arin. " Kak Sofia tadi menelfon kami, katanya kamu kritis..duh aku sampai panikan.

" Kami berharap kamu bangun Rin, bukannya kejang-kejang. Jangan berharap ya kami bakal membiarkanmu pergi. Kita harus sama-sama merasakan dunia kerja. Oh ya aku juga ingat kita janji bakal jadi besan kalau udah punya anak bukan? " Celetuk Chindy mendudukkan dirinya di sofa panjang di depan ranjang.

" Heeeh, siapa bilang, cuma dirimu dan Arin yang besanan, aku juga ya... Pokoknya Arin harus punya anak dua pasang, biar nanti anak kita yang pilih mau yang mana..hahahaha.." Olsa tertawa keras..

" Whaat!!! Dua pasang, loe sangka Arin pabrik penghasil anak. Kebanyakan tuh anak. Ingat slogan KB, dua anak cukup. " Chindy mengetuk-ngetuk meja.

" Empat anak mah dikit, aku dan Rangga perencana punya anak sebelas. Biar nanti kita bisa tim futsal. " Olsa memeluk dirinya sambil tersenyu malu.

Chindy memasang wajah malas, " Sebelum berpikir punya anak sebelas sebaiknya kamu rasakan dulu ya, bagaimana melahirkan. " Chindy menepuk-nepuk pundak Olsa yang masih sibuk dengan khayalannya.

" Huuhh..seharusnya si Sam yang duluan kesini, sebulan yang lalu kamarnya hanya di depan kamar Arin. " omel Olsa yang baru turun dari khayalannya. Olsa memasang wajah kesal sambil menghempaskan pantatnya di sofa. " Dia bahkan tidak berniat untuk melihat Arin sedikit pun. "

" Mungkin saja tanpa sepengetahuan kita Sam datang kesini. " Chindy membuka bungkusan roti untuk dimakannya.

Olsa menggeleng sambil meletakkan jarinya di bibir Chindy yang langsung diteriis oleh Chindy dengan cepat. " No..no..no.. aku selalu berjaga didepan atau bersembunyi didalam kamar inap Arin, tapi pria itu bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya ke sini. Awalnya aku mengira mungkin dia sangat merasa bersalah menjadi penyebab Arin mengalami kecelakaan ini tapi setelah keluar dari rumah sakit, dia bahkan tidak kesini. " Olsa memukul keras meja di depannya. " Dasar Sam playboy jelek. " lanjut Olsa masih kesal.

Chindy yang duduk disebelah Olsa berlari cepat kearah Arin, " Cha...Jari Arin...jari Arin bergerak tadi. " Chindy menunjuk jari telunjuk Arin.

" Benarkah?? Bagaimana jarinya bisa bergerak? Apa itu karena Arin akan sembuh??!! " Olsa terpekik senang dan berdiri di sebelah Chindy. " Apa faktor penyebabnya? Mungkin kita harus memberitahu kak Sofia atau Sam. " Olsa mengambil ponselnya di saku berniat ingin menghubungi Sofia. Tapi jari Arin bergerak kembali.

" Mungkinkah?? " Chindy mengangguk setuju pada Olsa. " Sam. " Sahut Olsa pelan. Jari telunjuk Arin bergerak kembali.

" Sam...Sam..Sam Benedict. " kata Chindy semangat. Benar saja, jari Arin kembali bergerak. Olsa dan Chindy langsung berpelukan. " Kurasa kata kunci nya hanya Sam...Sam..Sam..." Sorak Olsa.

Namun, pergerakan itu berhenti, Arin seakan sudah lelah. Ia tidak lagi merespon ketika mereka menyebutkan nama Sam. " Kayaknya Arin udah lelah deh. " Olsa menunduk sedih.

" Satu-satunya jalan, kita harus memanggil Sam kesini. " kata Chindy menghubungi nomor Sam namun nomor itu bahkan tidak terdaftar. " Kenapa begini?? Apa karena jaringan?? " Chindy berulang kali menghubungi Sam namun hasilnya tetap sama.

" Itu takkan berhasil. " Sofia masuk ke kamar Arin dengan tatapan kosong.

" Kenapa kak? Apa Sam..?? " tanya Olsa menggeleng tidak yakin namun Sofia mengangguk, " Sam sudah pergi. " jawab Sofia sedih.

" Kenapa dia harus pergi? " tanya Chindy dan Olsa panik.

" Mungkin dia merasa bersalah akan kejadian yang menimpa Arin, karena begitulah sifatnya. Pria itu pengecut!!! " Sofia mengepalkan tangannya kesal. Sofia mungkin mengerti pikiran Sam saat ini namun ia tidak bisa menerimanya karena taruhan dari keputusan Sam saat ini adalah nyawa Arin.

" Jangan khawatir Arin, kita yakin pasti Sam kembali. " Chindy dan Olsa menggenggam tangan Arin saling menguatkan. Perlahan satu tetes air mata mengalir di pipi Arin.

Kiss To The MoneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang