[5]

1.7K 184 12
                                    

Kamu memutuskan untuk bergabung dengan tim Humanitarian saja. Mengapa harus mempertaruhkan nasibmu dengan bidang yang terlalu menyerempet bahaya seperti Biomedis? Mengapa juga harus memasang badan dengan prestasi akademik yang medioker?

Usai memantapkan hati dan mengucapkan pilihanmu pada petugas, kamu diminta untuk melewati sepasang daun pintu berukir yang besar, bersama beberapa orang lainnya. Spanduk raksasa bertulisan Humanitarian Selection menyambutmu. Kauperhatikan deretan amfiteater di dalam sana. Sudah duduk puluhan pemuda-pemudi lain. Semua dengan helm tersungkup ke kepala masing-masing, sampai rambut mereka tak lagi tampak. Hati-hati kamu membalik badan dan bertanya.

"Maaf, Miss. Ini ruangan apa?"

"Oh, ini semacam... seleksi lanjutan."

"Oh," mulutmu seolah tersumpal, tidak tahu mau bertanya apa lagi, padahal kepalamu belumlah puas.

"Seleksi ini menentukan apakah Anda layak masuk daftar kandidat terpilih atau tidak."

Seketika, muncul lagi pertanyaan demi pertanyaan di kepalamu.

"Oh, jadi setelah ini...."

"Ya, ya, ini langkah terakhir."

"Saya langsung...."

"Pulang atau gabung! Pulang atau...."

Kerumunan pemuda lain menyemut di belakangmu. Suara petugas itu kian samar, tertutup badan-badan tinggi mereka. Semua mendesakmu untuk terus maju dan memilih tempat duduk. Terpaksa, kauseret kakimu ke barisan belakang amfiteater, yang paling tinggi, untuk duduk sekadarnya di sebuah kursi kosong terdekat. Kursi itu tak kamu perhatikan benar. Kamu sampai harus bolak-balik menoleh ketika panel kecil di depanmu memendarkan pesan yang meminta kamu memasukkan nomor kursi tempatmu duduk, sebelum melanjutkan ke proses pemasangan helm dan memulai kinerja peranti lunak masing-masing.

Sebuah pelantang di depan mimbar (yang entah suaranya datang dari mana) menyerukan agar semua peserta tidak dulu menekan tombol Start di layar masing-masing. Amfiteater penuh dalam sekejap, tetapi butuh sekitar tiga menit bagi pemuda-pemudi tersisa untuk duduk hingga rapi. Setelah semua siap, pelantang kembali berbunyi.

"Selamat datang para peminat komitariat Humanitarian. Anda telah lolos seleksi latar belakang. Sekarang waktunya kalian menjalani seleksi final, dengan Helm Seleksi."

Spasi. Ruangan sontak ribut. Sebelahmu dan sebelahmu saling lempar cemoohan tentang Topi Seleksi dari dunia Harry Potter. Ada lagi yang berkasak-kusuk tentang sistem kasta. Suaranya begitu berat. Pasti dari belakangmu. Namun, kamu terlalu malas untuk menoleh. Helm di kepalamu begitu berat, dengan kabel yang terlalu kusut dan merepotkanmu.

"Harap tenang. Ini bukan lelucon. Bukan pula seleksi-seleksian seperti di cerita fantasi. Ketahuilah, komitariat Humanitarian bukan perkara main-main. Ini menyangkut hidup dan mati program JKL negara kita. Mengintegrasikan kejujuran itu sangat penting bagi kehidupan kita sehari-hari. Ketahuilah dan camkanlah, Saudara-saudara."

Omongan ini sama mengantukkannya dengan omongan Sanomat. Tak lama kemudian, kata demi kata yang mengalir meyakinkanmu bahwa itu benar suara Sanomat sendiri. Semakin lama, intonasinya semakin turun, dan kamu pun nyaris tertidur.

"Baiklah!"

Kamu terlonjak kecil dari kursimu. Kauraba-raba kepalamu. Helm dan sulur-sulur kabel itu masih ada di sana, terhubung rapat ke panel.

"Silakan tekan tombol Start, dan semoga beruntung!"

Helm berdengung mengantarkan gelombang kontinu ke kepalamu. Sinar ungu metalik menerpa kelopak matamu yang refleks kaututup karena silau. Dengung mengencang, menjalar ke leher, bahu, punggung, hingga kakimu. Takut kamu akan kehilangan memori hidupmu, kamu mengingat-ingat momen penting dalam hidupmu dan menjejalkannya ke dalam sebuah kaleidoskop.

Ada adikmu yang masih bersusah payah menempuh pendidikannya.

Ada ayahmu yang hidup sendiri.

Ada Leth.

Sebelum kamu sanggup melakukannya, dengung itu berhenti.

Kamu membuka matamu.

Panelmu memancarkan sinar hijau terang. Kamu menoleh ke sebelah-sebelahmu. Sangat banyak dari mereka yang sinar panelnya merah.

Artinya cuma satu.

Kamu telah terpilih masuk ke komitariat Humanitarian.

*

Kamu hidupkan pancuran mandimu. Kucur air di kepala tak bisa melepaskanmu dari pikiran tentang isi amplop yang dititipkan petugas ketika kamu keluar dari amfiteater tadi sore. Sebetulnya kertas yang terlipat di dalam sana tidak memuat informasi yang bombastis-bombastis amat; hanya seputar deskripsi tugas yang mungkin dialamatkan kepadamu ketika nanti kamu bergabung dengan komitariat Humanitarian. Selain itu, hanya ada beberapa lembar kertas berisi basa basi yang tak begitu penting. Namun satu yang mengganjal benakmu hingga kini adalah soal gambaran garis besar tujuan negara dalam sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan.

Bahwa negara ini hanya akan berisi kejujuran.

Tidak ada lagi yang akan tipu-menipu dalam berdagang. Tidak akan ada lagi perceraian karena alasan ketidakcocokan pada pasangan yang sudah bersama selama lebih dari lima belas tahun. Tidak akan ada lagi pimpinan distrik yang menang tapi dihujat sebagian besar rakyatnya. Tidak akan ada lagi hasil survei bodong yang mengarahkan para pelaku bisnis menuju got, atau pemerhati konsumen menuju jurang. Tidak. Sepintas, semua baik-baik saja.

Di bawah pancuran air, kamu teringat akan kebohongan yang pernah kamu buat. Lalu akan Leth dan bohongnya. Kamu lega bohong-bohong semacam itu akan sirna nanti.

Namun, kamu sendiri sangsi. Kenapa, kamu pun tidak tahu.

**

Selang seminggu, kamu diminta hadir di sebuah alamat yang disebut-sebut sebagai markas komitariat Humanitarian. Kamu mencari-cari di aplikasi peta daring, tetapi tidak berhasil menemukan tempat apakah yang berada tepat pada alamat yang dimaksud. Kamu mulai sangsi. Itu baru satu. Belum lagi berikutnya: karena kamu menemukan bahwa tempat itu jauh dari stasiun metrokapsul terdekat. Dari stasiun metrokapsul XII-7, kamu harus menyewa papan kambang sejauh enam kilometer, atau menyambung getek kilat, dua-duanya seharga sembilan Oreo (ya, Oreo adalah mata uang yang sah di negaramu). Sisa uangmu, yang kaudapat dari ayahmu setiap bulan, tinggal seratus dua puluh Oreo. Meskipun demikian, rasa penasaranmu lebih besar. Kamu putuskanlah untuk datang saja ke sana.

Setelah perjalanan selama tiga puluh menit yang melelahkan, kamu menarik papan kambang dari kakimu di depan alamat yang dituju. Bolak balik kamu menatap bangunan di depanmu dan catatan di gawaimu.

Sebuah rumah berlantai satu, dinaungi dedalu, sepertinya kosong dan berhantu.

Kaukelilingi pagar rumah itu. Tak tampak ada tanda-tanda kehidupan. Jangan-jangan, kamu tengah dijebak pemerintah.

Tiba-tiba, dari belakang, ada yang menepuk punggungmu.

Suara alto yang tak asing itu memanggil namamu.

Siapa itu? Cari tahu di [11]!

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang