[12]

906 94 15
                                    

        

Gilles menyeringai lebar ketika kamu menahan jeluakmu. Ia Gilles yang sama seperti malam ketika kamu bertengkar dengan Leth. Memang kamu sempat mengucek matamu beberapa kali. Namun, yang ada malah matamu yang merah dan mengabur, tetapi sosok di depanmu tetaplah Gilles. Ia menyapa namamu dengan nada mengejek. Entah itu otakmu atau itu gelegak darah dalam pembuluh yang menuju ke sana, kepalamu terasa panas, seolah segera mendidih. Terlepas dari fakta bahwa kamu sudah tiga hari tidak berkeramas, kamu sungguh ingin membenturkan kepalamu ke tembok. Tentunya setelah membenturkan kepala Gilles sampai meleleh seperti beng-beng terlebih dahulu.

"Kau.... Apa? Kau ada di sini?"

"Heh," seringainya kembali ia sambung, "kamu belum tahu, ya, aku kan salah satu asisten ahli Sanomat."

Diam-diam kamu mengutuk diri sendiri. Waktu itu kamu memilih Veritasensor secara acak, tetapi kamu malah harus berhadapan dengan setan alas yang satu ini. Kurang sial apa lagi, kamu sekarang?

"Bidang?"

"Kau ini, bodoh juga, rupanya. Jelaslah, aku di bidang Veritasensor!"

"Cih."

"Heh. Kau ini maunya apa, sih? Leth sudah bermaaf-maafan dengan kamu, kan? Terus? Kamu mau aku mencium punggung kakimu, eh?"

Tidak juga, sih. Kaos kakimu sudah dua hari belum diganti. Sepatumu juga penuh debu, pasir, dan lumpur yang menempel. Tidak baik buat dicium. Bahkan oleh si serigala culas macam Gilles. Kamu menarik kakimu, Gilles pun membalik badan. Dari balik punggungnya, kamu merapalkan doa pengusir marabahaya yang kauramu sendiri, sambil memejam. Begitu kaubuka matamu, rupanya kamu masih ada di lorong panjang, dan di hadapanmu masih ada Gilles. Kalian masih melangkah depan belakang, selayaknya anak kecil yang tengah mengikuti bapaknya. Doamu tidak mempan. Atau mungkin Tuhan yang tidak mendengar.

"Hei, tunggu apa lagi, Dungu? Sini, ikut aku."

"Ke mana?" semburmu balik.

"Ke aula Departemen Bioteknologi. Sudah ada beberapa anggota komitariat menunggu di sana."

Nafsumu menjambak rambut ombak Gilles kauurungkan. Niatanmu bergabung dengan komitariat pemerintah untuk menyambung hidup bisa cerai-berai berantakan. Namamu bisa masuk daftar hitam kelam, yang nanti disebarluaskan pihak akademi dan pemerintah ke seluruh dunia. Pertama-tama Britania Raya, alias United Kingdom. Raja Baltimore IV akan mengumandangkan namamu dalam daftar panjang pesakitan yang harus disanatoriumisasi (percayalah, kata itu tidak baku dan tidak benar-benar ada). Begitu kamu dan Gilles tinggal dipisahkan kurang dari setengah depa, kamu bisa saja mengulurkan kedua tangan dan menghantamkan kepalanya itu ke pilar besar penyangga tangga departemen; tetapi segala impitan beban kehidupan, sekali lagi, menarikmu kuat-kuat hingga kamu batal melakukannya.

Kalian tiba di sebuah ruangan. Tadi Gilles menyebut ini aula. Menurutmu, bukan. Ruangan ini terlalu kecil untuk bisa disebut aula. Terlalu renta, dengan remah-remah cat berengkahan di tepi-tepi tembok, dan beberapa kelupas di tembok yang memperlihatkan bata merah tua khas kolonial; ruang itu seperti meledekmu, entah mengapa. Di sudut ruangan, ada dua baris bangku panjang; juga sudah tua dan bisa roboh kapan saja ia mau. Di sana, duduklah dua orang. Seorang pria paruh baya dan seorang wanita muda bertubuh montok. Mereka jelas bukan pasangan; terlihat dari cara duduk mereka yang berjauhan dan tidak saling pandang; menyiratkan tidak saling kenalnya mereka sebelum pertemuan ini. Kamu balik memandangi Gilles.

"Nah, ini rekan-rekanmu nanti di komitariat Veritasensor. Cuma sedikit orangnya. Berdua ini saja."

Pria paruh baya memperkenalkan dirinya. "Anumet, salam kenal," sahutnya seraya menyodorkan tangan kanan. Yang ada dalam benakmu adalah kelindan antara dunia perdukunan dan pahlawan revolusi. Antara amulet atau anumerta. Kamu sibuk menerka-nerka apakah keahlian pria yang separuh kepalanya telah beralih warna menjadi keperakan itu. Sementara si wanita menyapamu dengan ramah. Brekit namanya.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang