[38]

165 11 0
                                    

        

Itu Deev.

Lebih baik berpikir masak daripada beraksi gemeresak-gemeresak. Tanganmu, yang mungkin sekarang masih basah, bisa saja membercak di mana-mana, menimbulkan bekas yang memanggil penyidik datang.

Jangan. Jangan memancing di air tenang. Orang-orang yang tadinya tidak tahu, akan tahu dalam sekejap.

Kamu sudah menolak bekerja sama dengan Humanitarian beberapa saat yang lalu. Namun.... Ah, kamu tidak paham juga?

Ini politik. Kamu paham politik?

Oke, begini.

Kalau kamu menolak teleponnya... Bisa saja Deev ini benar orang penting. Kamu ingat betapa seringnya ini terjadi: ketika kamu menghadapi situasi membingungkan, beberapa suara berbisik seperti setan yang mengayunkan ekor di udara tipis, bilang padamu untuk waspada pada kemungkinan P dan kemungkinan Q. Kamu abai, dan kamu terperosok dalam ngarai. Sudah. Tidak ada yang menolongmu lagi. Sekarang begini. Kalau Deev sungguh kaki tangan Sanomat, bagaimana?

Lebih baik terima panggilannya.

Kamu terima, selesai perkara.

Ingat. Ini politik.

Oke. Kali ini, ada suara-suara setan yang sama. Rupanya teorimu mendekati benar. Malaikat pencatat dosa dan amal di bahumu pun disuruh jujur oleh Sanomat, sehingga perlahan-lahan tanduk dan ekor mereka mulai mencuat.

Menjadi setan betulan.

Sudah, sudah! Kamu menekan tombol hijau untuk mengubah serantaan menjadi panggilan suara, sembari mengeringkan dahakmu.

"Halo?"

"Ke mana saja kau, Bocah Tua?"

Entah siapa yang mencetuskan panggilan bocah tua itu kepadamu. Leth? Karena selama ini hanya Leth yang tahu panggilanmu yang itu. Hanya ia yang tahu rahasia-rahasia terdalammu, mulai yang mengocok perut sampai yang membuat berjengit. Bagaimana pula jika Leth ternyata sering berkencan bersama Deev dan selama ini dengan naifnya kamu tidak tahu?

Setengah mati mengatur napas dan meredam kepala yang memanas, kamu menjawab Deev dengan nada sedatar yang kamu bisa.

"Aku di sini terus."

"Bukan begitu. Aku mau memberitahumu sesuatu."

Kamu mendeham tiga kali. Lalu menunggu. Di sana sempat diam beberapa lama. Mungkin lelaki besar itu tengah mencari kata-kata yang tepat.

"Perang."

"Jelaskan. Satu kata saja ... aku tidak paham."

"Oke. Oke, tenang. Pemerintah baru saja mengumumkan perang."

Kamu terperangah. Kamu mengingat-ingat kapankah pemerintah mengumumkan berita anyar semacam itu dalam dua puluh empat sampai tujuh puluh dua jam terakhir. Tidak ada. Apakah otakmu dicuci orang dan tiba-tiba saja kamu terlempar kemari?

"Di mana pengumumannya?"

"Semua kanal. Semua media. Makanya tadi kutanya kau, Bocah Tua. Ke mana saja kau, sampai tidak tahu perang sudah dimulai?"

Kamu tak berkutik.

"Oke. Tujuanku menghubungimu sebenarnya bukan untuk mengumumkan perang. Itu tugas Sanomat, Solomat, Zigurat, atau Brio. Aku cuma ... ya ... satelit. Semacam pembantu, atau apalah. Perpanjangan mulut, ha! Ya, itu! Perpanjangan mulut! Jadi aku sebenarnya ingin mengajakmu...."

"Bekerja sama?"

"Apa lagi, memangnya?"

"Kenapa aku, Deev?"

Deev merendahkan suaranya. Kamu mengindrai suara beruang mendesah.

"Karena kau menyaksikan kematian Tamara Margana. Aku tahu itu. Jadi, aku butuh informasi untuk...."

"Tidak. Aku tidak tahu kenapa profesor itu bisa mati. Aku...."

"Tapi semua alibi mengarah ke kau, Bocah Tua. Tak ada gunanya mengelak."

"Profesor itu ditemukan dalam keadaan mati. Sudah mati. Tanpa sidik jari, tanpa tanda kekerasan. Tidak ada bukti apa-apa yang bisa menuduhkan aku ke...."

"Sidik jari boleh tidak ada. Tapi alibi tidak bisa bohong, Bocah Tua. Otak profesor itu hilang. HILANG! Nah, kebetulan aku menyimpan dokumen penting yang menunjukkan bahwa kamu benar-benar ada di lokasi waktu profesor standar ganda itu mati!"

Bahumu bergidik.

Rupanya dinding memang sungguh bertelinga.

Tunggu. Standar ganda?

"Deev," desismu balik, "Profesor Tamara standar ganda?"

"Kautahu mengapa semua pembahasan profilnya di media massa itu bentuknya kutipan. Semua parafrasa. Tidak ada kalimat langsung. Kautahu kenapa?"

"Karena ia standar ganda?"

"Exactly," decak Deev, penuh kemenangan. "Dia pikir dengan kepintarannya ia bisa membolak-balik dunia sesuka ia membalik telapak tangan. Tidak bisa. Selama-lamanya, hanya militer yang selalu benar. Bukan ilmu pengetahuan. Ingat. Sanomat berusaha menghentikan kemunafikannya. Tetapi selalu gagal. Profesor terlalu congkak untuk mengakui kelemahannya dalam berpolitik."

Tiba-tiba kamu mengingat Raimi. Tentang bagaimana kematiannya yang misterius sampai sekarang. Kini kamu mulai menduga-duga. Jangan-jangan Raimi berusaha mengungkap standar ganda sang profesor? Lalu, kamu ingat saat beberapa anggota komitariat tak bisa kembali ke tim Veritaject usai menjadi inspektor fasilitas.

"Siapa saja yang sudah mati?"

"Kau juga belum tahu? Demi ikan buntal! Zsolt, rekanku yang paling alim tapi mengungkap sebuah jejaring kanal berita yang membongkar rahasia Profesor Tamara, dibekap. Suatu malam dia hilang. Tiba-tiba saja, seperti dipeluk udara, lalu tak muncul lagi. Ia lenyap di teras kami, tepat di bawah dedalu. Tiga hari kemudian dia muncul dengan batok kepala terbuka dan otak yang sudah tiada."

Tiba-tiba kamu teringat pasangan Anumet dan Brekit. Mereka, anggota komitariat Humanitarian, juga mati dengan cara yang sama. Sayang, kamu tak begitu memperhatikan situasi batok kepala Tamara Margana ketika kamu ada di tempat kejadian.

"Anumet dan Brekit...."

"Nah, Bocah Tua, itu kautahu, berdua itu. Lihat? Ada polanya?"

Kausimpulkan sepihak: Anumet, Brekit, Raimi, Zsolt, dan Tamara mati dengan cara yang sama.

"Kalau empat orang ini mati dengan cara yang sama karena mau mengungkap standar ganda Profesor Tamara, okelah. Tapi ini.... Profesor-nya juga mati."

"Artinya cuma satu. Ada seorang pembunuh serial yang berusaha melumat semua pengungkap fakta di balik proyek JKL. Pengkhianat dalam selimut pemerintah. Sanomat pasti berang, ketika tahu dikhianati."

Kamu mulai menyambung-nyambungkan plot. Tamara tampak begitu jujur dan setia membela program JKL Sanomat. Seharusnya, sampai di sini ceritanya sempurna. Namun, ternyata tidak. Tamara harus mati, padahal ia sejalan dengan pemerintah. Sementara empat orang yang mati dengan kepala terbuka tadi, semuanya anggota komitariat, yang sangat mungkin telah menemukan kejanggalan dalam proyek mereka masing-masing dan mencoba mengungkapnya, tetapi terlambat menyelamatkan diri dari bahaya.

"Kita-kita yang tersisa ini bergabung saja. Sepertinya harus begitu," usul Deev.

Sebetulnya, kamu juga berpikir sama.

"Kita buat pertemuan pertama. Tanggal delapan, di alun-alun. Itu daerah putih. Tidak terjangkau tentara karena dijaga ketat di garda timur. Pasti aman."

Kamu mengangguk. Lupa bahwa Deev tak bisa melihatmu.

"Kita temui Sanomat, sekalian."

Kamu tak lagi berdaya menolak.

Majulah terus.


Bertemulah dengan rekan-rekan komitariat yang tersisa di [48].

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang