[74]

173 18 2
                                    

        

"Raimi pernah bilang di mimpi waktu itu. Pottjen Doll."

"Oh, Pot Cendol!" teriak Kirkin lantang, "Iya, aku tahu. Gampang, kalau begitu."

Kalian saling berpandangan satu sama lain.

"Pot Cendol itu semacam hangar di tengah Gudang Otak. Dari situ ada sembilan lorong, semua bermuara di satu anjungan melingkar. Sebenarnya itu semacam tempat pertemuan atau tempat persiapan sebelum memasuki Gudang Otak, tapi selain itu...."

Suara berisik dan tendangan pintu terdengar di belakang kalian. Beberapa pintu terdengar dibanting.

"Penggerebekan lagi?" tanya Archer, seolah bantingan dan tendangan itu sudah makanan sehari-hari di fasilitas ini. Kirkin menyahut dengan sama santainya, "Kita lari saja. Sekarang."

Dipimpin Archer, kalian berbondong-bondong keluar pintu, menuju ke belokan terdekat yang kalian harap tidak terlalu kelihatan oleh mata para prajurit, seandainya mereka ada di situ.

*

Mencapai Pottjen Doll bukanlah perkara gampang.

Kamu dan Deev bergantian mendesah, berhenti sejenak untuk minum air, atau sekadar mengelap keringat. Sejak tadi kamu mulai di fasilitas Veritaject, tepatnya di lantai yang tak pernah kamu sangka memiliki lubang, kamu butuh beratus-ratus anak tangga untuk naik dan turun, sekadar melewati jembatan demi jembatan di dalam saluran air, untuk cuma lagi-lagi mendapati lantai beralas logam yang disatukan permanen dengan semen, tanpa pangkal dan ujung. Jauh, memang. Kamu tidak menghitung sudah berapa menit kamu berjalan. Beberapa lorong mulus terbuat dari logam, tetapi beberapa malah cuma berlapis bongkah-bongkah batu, sehingga kamu harus berhati-hati agar tidak terkena tepi-tepi batu yang tajam, lengkap dengan ancaman longsor.

Formasi kalian, sedari tadi selalu tetap. Kamu berjalan paling belakang karena kamu membawa senter. Sesekali, kamu menoleh ke belakang, menyorotkan lampu, untuk memastikan bahwa kalian tidak sedang dibuntuti prajurit bertopi bulu. Kamu juga bertugas menutup jejak, agar jangan sampai tapak-tapak sepatu berhamburan di mana-mana dan memberitahu siapa pun yang lewat perihal kalian sedang menuju ke mana.

Kamu tersandung. Kamu oleng. Tanganmu tak sanggup meraih tepi bongkah batu, yang rupanya terlalu ceper untuk dijadikan tambat pegangan. Sentermu lepas dari genggaman. Kamu terjerembap dalam gelap.

Tidak ada yang menyadari kamu jatuh. Tidak ada yang kembali untuk membantumu naik.

Karena mereka sudah hilang.

Ranselmu basah. Buru-buru kamu pinggirkan ia, ke tempat yang lebih tinggi, sambil mencari-cari apakah gerangan yang basah itu. Cairan tampak merembes perlahan, tetapi sumbernya sulit kaulihat. Terlalu gelap, dan sentermu pun entah ke mana.

Harapanmu sedikit membuncah waktu lorong yang membentang ke kirimu terang ujungnya, semakin lurus bidangnya, semakin rapi, dan kembali menguarkan gema di mana-mana.

Sudah dekat.

Lorong logam keperakan polos berangsur-angsur beralih menjadi dinding berpanel. Banyak kabel menjuntai di tepi-tepi kosen, tetapi cuma sampai di sana. Selepas itu, semua ornamen di tembok--bukan, bukan ornamen. Melainkan peralatan, perabotan, dan alat yang sungguh berguna sebagai mesin--terpasang rapi pada tempatnya. Kamu memandang takjub. Rupanya, jauh dari peradaban fasilitas Veritaject yang sudah kaurasa canggih, ada yang jauh lebih canggih melampaui itu. Alas kakimu tidak menggemakan suara. Semua menjejak rapat, menggenggam partikel-partikel karpet di lantai yang begitu kilap. Lorong tempatmu memijak kian melebar, dan terus melebar. Kamu membayangkan film-film Alien besutan Ridley Scott, film The Passengers besutan Morten Tyldum, atau film Solaris arahan Steven Soderbergh.

Baru saja kamu akan menjauh dari salah satu lorong yang paling remang, matamu menemukan kejutan.

Itu Archer, Deev, dan Kirkin!

Kamu sudah hendak berlari ke arah mereka, ketika langkahmu terhenti oleh sebuah sentakan. Lalu teriakan.

Tiga temanmu berdebat sengit. Hanya Archer yang rautnya bisa kaulihat dari tempatmu berdiri. Suasananya tidak enak. Mendekat mungkin akan menyeretmu menuju bahaya. Kamu diam di tempat. Archer dan Kirkin berhadapan, saling sembur serapah, lalu Deev memasang badan, mencoba melerai. Dengan cepat, Kirkin menerjang Deev, sampai keduanya jatuh ke tanah, baku hantam. Archer merangkak ke belakang Kirkin, bangkit pelan-pelan, sambil menaikkan benda yang tipis dan berkilauan terkena cahaya lampu.

Pisau.

Tahu-tahu, Kirkin sudah bersimbah darah, sembari tersungkur ke tanah. Baik Deev maupun Archer tak peduli dengan mayat itu, lalu dengan cepat mereka berkemas. Menghilang entah ke lorong yang mana lagi.

Beruntung, tak ada yang tahu kamu ada di sana.

Kamu memutuskan untuk tak mengejar dua orang itu. Bagaimana kalau mereka juga membunuhmu nanti? Kamu belum mau mati. Setidaknya, jangan secepat ini! Kamu menyingkir ke balik pilar, mengatur napasmu, yang memburu sehabis pertunjukan mengerikan itu tadi.

Belum lagi napasmu benar, ada pemandangan mengerikan lain yang menyusul di depan mata.

Seorang pria, menyeret seorang wanita dengan perut membulat di sebelahnya, sedang menekan-nekan tombol di depan panel rumit di sebuah pintu raksasa. Layarnya memendarkan kode macam-macam yang tak bisa kaubaca dari jauh. Dugaanmu, panel itu meminta kata kunci, dan pria itu tengah mencoba membobolnya.

Jarakmu masih sebelas meter. Kali ini, kamu harus mendekat.

"Gilles," sapamu.

Ia, seperti sudah tahu bahwa itu kamu tanpa ia perlu menoleh, melonggarkan belitan lengan satunya pada leher si wanita itu. Ya, ia juga wanita yang sama sekali tak asing bagimu. Ia menoleh, menunjukkan ekspresi iba padamu, sembari mengelus perutnya. Hei, tapi bukankah Leth baru hamil beberapa minggu?

Gilles bergeming. Perhatiannya tercurah total pada panel, berpikir lama pula ia, barulah ia menekan dua angka, dan....

Pintu benar terbuka.

Kamu meraih-raih punggung Gilles sedapatnya. "Lepaskan Leth," sambarmu pada bahu Gilles.

Ia tak peduli. Terus saja ia masuk, membuka tirai, memasang tangga monyet, barulah ia kembali kepadamu.

"Sini, masuk," lambainya kepadamu.

Kamu memelesat, dan seketika melongo memandangi semuanya.

Semua.... Sungguh semuanya; ada di sini.

Matamu menumbuk sesuatu di kejauhan.

Otak Raimi.


Ada apa di balik pintu itu? Selidiki lebih lanjut di [108]. Ingat. Jangan buka mulutmu terlalu lebar. Kalau ada yang menamparmu, bisa-bisa rahangmu tak bisa menutup lagi.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang