Kertas itu terlalu menarik untuk kamu lewatkan.
Ia terselip tepat di bawah pintu loker paling kiri, nomor empat dari bawah. Kamu tarik kertas itu. Rupanya ia terlipat dua kali. Di dalamnya, terlihat sebuah piramida dan kubus yang ditempel menjadi satu. Kamu mengamati sketsa berjudul "Eidetiker Kepler" itu baik-baik di [20]. Di setiap titik sudutnya, ada nama-nama orang. Dua dari sembilan nama itu rupanya kaukenali, karena kamu pernah membacanya di kliping koran lama. Yang satu Jansen Arnefeld, di dasar kubus. Yang satu lagi Ezra Brinkan, di puncak piramida. Tujuh sisanya hanya kamu ketahui samar-samar. Daripada kamu membuang waktu, kamu sabet saja kertas itu, lalu kaubenamkan dalam-dalam ke laci terdepan ranselmu.
Kamu beringsut maju. Semua loker dalam keadaan terkunci. Tidak ada gagang yang bisa kamu pegang dan tarik untuk mencoba mana saja loker yang terbuka. Kamu terus maju, terus penasaran, bahkan ketika loker sudah habis dan digantikan oleh deretan rak-rak berpintu kaca mirip akuarium. Jantungmu berdegup lebih kencang, sembari sesekali kamu menoleh ke arah pintu dan memasang telinga baik-baik.
Belum ada suara Brio, atau tanda-tanda ia akan kembali. Bagus. Kamu melanjutkan petualanganmu.
Rak itu terbelah oleh banyak sekat. Masing-masing sekatnya memuat sebuah stoples. Sinar lampu ruangan di daerah sana agak redup, bahkan mengerjap-ngerjap, sehingga kamu sulit mengidentifikasi benda apakah yang terendam di dalamnya. Semula kaupikir itu jantung.
Namun, segera kamu sadar bahwa jantung bukanlah pusat penentu kejujuran atau kebohongan. Jantung cuma salah satu korban, yang akan berderap kencang kalau seseorang berbohong, dan akan melambat dengan sendirinya ketika tegang oleh kebohongan itu telah berlalu.
Pastilah itu....
Otak.
Apa lagi organ yang mungkin, memangnya?
Kamu meraba-raba laci ransel yang terbuka lebar. Di sana kamu mendapati senter. Belum kamu periksa tadi pagi. Setelah kamu kocok-kocok sebentar, lalu kamu tekan saklarnya, ia menyala. Segera kamu sorotkan sinar putih terang itu ke salah satu rak.
Kamu memekik tertahan.
Dugaanmu benar.
Itu otak manusia.
Lalu entah demi apa atau karena apa, dua buah daun pintu rak bergelayutan. Padahal, tak ada angin bertiup di dalam ruangan, pun embusan pendingin ruangan. Pendingin ruangan berada persis di depan pintu masuk tadi saja, dan tidak ada di tempat lain mana pun dalam ruangan itu.
Kamu mendekati dua rak yang kini terbuka.
Rak kiri memuat stoples berisi otak yang sudah kisut. Meskipun demikian, kamu mengamati keluk yang begitu banyak: kamu ingat otak Einstein yang juga punya keluk sebanyak itu, waktu kamu menonton film dokumenternya di kanal National Geographic. Sementara rak kanan memuat stoples berisi otak yang merah muda, begitu segar, bahkan kamu sempat mengira itulah otak hidup yang seharusnya.
Entah untuk keberapa kalinya, kamu menoleh ke pintu. Memasang telinga hingga terpacak. Tidak ada dentum langkah Brio. Tidak ada suara napas lain. Tidak ada derit.
Kamu benar-benar sendirian. Berdua saja dengan ranselmu.
Tiba-tiba, tebersit keinginanmu untuk mengambil satu dari dua stoples itu.
Untuk apa?
Nantilah. Tidak penting.
Yang penting cuma satu: kamu ingin sekali mencuri satu dari dua stoples itu. Titik.
Dari kejauhan, kamu mendengar suara denting logam. Kecil saja, tetapi begitu nyata.
Cepat.
Putuskan kamu mau mengambil stoples yang mana.
Kalau kamu memilih otak yang masih merah, curilah di [26].
Atau kamu merasa otak yang penuh-keluk-tapi-agak-kisut itu lebih menarik? Garong ia di [44].DOCUMENT RETRIEVED: [20] Eidetiker Kepler.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conundrum Apropos
Science Fiction**The Watty's Award 2020 Winner: Science Fiction in Indonesian** **Cerita pilih-sendiri-petualanganmu** Negaramu, Augariana, lelah menghadapi kebohongan penduduknya, baik bohong putih maupun hitam. Wacana "Jujur Konsisten Lurus" mulai dicanangkan, d...