Di gambar itu, ada empat belas kuncup bunga. Sepintas, semua kuncup terlihat sama. Sama kuning dan sama enam. Pasti mereka berdelapan puluh empat.
Sayangnya, hitunganmu salah.
Sayang yang kedua, tak ada jalan kembali bagimu untuk mengetahui berapa jumlah kelopak bunga yang benar. Nasibmu dengan Efbiaimus frutescens sepertinya kurang baik.
Beruntung bagimu. Matamu menangkap ada celah besar di tengah mata rantai yang menyambung kedua borgol di pergelangan tanganmu. Galea dan prajurit itu tidak tahu. Mereka menghelamu terus dari belakang, seolah gerak majumu adalah sepasti matahari terbit. Saat itulah mereka lengah, karena semua terlalu terbiasa. Kamu menggeleserkan sebiji demi sebiji mata rantai, hingga satu demi satu lepas. Mereka pun masih tak sadar.
Tiba saatnya. Tanganmu beroleh cukup kekuatan untuk berpisah. Kepalan kirimu meninju ke wajah yang pertama, yang kanan telak mengenai wajah yang kedua. Tidak tahu yang mana Galea dan mana yang satunya.
"Berengsek! Bangsat! Dia lari! Dia lari!"
"Tunggu. Tunggu, kamu pakai borgol...."
"Kejar dia! Kejarrr!"
Kamu berlari kesetanan. Tumbuhan perdu di pinggir jalan setapak itu kauterabas seenaknya. Kamu berlari zig-zag, masuk ke lorong yang pintunya terjulur di hadapanmu. Kelihatannya tempat itu kosong.
Rupanya tidak. Dari arah berlawanan, menghambur empat-lima prajurit bertopi bulu. Lari mereka begitu cepat, jauh lebih cepat daripada apa yang pernah kaulihat. Kamu kalah semuanya. Jumlah, kecepatan, kesigapan. Belokan berikutnya menarik perhatianmu. Ada yang menggenang di lantai, dari kejauhan. Kamu mengira itu semacam tipuan mata, fatamorgana di tempat dingin, atau semacam tempat untuk teleportasi. Tanpa berpikir, kamu menerjang lorong yang itu. Di belakangmu masih ada empat prajurit. Di depanmu tiba-tiba muncul tiga.
Benar-benar bencana.
Rupanya, lapisan hitam yang kaucurigai sebagai genangan minyak itu benar-benar lubang. Semacam sebuah jebakan yang sengaja dibuat di tengah-tengah logam bening mulus. Kamu tak sempat mengintip apa isinya, berapa dalamnya, dan apakah di dalamnya ada sinar yang berpendar.
Kamu berguling, menjatuhkan diri.
Rupanya lubang itu memuat bidang miring. Kamu menggelinding, kalau tak bisa disebut berguling-guling, makin lama makin cepat. Tanpa diberitahu, kamu tahu bidang itu tadinya landai, semakin dalam malah semakin curam.
Pasti semuanya akan berhenti.
Pasti ini akan berhenti.
Benar.
Guling-gulinganmu berhenti di suatu ketika. Kamu merasakan kepalamu menanduk sesuatu, dan punggungmu terbentur keras. Nyeri tumpul dan mungkin memar. Kamu tengah berada di lorong lain. Lorong yang lebih gelap, dindingnya tak sama kiri dan kanan (satu logam, satu bongkah-bongkah batu yang disusun tanpa niat), dan lampu-lampu pijar itu terlalu seenaknya untuk disebut sebagai penerangan ruangan. Kamu bangkit dengan berjongkok. Di salah satu ujung lorong tampak sinar terang. Lalu ada dua sosok. Berlari. Semakin besar. Sebentuk siluet manusia. Tiga-tiganya tampak seperti lelaki, tanpa seorang pun wanita.
Kamu hendak bersembunyi saja.
Namun, tidak bisa.
Lereng tempat kamu datang tadi terlalu curam untuk didaki. Terlalu licin, tanpa bidang undakan, tanpa pegangan pula. Tak mungkin kamu kembali ke atas. Inilah jalanmu satu-satunya: menghadapi tiga orang itu.
"Hei! Ketemu juga! Ngapain kau di sini?" ujar pria pemilik siluet kekar.
Suara itu kaukenal betul. Deev. Di belakangnya ada Archer dan Kirkin. Dari raut mereka, semua kebingungan mencari tempat tujuan untuk berhenti berlari. Mereka menarik tanganmu dengan keras. Seperti borgol baru yang menggantikan borgol cacat tadi.
"Kita ke anjungan saja," ujar Kirkin.
"Lewat mana?" tanyamu dan Deev, berbarengan. Kalian saling pandang sesudahnya, lalu berbalik mengawasi Kirkin, baru terakhir Archer.
"Lewat pinggir saja. Jalan depan sudah ditutup prajurit."
Pinggir yang dimaksud Archer rupanya bukan sembarang pinggir. Benar-benar pinggir pegangan jembatan. Kalian terpaksa bergelantungan menyeberanginya, tanpa bisa melihat lubang menganga di bawah kalian itu menjanjikan apa atau ditunggui siapa. Dimulai dari kamu, lalu Deev, lalu Archer, dan terakhir Kirkin. Di luar dugaanmu, Kirkin begitu cepat bermanuver. Sesuatu yang mengejutkan untuk orang tua sepertinya. Setiba di ujung, kalian menepuk-nepukkan tangan masing-masing, pertama ke telapak tangan satunya, dan berikutnya ke punggung paha celana.
Kalian langsung disambut lewatnya prajurit bertopi bulu. Meskipun cuma satu dua orang, Archer sudah cukup gerah.
"Kenapa di sini juga banyak prajurit?"
"Gila, Sanomat ini. Dia tahu kita mau membongkar rahasia Profesor Tamara tentang proyek Nottingham. Kita tidak bilang siapa-siapa. Ternyata dia tahu. Kita disadap."
Kamu menatap mereka, yang berdiri di belakangmu dalam formasi ular, satu per satu. Dimulai dari Deev, lalu Archer, lalu Kirkin.
"Aku tahu. Ini karena Galea. Ia ikut menjadi prajurit....."
Kirkin mengangguk, "Aku sudah tahu semuanya. Kamu melarikan diri dari sergapan dia, kan?"
Kamu sudah akan merogoh senjata tajam dari dalam ranselmu yang kaugandulkan ke depan, ketika tatapan Kirkin mendadak kosong, tubuhnya melemas, dan jatuh bebas ke lantai logam yang licin. Di belakangnya, Archer menahan napas. Tangannya, yang memegang pisau lipat, bersimbah begitu banyak darah. Ia mengedikkan bahu saja kepada kalian. Ia rasa kalian sudah tahu mengapa.
"Jangan tanya aku," ujar Archer, mengangkat kedua tangannya. "Aku sudah tahu soal Galea sejak kamu dan Deev belum pergi."
Kamu ingin sekali tahu lebih banyak. Ingin tahu mengapa mereka bisa begitu lihai mengintip kelicikan Galea sementara kamu masih terbingung-bingung karena kehilangan Leth. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Lebih baik kalian terus maju, pura-pura tidak tahu akan mayat Kirkin. Kalian bergerak, meninggalkan onggok tubuh yang bahkan masih terbelalak itu. Lantai logam licin perlahan digantikan pola-pola serupa panel. Tak cuma di lantai, dinding pun mulai dipenuhi tombol dan jejalur kabel berbungkus rapi. Sudut-sudut pilar dipenuhi selongsong karet, hingga tak ada suara-suara bersipongang menyakitkan telinga. Senyap. Bahkan langkah kalian tidak berbunyi.
Tiba-tiba, sebuah pintu muncul begitu saja, menutupi jalan yang baru saja kalian lewati.
Kini, benar-benar tak ada jalan kembali.
Nyaris semua jalan sudah tertutup.
Kalian semua, cepat selamatkan diri kalian ke [79]!
KAMU SEDANG MEMBACA
Conundrum Apropos
Science Fiction**The Watty's Award 2020 Winner: Science Fiction in Indonesian** **Cerita pilih-sendiri-petualanganmu** Negaramu, Augariana, lelah menghadapi kebohongan penduduknya, baik bohong putih maupun hitam. Wacana "Jujur Konsisten Lurus" mulai dicanangkan, d...