[103]

64 1 0
                                    

        

Kamu memutuskan berguling ke balik pohon besar. Tepat sekali waktunya. Kamu beranjak dan roda-roda truk berputar menghamburkan debu dan pasir, lalu pergi.

Waktu kamu mendekati pohon itu, kamu tersadar bahwa pohon ini dulu pernah ada di film. Pernah menjadi ikon. Kamu mengingat-ingat film apakah itu. Yang kauingat hanya wajah Morgan Freeman, aktor klasik legendaris idola ibumu, yang mengais-ngais di bawah pohon dan mendapati sebuah kotak titipan yang berisi surat dan oleh-oleh.

Di sini tak ada prajurit. Tempat ini juga agak gelap, tidak tersorot sinar lampu jalan, dan tak terlihat pula oleh para pejalan kaki. Setidaknya, kalau kamu masih ingin berdiam di situ hingga beberapa menit ke depan, kamu yakin tidak akan ada yang terjadi.

Namun, kalau kamu tak bergerak dari sana, waktu tetap akan berputar. Teman-temanmu, yang konon tinggal dua orang di dalam, entah bagaimana nasibnya. Berdasarkan apa yang kaukuping tadi, di dalam cuma tinggal Archer dan Kirkin. Entah ke mana perginya Galea. Atau jangan-jangan, Galea yang berkhianat. Ia pergi meninggalkan Archer dan Kirkin dengan alasan yang bisa mereka terima, lalu diam-diam memanggil pasukan prajurit topi bulu untuk menangkap, atau setidaknya menawan mereka berdua.

Atau jangan-jangan, ia sedang memberimu kesempatan.

Kesempatan untuk lari.

Tiba-tiba, sesuatu memelesat melewati daun telinga kirimu.

Mungkin itu peluru, atau sesuatu yang sengaja dibidikkan untuk melukaimu. Buru-buru kamu merunduk. Kebetulan, di dekat situ ada segerombolan perdu yang agak rimbun. Setidaknya kamu bisa bersembunyi selama beberapa detik.

Sesuatu memelesat lagi lewat kepalamu. Kali ini, kamu melihatnya.

Kilatan laser.

Kamu merunduk dalam-dalam. Sebisanya, kaubenamkan kepala di sela lutut. Kamu sudah bertahun-tahun tak berlatih gimnastik dan memilih berkutat dengan pelajaran dan meja laboratorium saja, sehingga badanmu tak selentur dulu.

"Kena?"

"Tidak. Dia lari, sepertinya."

"Coba kita cek kotak sekuriti."

Lagi. Satu di antaranya suara wanita.

Derap dua pasang langkah melewat perdu tempat kamu merunduk. Mereka tidak berlari. Hanya berjalan, santai saja. Kamu menahan napas. Dalam keadaan kepala terjungkir balik, jelas manuver itu membuatmu megap-megap. Celaka tiga belas, mereka berhenti tepat di depan kotak sekuriti, kotak biru yang tadi hampir saja kamu pilih untuk kamu masuki. Kamu mengangkat kepala sambil melirik. Salah satu prajuritnya benar bertopi bulu ayam, tengah sibuk menggeledah dan membanting daun pintu biru itu. Topinya tidak terlalu rimbun, sehingga gagal menyembunyikan garis-garis wajahnya tampak maskulin. Satunya lagi, yang kaucurigai sebagai perempuan, menghadap ke arah berlawanan, tepat terhalang sinar lampu. Kauatur agar napasmu seirama dengan napas mereka. Si wanita itu, sempat kauintip, rupanya tidak memakai seragam prajurit. Juga tidak bertopi, hingga rambutnya tergerai berkibar membentuk siluet di matamu.

"Tidak ada siapa-siapa."

"Kita masuk saja. Sudah waktunya kita suruh mereka buka mulut."

Hei. Suara itu tidak asing. Kamu mencoba mengintip lagi, menera ukuran wanita itu dengan ukuran tubuh yang pernah ada dalam memorimu.

Galea.

Leth.

Kamu baru menyadari suara mereka berdua agak mirip. Hanya saja....

Tiba-tiba, kamu merasakan sengat menyentil sisi dalam hidungmu. Memaksamu berbangkis seketika. Refleks, tanpa sempat tanganmu menahan, dan tanpa sempat kamu berkelit bahwa itu situasi genting yang mengharuskanmu bergeming, kamu berbangkis dengan sangat kuat.

Mereka berdua menoleh ke arahmu.

Prajurit yang pria terlebih dahulu. Ia mendekatimu, langkah demi langkah.

"Orangnya di sini, toh. Benar, kan. Terkaanku tidak salah. Bagus tadi peluru beracunnya tidak kena. Kita masih bisa interogasi dia." Semua kaudengar dengan teramat jelas. Si pria semringah kala meraup rambutmu, menjambaknya, dan melemparkan badanmu yang kecil ke daun pintu kotak sekuriti. Sementara yang wanita, entahlah bagaimana ia menatapmu sekarang, dari belakang. Kamu tak berani membayangkannya. Betapa tidak, wanita yang tubuhnya sama kecil denganmu bisa-bisanya meringkusmu seperti ini! Bisa-bisanya pula kamu tertipu bahwa selama ini dialah agen ganda yang pro pada proyek JKL, sekaligus kontra dengannya!

Mengapa kamu bisa begitu bodoh? Kamu mengutuk dan terus mengutuk.

"Ya, sudah dapat satu. Masih ada beberapa, sepertinya."

"Oke, Miss Galea. Satu tumbang. Kita lanjut ke dalam."

Tak berdaya, kamu pergelangan tanganmu kauserahkan saja untuk diborgol. Lalu, kamu digiring masuk kembali ke fasilitas Veritaject.

Kamu akan segera menjadi tawanan.

Serta-merta, kamu ingat film tempat di mana pohon itu berada. Film Morgan Freeman itu.

The Shawshank Redemption. Fear can hold you prisoner. Hope can set you free.

Kamu teringat pada sebuah tumbuhan, di mana kamu masih menaruh satu-satunya harapan.


Oke. Kamu sudah terbelit situasi sulit yang tak ada jalan keluarnya.

Ini jalan keluar buatmu:
Tadi kamu sempat menyimpan gambar Efbiaimus frutescens, kan?
Coba buka kembali gambar itu di [93]. Ada berapa jumlah kelopak bunga (warna kuning) yang terlihat pada gambar?
Majulah ke nomor [ ] yang sesuai dengan jumlah kelopak bunga di gambar itu. CEPAT!

Glosarium:
Fear can hold you prisoner, hope can set you free = Eng. Ketakutan bisa memenjarakanmu, harapan bisa membebaskanmu.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang