[19]

430 60 4
                                    

Kamu menyusun kepingan-kepingan fakta tentang proyek Veritaject dan Profesor Tamara Margana. Ini yang kamu dapat.

Profesor Tamara Margana sudah mendedikasikan kerjanya pada Veritaject sejak belasan tahun yang lalu.Profesor Tamara Margana adalah satu-satunya anggota tim proyek Veritaject yang namanya dikenal dunia luar. Pemerintah Augariana (dalam hal ini: Sanomat, Solomat, Zigurat, atau siapa saja asisten yang mungkin ditugasi) berhubungan dengan tim proyek Veritaject hanya melalui Profesor Tamara, dan tidak melalui anggota tim Veritaject lainnya.Profesor Tamara Marganatergolong ketat dalam menyimpan apa pun. Bukan tidak mungkin ia memang punya dokumen apa saja tentang proyeknya, dan bahkan, tentang garis besar haluan Augariana.(Ini baru gosip) Profesor Tamara Margana sepertinya tidak cocok dengan Gaistalt Haznam, kepala negara Augariana sebelum Sanomat. Kamu simpulkan dari sini bahwa Profesor Tamara Margana adalah antek pro-JKL, begitu setia dengan kejujuran yang diperjuangkan Sanomat.

Kamu menyimpulkan: minta tolong ke Profesor Tamara langsung adalah solusi paling realistis atas masalah ini.

Tanpa peduli apakah prosedur meminta dokumen secara langsung ini harus melewati perizinan pemerintah pusat atau tidak, kamu memutuskan untuk nekat menghubungi profesor itu. Kamu mengambil gawai dan menekan nomor telepon yang terdiri atas tiga belas angka berderet. Panggilan itu tidak kamu atur ke mode penyeranta, melainkan langsung berupa sambungan. Panggilan yang kemudian dijawab pada dering kelima.

"Tamara Margana di sini. Halo?"

Kamu memperkenalkan namamu, tanpa peduli ia pernah mendengar namamu atau tidak.

"Oh, ya, ya. Saya tahu."

Ini bukan waktu yang tepat bagimu untuk berbangga. Kamu melanjutkan bicara, seolah pengenalan sang profesor akan identitasmu bukanlah sesuatu yang patut diriakan.

"Profesor, maaf mengganggu waktunya. Saya membutuhkan data distribusi...."

"Oh. Pro dan kontra-JKL?"

"Iya, benar. Data itu. Apakah Prof punya?"

"Data itu sudah sering diminta. Nyaris setiap kali periode inspeksi."

Data ini sudah sering diminta sebelumnya? Padahal finalisasi baru saja mau berlangsung? Tiba-tiba terlintas pikiran bahwa mungkin saja negara tengah mengerjaimu habis-habisan.

"Ada. Tapi data yang terbarunya masih mentah. Fresh from the oven. Stop survey."

Kamu mengusap dagumu, lupa sejenak bahwa kawan bicaramu itu tak mungkin bisa melihat gesturmu saat itu juga. Stop survey memang cuma data hasil jajak pendapat tangkap-rakyat-di-jalan-secara-acak, tetapi sejauh ini stop survey tergolong akurat dalam memprediksi preferensi pilihan rakyat. Paling mendekati jujur, menurutmu.

"Saya benar-benar membutuhkan data itu, Prof."

"Data ini sifatnya rahasia. Sangat rahasia, malah."

Berpikirlah. Cepat.

"Kalau saya yang ke sana, Prof? Bisakah saya diperlihatkan hasil stop survey itu?"

Diam lama.

"Prof?"

"Ehem," sahutnya, sekadar meyakinkan kamu masih ada di gagang sebelah sana dan menunggunya, "Bisa. Besok malam setelah jam tujuh. Di Gedung Arsiparis Augariana. Paling enak ke sana naik taksi kapsul. Dari markas Veritaject cuma enam menit perjalanan. Kalau dari rumah Veritasensor cuma lima menit. Nanti masuknya pakai kartu identitasmu saja. Yang dikasih Sanomat."

"Siap, Prof. Kalau pakai metrokapsul?"

"Metrokapsul bisa juga. Turun di VIII-3."

"Oh, baik, Profesor. Besok malam saya akan ke sana."

"Baik. Sampai jumpa."

Kamu menutup telepon, sambil berharap-harap cemas.

*

Keesokan harinya, kamu masih mengadakan pertemuan dengan tim hingga pukul lima sore. Secepat kilat, kamu makan malam dengan masakanmu sendiri yang ala kadarnya; baik kuantitas, kualitas, maupun rasa. Setangkup roti bakar dengan olesan mentega, sisipan dua lembar seledri, sekerat daging sintetik, dan sebutir telur setengah matang yang dibuat mata sapi. Setelah menandaskan makan malammu dan berpamitan dengan tim, kamu bergegas mengambil sebuah taksi kapsul menuju Gedung Arsiparis. Kamu tiba di gedung berornamen mirip teater itu dalam hanya lima setengah menit.

Di sana tidak ada penjaga. Sungguh aneh. Kamu tempelkan saja kartu identitas komitariatmu ke sebuah bidang pindai berwarna hitam dengan gegaris merah. Lampu menyala hijau, dan kamu dituntun menuju sebuah travelator otomatis. Pintunya membuka di depan sebuah ruang yang begitu panjang. Mungkin itu lorong atau sejenisnya. Di sana penuh kardus, rak, dan lemari.

Kamu melangkah keluar. Tak lama, pintu elevator menutup, dan kamu tak lagi bisa mundur. Kamu coba menekan tombol naik maupun turun; keduanya gagal. Tidak bekerja. Tombol itu tetap hitam meskipun sudah kautekan berkali-kali. Kamu melihat ada tulisan Pintu Darurat tepat di sebelah pintu travelator tadi. Nanti sajalah, batinmu, sambil kamu mengingat-ingat dan berdoa agar kamu tidak perlu sampai menggunakan pintu itu.

Bergerak maju, kamu menemukan tumpukan rak yang kian tinggi dan penuh.

Belum ada lima menit kamu berkeliling, kakimu terantuk sesuatu.

Sebuah betis.

Terjulur dari balik rak penuh laci.

Kautelusur betis itu dengan matamu saja, sampai ke badan, sampai ke kepalanya.

Itu tubuh Profesor Tamara Margana, yang kautemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri.


Wah, ada apa ini? Coba cek apa yang terjadi di [23]!

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang