[117]

170 14 2
                                    

Sambil melirik ke Gilles yang tengah merawat Leth, kamu tersadar akan sesuatu.

Bahwa kamu sudah begitu lelah menyaksikan perdebatan tiada akhir seperti ini.

Kamu menolak menyerahkan ranselmu. Apalagi dokumen-dokumen yang kamu dapatkan. Biarlah mereka--Sanomat dan Brio--yang memutuskan saja, begitulah inginmu. Lebih baik kamu jadi penonton, daripada kamu terseret, kamu terjerumus, atau yang terburuk, kamu bisa mati.

"Serahkan!" teriak Sanomat. "Kamu seharusnya bisa menyelamatkan negara ini, Anak Muda. Mari, sini."

Kamu menggeleng. Tak ada yang bisa dipercaya. Entah Sanomat, entah Brio.

"Berengsek! Anak Muda, sini. Tidak usah ke Sanomat. Kamu dipaksa jujur, nanti. Mau kamu? Yang benar aja. Pacarmu bilang tidak naksir kamu, baru deh kamu bunuh diri."

Kata-kata Brio memang benar. Itu juga pikiran yang menghantuimu setiap malam, selama beberapa tahun terakhir. Itulah jadinya kalau kamu membiarkan Sanomat memenangi pertempuran ini.

"Jangan biarkan dia, Anak Muda. Dia penipu ulung. Data proyek Nottingham mau dibukanya semua ke publik! Jadi apa nanti nama negara kita? Kita dijadikan penjahat internasional! Kita dikeluarkan dari Persarekatan Bangsa-bangsa! Kita tak lagi punya hak di mata dunia! Kamu mau Augariana jadi begitu?"

Kata-kata Sanomat pun benar. Pikiran itu pernah menghantuimu. Belakangan ini semakin sering, ketika kamu mempertanyakan demi apa kamu eksis di komitariat.

Jujur. Kamu berada di komitariat ini demi apa?

Demi menarik perhatian Leth agar mau kembali ke pangkuanmu? Belum tentu. Ada Gilles yang harus kamu kalahkan.

Demi uang? Belum tentu juga. Kamu tak terlalu peduli dengan biskuit itu kalau sedang dalam situasi genting. Bahkan, kadang kamu menumbuk, mengaduk, dan meracik krim biskuit sendiri. Berarti kamu bisa memproduksi uang sendiri kalau kamu bisa memasak Oreo.

Demi keamanan status sebagai pegawai abdi negara? Belum tentu. Kamu tahu status itu tidak abadi, dan sewaktu-waktu bisa saja kamu ditendang keluar atau disuruh ujian ulang.

Demi peluang untuk diabadikan namanya menjadi pahlawan kalau-kalau gugur di medan perang? Pasti bukan. Kamu sudah mati ketika namamu benar-benar dijadikan nama jalan. Konyol sekali. Kamu ingin kamu tahu ketika kamu dikenang, bukannya tidak tahu.

Demi status atau kekerenan di mata dunia? Belum tentu! Siapa yang mau tahu kamu ini siapa, di luar sana?

Ya, siapa yang mau tahu kamu ini siapa, di luar sana?

Kepalamu kian ribut oleh kontemplasi. Di depanmu, tahu-tahu Brio dan Sanomat sudah baku hantam. Mereka berebutan pistol, entah siapa yang memulai.

"Minggir! Minggir!" teriak Deev. Ia mencoba lari dari tempat tadi ia meringkuk, melintasi dua pimpinan yang tengah berkelahi itu, ke arahmu. Atau ke arah Gilles dan Leth duduk. Sanomat mati-matian mengekang tangan Brio yang masih menelunjuk pelatuk pistol. Menggunakan kaki, Sanomat menendang kemaluan Brio dengan keras. Tidak tepat benar, tetapi cukup membuatnya terjengkang.

Dan meletuskan pistol tanpa sengaja.

Yang disusul teriakan Deev, ketika tahu-tahu peluru itu menembus tengkuknya.

"Deev! Deev!" teriakmu histeris. Kamu berlari ke arahnya, tangan kosong. Sanomat menerjang Brio lagi, berupaya menindih pria botak itu dengan badan buntalnya. Pistol pembunuh Deev lepas dari tangan Brio. Entah sudah keberapa kalinya, Sanomat dan Brio kembali bergulingan di lantai, sama-sama ingin meraih pistol. Gilles memberimu kode agar jangan mendekat. Deev sendiri memang sudah tak bergerak sejak terkapar tadi. Percuma saja kamu mendekatinya. Pun terlalu berisiko.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang