"Pottjen Doll."
"Oh, Pot Cendol!" teriak Kirkin lantang, "Iya, aku tahu. Gampang, kalau begitu."
Kalian saling berpandangan satu sama lain.
"Pot Cendol itu semacam hangar di tengah Gudang Otak. Dari situ ada sembilan lorong, semua bermuara di satu anjungan melingkar. Sebenarnya itu semacam tempat pertemuan atau tempat persiapan sebelum memasuki Gudang Otak, tapi selain itu.... Tunggu sebentar. Kalian punya informasi, di lorong yang mana? Di sana ada sembilan lorong. Bisa jadi informasi itu ada di lorong mana saja, bukan?"
Deev mengedip ke arahmu. Bibirnya menggerakkan sebuah abjad, pertanda ia tahu apa yang ia incar. Kamu ingin bilang tidak tahu saja, tetapi urung.
"Tidak tahu? Oke, ikut aku. Nanti kita temui siapa saja yang ada di sana." Kirkin berlalu begitu saja, melewati kamu dan Deev yang melongo. Galea tak keburu mengikuti Kirkin, karena tangannya terlebih dahulu digenggam Deev.
"Tunggu Archer."
*
Mencapai Pottjen Doll bukanlah perkara gampang.
Kamu dan Deev, yang datang begitu saja dari lubang empat ubin di naungan moda transportasi di jalanan, butuh beratus-ratus anak tangga untuk naik dan turun, sekadar melewati jembatan demi jembatan di dalam saluran air, untuk cuma lagi-lagi mendapati lantai beralas logam yang disatukan permanen dengan semen, tanpa pangkal dan ujung. Jauh, memang. Tidak terbayang kalau kamu dan Deev memang berjalan dari awal, mengikuti Kirkin-Archer-Galea dari fasilitas Veritaject. Kamu membatin jangan-jangan Kirkin berbohong. Archer dan Galea masih mengikutinya dengan tenang. Bayanganmu, kalau tempat itu begitu jauh, seharusnya keringat sudah membanjiri tubuh Archer, aroma tubuhnya semakin tak sedap, dan Galea pun akan sesekali mengangkat tepi bawah kaosnya untuk mengusap keringat. Pemandangan yang seharusnya menggairahkan buatmu. Tidak. Yang ada malah tenggorokanmu yang mengesat, kering.
Kamu tidak menghitung sudah berapa menit kamu berjalan. Beberapa lorong mulus terbuat dari logam, tetapi beberapa malah cuma berlapis bongkah-bongkah batu, sehingga kamu harus berhati-hati agar tidak terkena tepi-tepi batu yang tajam, lengkap dengan ancaman longsor.
Formasi kalian, sedari tadi selalu tetap. Kamu berjalan paling belakang karena kamu membawa senter. Sesekali, kamu menoleh ke belakang, menyorotkan lampu, untuk memastikan bahwa kalian tidak sedang dibuntuti prajurit bertopi bulu. Kamu juga bertugas menutup jejak, agar jangan sampai tapak-tapak sepatu berhamburan di mana-mana dan memberitahu siapa pun yang lewat perihal kalian sedang menuju ke mana.
Kamu tersandung. Kamu oleng. Tanganmu tak sanggup meraih tepi bongkah batu, yang rupanya terlalu ceper untuk dijadikan tambat pegangan. Sentermu lepas dari genggaman. Kamu terjerembap dalam gelap.
Tidak ada yang menyadari kamu jatuh. Tidak ada yang kembali untuk membantumu naik.
Karena mereka sudah hilang.
Ranselmu basah. Buru-buru kamu pinggirkan ia, ke tempat yang lebih tinggi, sambil mencari-cari apakah gerangan yang basah itu. Cairan tampak merembes perlahan, tetapi sumbernya sulit kaulihat. Terlalu gelap, dan sentermu pun entah ke mana.
Harapanmu sedikit membuncah waktu lorong yang membentang ke kirimu terang ujungnya, semakin lurus bidangnya, semakin rapi, dan kembali menguarkan gema di mana-mana.
Sudah dekat.
Lorong logam keperakan polos berangsur-angsur beralih menjadi dinding berpanel. Banyak kabel menjuntai di tepi-tepi kosen, tetapi cuma sampai di sana. Selepas itu, semua ornamen di tembok--bukan, bukan ornamen. Melainkan peralatan, perabotan, dan alat yang sungguh berguna sebagai mesin--terpasang rapi pada tempatnya. Kamu memandang takjub. Rupanya, jauh dari peradaban fasilitas Veritaject yang sudah kaurasa canggih, ada yang jauh lebih canggih melampaui itu. Alas kakimu tidak menggemakan suara. Semua menjejak rapat, menggenggam partikel-partikel karpet di lantai yang begitu kilap. Lorong tempatmu memijak kian melebar, dan terus melebar. Kamu membayangkan film-film Alien besutan Ridley Scott, film The Passengers besutan Morten Tyldum, atau film Solaris arahan Steven Soderbergh.
Baru saja kamu akan menjauh dari salah satu lorong yang paling remang, matamu menemukan pemandangan mengerikan.
Bukan, itu bukan rekan-rekanmu yang hilang.
Kamu tak mungkin mengambil senter yang sudah lenyap itu. Satu-satunya cara untuk tahu adalah mendekat, mengecek sendiri ada apa.
Seorang pria, menyeret seorang wanita dengan perut membulat di sebelahnya, sedang menekan-nekan tombol di depan panel rumit di sebuah pintu raksasa. Layarnya memendarkan kode macam-macam yang tak bisa kaubaca dari jauh. Dugaanmu, panel itu meminta kata kunci, dan pria itu tengah mencoba membobolnya.
Napasmu memburu, terdengar begitu keras ke telinganya, bahkan ketika jarakmu masih sebelas meter.
"Gilles," sapamu.
Ia, seperti sudah tahu bahwa itu kamu tanpa ia perlu menoleh, melonggarkan belitan lengan satunya pada leher si wanita itu. Ya, ia juga wanita yang sama sekali tak asing bagimu. Namun, mereka sama sekali tidak membalik badan. Perhatiannya tercurah total pada panel, berpikir lama pula ia, barulah ia menekan dua angka, dan....
Pintu benar terbuka.
Kamu meronta sedapatnya. "Lepaskan Leth," sambarmu pada bahu Gilles.
Ia tak peduli. Terus saja ia masuk, membuka tirai, memasang tangga monyet, barulah ia kembali kepadamu.
"Sini, masuk," lambainya kepadamu.
Kamu memelesat, dan seketika melongo memandangi semuanya.
Semua.... Sungguh semuanya; ada di sini.
Apa yang membuatmu takjub? Intip semuanya di [108]!
KAMU SEDANG MEMBACA
Conundrum Apropos
Science Fiction**The Watty's Award 2020 Winner: Science Fiction in Indonesian** **Cerita pilih-sendiri-petualanganmu** Negaramu, Augariana, lelah menghadapi kebohongan penduduknya, baik bohong putih maupun hitam. Wacana "Jujur Konsisten Lurus" mulai dicanangkan, d...