[108]

286 34 7
                                    

        

Kamu mendapati sebuah ruangan yang penuh dengan otak. Semua tersimpan rapi dalam stoples, tersusun di rak yang menjulang dari lantai hingga langit-langit. Gilles tampak tak bereaksi, padahal pastilah mulutmu sudah menganga dan matamu lupa berkedip.

"Ini tempat Profesor Tamara menaruh semua subjek proyek Nottingham-nya."

"Ia memberitahumu?"

"Kira-kira begitu."

"Kira-kira? Maksudmu?"

"Otak ini semua tidak bisa disimpan begitu saja di fasilitas Aldridge-Hall-Albright. Jadi pihak kampus mengusulkan dipindah ke sini saja."

Pasti alasan sebenarnya ini: pihak kampus tidak mau tangan mereka dikotori oleh para eksekutor yang sebentar-sebentar masuk kampus membawa dua sampai sepuluh stoples berisi otak, dan kampus pun dijadikan tempat penampungan barang bukti kejahatan. Mereka lepas tangan saja, itu akan lebih baik.

"Bukan," kamu mencoba mengingkar Gilles, "Pasti ini ada urusannya dengan eksekutor."

Gilles melengos, mendengus dan mengalihkan mata ke sebuah stoples yang masih tergeletak di atas meja pindai, tanpa berani menatapmu langsung. "Sort of. Urusan itu ada kaitannya, tapi nomor kesekian." Ia menurunkan suara, sekadar memastikan bahwa semua alat sadap di ruangan tempat kalian berada tidak bekerja optimal sesudah itu, "Ini semua terjadi setelah Sanomat minta tolong ke Profesor Tamara. Kalau tidak, kekacauan ini tidak akan terjadi."

Kamu menelan ludah. Kerongkonganmu berasa kesat, terganjal hebat. Seperti sehabis berkeringat hingga bersimbah peluh oleh karena fatamorgana, lalu tak diberi setetes air minum barang seteguk pun. Kamu berharap satu dua temanmu bisa muncul di sini, saat ini juga. Merasa kehabisan senjata mengelak dan menampik, kamu merasa sangat lelah. Sangat.

"Dia minta tolong ke Profesor Tamara waktu proyek Nottingham masih jalan. Waktu Profesor masih mencari tumbuhan apa yang cocok disandingkan dengan ekstrak efbiai sebagai penguat otak."

Kamu mengingat-ingat hasil diskusimu dengan Sanomat waktu perang baru dimulai. Ia menyebut pelepah siaie, dan kalian semua percaya begitu saja tanpa mengecek fakta atau data apa pun yang bisa meyakinkan. Sekarang kamu tahu bahwa pelepah siaie bisa saja merupakan hasil tipuan yang disampaikan Profesor Tamara ke Sanomat, karena ia tak rela proyek ini bocor seluruhnya ke pemerintah Augariana.

Benarkah begitu?

"Siaie bukan pohon yang tepat. Pohon itu punya pelepah yang biasa dikunyah nenek-nenek untuk mencegah Alzheimer's disease. Tetapi kan tidak bisa dibilang begitu juga. Profesor sudah mengecek bahwa pelepah siaie malah merusak fungsi luhur otak. Orang jadi pelupa. Mereka takut lupa apa saja yang mereka pernah reka-reka, sehingga secara tidak langsung orang jadi tak berani berbohong. Tapi ya balik lagi, bukan begitu cara kerja Veritaject yang Sanomat mau. Eh, tunggu sebentar. Jangan teriak, ya. Awas, kamu."

Gilles bangkit dari duduknya di kursi kayu itu, lalu bergerak ke pojok ruangan. Ia mencari-cari sesuatu di saku celananya. Kamu menduga ia mencari kunci borgol. Benar. Ia keluarkan kunci itu, lalu dipindahkannya borgol yang melingkari pergelangan tangannya ke salah satu kaki penyangga rak. Ia paksa Leth duduk di sana. Gilles menggeram, membentak, ketika Leth mencoba berteriak. Ia mengancam akan mencekiknya.

"Aku tidak akan mencelakai pacarmu, tahu? Aku mau menceritakan yang sebenarnya! Dasar perempuan enggak punya nyali. Harusnya, kamu yang cerita ini ke dia! Kamu! Bukan aku!" hardiknya, tepat di hadapan wajah Leth yang memejam dan meringis.

Mulutmu tersegel rapat. Otakmu mencari-cari akar masalah yang entah sedalam mana. Kemungkinan besar, Gilles hanya seekor haring merah dalam kekusutan kisah ini. Kamu belum tahu siapa otak sesungguhnya di balik ini semua. Kamu memutuskan tetap diam, tidak berusaha membebaskan Leth, tidak juga berusaha mendorong Gilles sampai jatuh, apalagi mencoba membobol lemari-lemari itu.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang