[34]

237 30 1
                                    

        

Sambil mengomat-ngamitkan semacam campuran antara gelembung soda, doa jahat, dan makian; kamu mengambil pintu yang kanan.

Celaka.

"Di sana! Di pintu itu, Kapten!"

Di ujung lorong yang membentang, ada setidaknya dua orang berseragam prajurit, lengkap dengan topi bulu ayam melekat di kepala masing-masing. Topi salah satu dari mereka lebih rimbun daripada yang lain. Si topi rimbun ini kalang kabut mencari seseorang, yang kamu duga adalah bosnya langsung, untuk memergoki siapa makhluk yang barusan membuka pintu. Terlambat. Kamu tak lagi bisa menutup pintu dan membatalkan semuanya.

"Kapten! Kapten! Lihat. Lihat!"

Muncul sesosok buntal di hadapan dua topi bulu. Sanomat.

"Mungkin itu pembunuh Prof Margana."

"Siap, laksanakan!"

Sudah jelas manakah yang prioritas buatmu: menentukan mengapa-"mungkin-itu-pembunuh-Margana"-dianggap-sebagai-perintah atau lari.

Tapi, kamu mau lari ke mana? Sejauh kamu memandang ke belakang, yang ada hanya lemari, lemari, dan laci-laci bertumpuk. Oh ya, ada lagi: mayat Profesor Tamara yang tergeletak lemas di lantai. Sidik jarimu pasti penuh di ruangan ini. Atau kalau tidak pun, minimal jejak-jejak sol sepatumu. Atau tenitis udara dari hidung dan mulutmu yang sedari tadi membuka-tutup.

"Jangan lari, Bangsat!"

Salah satu topi bulu ayam mengejarmu. Buru-buru kamu tutup pintu dan kamu selot kembali kuncinya, tetapi terlambat. Daun pintu mengelak terbuka dengan kasar. Tiga topi bulu (ya, tiga; kamu salah hitung) menghambur dari sana, diikuti entak-entak bumi dari langkah gemuk Sanomat yang rupanya menciptakan minigempa berkekuatan beberapa desimal skala Richter. Kamu memanjat sebuah rak. Gagal. Rak itu jatuh dan membuat satu topi bulu terjungkal ke belakang, menimpa satu temannya. Si topi bulu rimbun berdiri paling belakang, bebas dari rentetan domino yang runtuh. Ia sempat mengelak ke samping, mengambil jalan memutar, meraih kakimu yang masih di atas rak dengan cepat. Begitu mudah. Ia membelitmu dengan segenap lengan, hingga kamu tak bisa naik lagi, lalu terpeleset.

"Lepaskan!"

"Tidak! Jelaskan dulu kenapa Prof Tamara harus mati!"

Mana kamu tahu kenapa Margana harus mati? Justru menurutmu, Margana adalah tokoh penting yang harus hidup sampai proyek-proyek gila ini selesai.

"Bukan aku!"

"Kapten! Alarm!""

Sanomat mengintip dari balik lemari. Dengan tubuhnya yang membutuhkan dua kursi di pesawat terbang, jelas ia tak mampu berjungkir balik membelit pinggangmu atau melakukan gerakan-gerakan tangkas sejenis itu. Untung bagi mereka, dua orang topi bulu tadi sudah bangkit. Bertiga, mereka meringkusmu, mengikatmu dengan borgol otomatis di dua pergelengan; memaksa kamu yang masih terseok untuk berdiri. Tepat di depan Sanomat. Ia memberi kode ketika si topi bulu rimbun mengusulkan untuk membunyikan alarm pertanda sabotase keamanan gedung. Mundurnya si topi bulu cukup menjelaskan apa arti kode serupa gestur jemari untuk angka dua itu.

Wajahmu bertemu wajah Sanomat.

Napasnya bau.

Ia membisikkan namamu, sebelum berhenti sebentar.

"Pembunuh."

"Bukan aku!" sahutmu.

"Tapi aku harus bilang apa? Zigurat, sini, Zigurat. Tadi pas kita kemari, apa sudah ada laporan bahwa Margana mati?"

Si topi bulu--oh, namanya Zigurat--menggeleng, "Belum ada. Kami baru diinfo dari sekuriti depan, kalau ada penyusup dan pindaian Veritasensor di tubuh Prof Margana tiba-tiba lenyap dari radar."

Benar, kan? Seharusnya dari awal tadi kamu lari saja. Sekarang semua jadi runyam.

"Pasti cecunguk ini pelakunya!" tuding Zigurat kembali ke mukamu. Percuma. Kamu tak bisa melayangkan bogem. Kedua pergelangan tanganmu terkunci di balik punggung.

"Cek sidik jarinya," titah Sanomat.

Salah seorang dari dua prajurit bertopi-bulu-kurang-rimbun maju ke arahmu. Dari saku celananya, ia mengeluarkan benda seperti taser. Terdengar suara seperti renjis-renjis bunga api di belakangmu. Tampaknya ia sedang menguji apakah baterai taser itu masih cukup daya atau tidak. Tak lama, seorang prajurit lain sibuk membongkar laci-laci, tempat yang tadi sempat kamu lihat-lihat sebentar. Ia mendecak. Di laci nomor empat dari atas, ia menemukan apa yang ia cari. Segepok baterai kolot, keluaran tahun 1980-an, yang entah bagaimana bisa ada di situ.

"Urun daya dulu sebentar. Perlu setengah menit."

Tiga puluh detik....

Otakmu sudah terlalu lelah untuk memikirkan caranya kabur dari empat orang di hadapanmu ini.

Dua puluh lima....

Tadi kamu tidak menyentuh Margana, bukan?

Dua puluh satu....

Seharusnya, sidik jarimu tidak ada di badan Profesor Tamara.

Tujuh belas....

Tapi bagaimana kalau taser pemindai sidik jari ini bisa merekayasa fakta sesuai apa yang Sanomat mau?

Empat belas....

Sanomat tidak tahu apa yang dikerjakan oleh komitariat Biomedicine. Tidak tahu apa-apa. Ia, dengan begitu dungunya, percaya begitu saja.

Dua belas....

Tanpa perlawanan.

Sembilan....

Jadi, bagaimana kalau kamu coba tawarkan sesuatu? Spesifikasi Veritasensor, misalnya?

Tujuh....

CEPAT!

Apakah kamu punya berkas spesifikasi Veritasensor dalam ranselmu?


Langsung saja: apakah kamu punya spesifikasi Veritasensor di tanganmu sekarang?

Kalau punya, berkelitlah di [17].

Kalau tidak, pasrahkan dirimu ke [46].

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang