[2]

6.1K 409 48
                                    

Sanomat menggeram. Tanpa digebrak pun, Solomat dan Zigurat--dua asistennya--sudah beringsut mundur sedikit, sambil menjengit. Meja seakan jadi milik Sanomat seorang.

"Saya tidak mau tahu. JKL harus jalan. Implementasi total se-Augariana tahun depan!"

"Ta-ta-tapi, Tuan...."

"Tidak ada tapi-tapian. Pemilihan Kepala Distrik tahun lalu sudah membuktikan betapa culasnya rakyat Augariana berbohong. Mekanisme pemungutan suara tervalidasi. TERVALIDASI APANYA, Brio? Apa? Belum satu tahun saja rakyat sudah ngeluh. Enggak mau pimpinannya gini-gini. Dulu yang milih, siapa?"

"Mereka juga," sahut Solomat, polos.

Zigurat buru-buru memotong, "JKL tidak akan segampang itu...."

"Zigu," delik Sanomat, "kita sudah punya pegangan. JKL akan jalan. Titik."

"Si-siapa...."

Tanpa menunggu Zigurat menyelesaikan kalimat, Sanomat sudah siap dengan sebuah foto. Ia terpendar di bawah permukaan meja, tepat di bawah siku mereka bertiga.

Semua sepakat, wajah berkerut itu akrab. Sangat akrab.

Namanya Tamara Margana.

*

JKL, alias Jujur Konsisten Lurus, bukanlah nama jalan tol, nama maskapai penerbangan, apalagi inisial nama aktor. JKL adalah program andalan Sanomat yang memang sudah belasan tahun diusungnya, di mana pun ia mengikuti pemilihan pimpinan. Sepertinya pria setinggi dua meter lebih sepuluh sentimeter itu terobsesi dengan kejujuran dan transparansi. Menurutnya, fenomena banyaknya pemimpin yang dicela rakyat hanya dalam hitungan bulan sejak diangkat di berbagai belahan Augariana itu disebabkan oleh minimnya kejujuran dalam etos pribadi si pemimpin, sekaligus lunturnya kedigdayaan arti kejujuran di mata masyarakat. Jangan salah sangka, banyak juga yang ternyata mencibir Sanomat. Seperti banyak pemimpin di masa lalu yang menderita sendiri karena terlalu getol memperjuangkan kejujuran, Sanomat juga menderita karena keteguhannya. Ia berharap semua orang bisa sebening stoples ketika berhadapan satu sama lain. Hanya dalam hitungan minggu usai ia dilantik menjadi perdana menteri, ia sibuk berkoar tentang pentingnya kejujuran.

Apa lacur, ia gagal. Rakyat telanjur gemar berdusta. Ekonomi melambat karena banyak penduduk tak jujur ketika ditanyai pertanyaan receh semacam apa-jenis-deterjen-yang-Anda-pilih-apakah-yang-lembut-yang-wangi-ataukah-yang-bintang-iklannya-Nukaaka-Coster-Waldau atau apakah-Anda-mau-difoto-berdua-dengan-David-Gandy-dengan-syarat-Anda-harus-telanjang-bulat-dulu. Sanomat naik darah, mencak-mencak. Menurutnya negara ini sekarang disetir oleh kesengkarutan, sementara pemerintah cuma duduk di buritan dan jadi penonton. Ia bertitah panjang lebar di televisi, memanggil kalian para penganggur berkumpul di suatu hari.

Siang itu, kamu termasuk satu dari sekian ribu anak muda yang berbaris memenuhi alun-alun kota; persis di depan kantor perdana menteri. Sebagian besar memakai jas dan dasi hingga tampak necis, meskipun wajah-wajah kalian penuh ringis dan kalian diperlakukan bak pengemis. Kalian berbaris menuju sebuah meja panjang. Selepas dari sana, kamu mendapat sebundel paket. Nomor antreanmu 3824. Sontak, kamu mengitarkan pandangan sambil bertanya-tanya apakah jumlah kalian benar mencapai lebih dari tiga ribu lima ratus. Luasnya lapangan, jejalnya insan, dan tidak adanya Leth membuat pertanyaanmu mustahil dijawab di saat itu.

Riuh kerumunan semakin rendah oleh terik matahari. Sebagian mencoba melonggarkan dasi, sebagian lagi memijat jakun pertanda haus, sementara kamu masih mencari petunjuk, ke mana saja matamu menambat. Balkon merangkap mimbar tempat perdana menteri biasa berkoar: masih kosong, bahkan mikrofon pun tak ada. Posko sekuriti di kanan dan kiri lorong menuju pintu utama: dipagari ketat dan dijaga dua prajurit bertopi bulu ayam. Cuma itu. Pohon beringin besar di samping kanan kantor: dipasangi garis polisi yang entah apa tujuannya.

Tak ada tanda-tanda kapan pengumuman akan dimulai. Kamu pun mulai gerah. Tiba-tiba saja, seorang prajurit bertopi bulu ayam besar--ya, bulunya rimbun sekali, seperti kemoceng--keluar dari pintu utama, menyandang bayonet. Pemuda-pemuda kegerahan mulai meminggir, memberi jalan. Di belakangnya, tampak seorang pria buntal berjalan terseok-seok, diapit oleh dua pengawal tegap, yang juga bertopi mirip kemoceng.

Itu Sanomat. Perdana Menterimu. Pimpinan tertinggi di Augariana-mu.

Salah seorang staf yang membuntutinya mengambilkan pelantang. Setelah keras lemah suara disesuaikan, Sanomat menyorongkan sisi pelantang yang kecil ke mulutnya. Ia berdeham beberapa kali, sembari salah satu asistennya mengelap keringat yang mengilapi jidat lapangnya.

Pidato Sanomat adalah salah satu mimpi terburuk di Augariana. Panjang menguntai, tetapi tidak berbobot. Anak kecil juga bisa bicara begitu kalau ditentir baik-baik. Lima belas menit ke depan, kamu bingung antara mau menutup telinga dengan juntai dasimu, ataukah melipir dan mencari kapsul makanan lezat di sekitar situ. Kamu memilih yang kedua, berhubung badanmu kecil dan mudah menyelip di sela-sela badan pemuda lain.

Setelah kenyang, kamu kembali ke tengah barisan.

"....kita buat komitariat khusus! Ada yang mengembangkan suntikan untuk kejujuran. Kita tahu ini dari novel bersejarah Harry Potter, eh? Bahwa Veritaserum itu ada. Benar-benar ada! Bukan cuma Sodium Thiopental yang dungu. Bukan! Ini lebih revolusioner dari itu! Nanti, semua orang bisa menyaksikan apa isi pikir orang di sebelahnya."

Senyap.

Suara dengus napas pun tak ada. Mungkin, semua sibuk menahannya.

Kamu pun.

"Kita akan petakan! Petakan! Distribusi si tukang bohong ada di distrik mana saja? Nanti kita kandangkan. Kita buat ceruk-ceruk dalam distrik, atau kalau perlu cutak khusus, buat para pembohong. Kita terapkan kejujuran penuh, seratus persen jujur, demi kemajuan kita bersama! Augariana Maju Jaya!"

Serentak, pemuda-pemuda mengacungkan kepalan tangan kanan ke langit. Seperti akan meninju awan. Kamu ikut saja, daripada membuat masalah. Ada lagu-lagu kebangsaan yang kamu tak pernah hafal, sisanya adalah lagu-lagu kebangsaan yang kamu-hafal-tapi-kamu-memilih-untuk-lip-sync-saja.

Yang lebih mendebarkanmu adalah proses selanjutnya.

Diversifikasi.

Kamu dan semua orang di sana diseleksi menurut bidang akademi kalian sewaktu menempuh pendidikan dulu. Kamu dibariskan ke kelompok ilmu alam, sementara beberapa pemuda lain diarahkan ke kelompok ilmu sosial dan ilmu bahasa. Setelah jumlah kalian mengerucut, kalian diarahkan oleh seorang prajurit topi bulu ayam lain ke sebuah lorong yang lebar tetapi gelap. Dua menit kemudian, kamu tiba di sebuah ruangan.

Bilik seleksi.

Di depanmu, kamu menyaksikan beberapa pemuda diberi stempel pada punggung tangan, persis dekat pergelangan. Ada yang stempelnya berwarna merah, diikuti usiran dan makian. Kamu segera paham, itu pertanda latar belakang akademis mereka tak cocok dengan spesifikasi yang pemerintah mau. Beberapa pemuda lain dicap hijau. Itu berarti kedua gelar mereka sama-sama cocok dengan kebutuhan negara dan mereka bisa memilih. Giliran pemuda di depanmu, ia diberi stempel biru. Itu berarti cuma satu bidang yang cocok. Ia diseret ke bilik sebelah yang tertutup kerai.

Berikutnya giliranmu.

Punggung tangan kirimu dicap hijau. Dua kali. Kamu ditanyai oleh si petugas. Matanya menyorot tajam, menandakan ia tak punya banyak waktu untuk mendengar pilihanmu, segera.

Kamu mengernyitkan dahi. Dulu di bidang Biomedis, prestasimu memang tidak bagus, tetapi kamu selalu penasaran akan ini dan itu, akan bahaya yang mungkin mampir. Sementara di bidang Psikologi, prestasimu sedikit lebih baik, tetapi kamu merasakan ketenangan yang menjerat. Tidak ada pertanyaan "bagaimana jika", tidak ada tekanan besar. Leth (ya, mau tak mau kamu kembali teringat padanya) lebih menyukai kamu berkarir di Biomedis. Sementara kamu sendiri?

Cepat, pilih.


Dengan gelar akademis di bidang Biomedis dan Psikologi, kamu bisa bergabung ke tim yang tengah berkutat dengan Biomedicine di [7].

Atau, kamu ingin menggunakan kemampuan Psikologi-mu? Silakan bergabung ke tim Humanitarian yang mengurusi psikologi di [5].

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang