[17]

288 28 0
                                    

        

"Tunggu."

Seruanmu disambut tolehan terenjat dari empat aparatur negaramu itu. Pengurunan daya berhenti tepat tiga detik sesudah sahut suaramu. Bedanya, kalau tadi mereka bakal langsung menghunuskan vonis ketika pengurunan selesai, kali ini tidak. Mereka bergeming, semua menunggumu berkoak lagi.

"Aku.... Errr.... Aku punya salinan spesifikasi Veritasensor."

Sementara Sanomat dan Zigurat terus menatapmu dengan tatap yang terpancang, dua prajurit topi-bulu-kurang-rimbun malah saling berpandangan.

"Solomat, Semerkhet. Geledah orang ini!"

Sigap sekali mereka. Dua prajurit itu berhenti berpandangan, menjatuhkan bedil panjang masing-masing ke lantai, lalu merapatkan keempat telapak tangan itu ke torsomu. Solomat di kirimu, Semerkhet di kananmu. Mereka menggerayangi. Bagimu itu bukan gerayangan biasa. Lebih condong ke kelitikan. Mulanya sedikit geli dari bawah ketiak sampai dekat pinggang. Sedikit geli lagi dari bawah pusar sampai bagian-yang-lebih-baik-jangan-kamu-sebut. Segera kamu usir pikiran yang bukan-bukan. Lagipula, daerah itu bukan tempat yang bagus untuk menyembunyikan dokumen.

Akhirnya, sepasang tangan pergi, beranjak ke ranselmu. Ia membuka kantong terdepan. Mudah saja. Ia langsung menemukan selipatan kertas yang langsung dibukanya di tempat. Sambil beralih dari jongkok ke posisi berdiri, Semerkhet mengernyitkan dahi. Pasti ia tengah kebingungan menera angka-angka dan huruf-huruf yang baginya tanpa makna itu. Asumsimu selama ini, bahwa semua prajurit pengawal pimpinan itu bodoh, bolehlah dibenarkan kali ini. Setidaknya, mereka hanya tahu cara memasang badan untuk mengajudani tokoh penting yang dipilihkan bagi mereka, dengan kekuatan yang tidak berimbang dengan keterampilan di bidang lain. Termasuk keterampilan untuk memahami spesifikasi sirkuit Veritasensor.

"Kapten, coba lihat ini," sahut Semerkhet. Kertas itu ia sorongkan ke depan Sanomat, yang dalam beberapa detik segera terlihat sama bingungnya.

Itu bukan gestur kegagahan. Melainkan gestur kebodohan. Kamu cekikikan dalam hati. Untung bibirmu tidak ikut. Bahaya sekali kalau sampai begitu. Pasalnya, Sanomat terus bertukar pandang antara kamu, dari kepala sampai kaki, dengan kertas di depannya itu.

Ia menggeleng beberapa kali ke arah Semerkhet. Pasti itu kode lagi. Kamu benci menjadi pihak yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Sejurus, kertas berisi spesifikasi Veritasensor itu mendarat di saku celana Sanomat. Kaubayangkan bokong penuh lemak itu menguarkan keringat, yang kemudian merembes lewat dua lapis celana, lalu merusak goresan demi goresan tinta yang mengukuhkan keberadaan mahakarya adiluhung timmu. Ah. Betapa menyedihkan rasanya. Kamu harus pulang ke markas, membuat salinan keras yang baru, dan mengelap keringat Sanomat jauh-jauh dari imajinasi kotormu. Kedua, barulah kamu berharap agar Sanomat tidak menyalahgunakan kertas itu--hei, bukankah itu tidak mungkin?

"Sidik jarinya bagaimana?" sembur Sanomat, menyadarkanmu dari angan yang mulai melantur.

Kali ini, Solomat yang angkat bicara, "Bukan dia. Sidik jarinya beda, Kapten."

Sanomat mengangguk-angguk. Dua jari tangan kanannya menyiku di bawah bibir. Terpancar aura sok tahu yang tiada banding.

"Lepaskan dia. Dia bersih," titah Sanomat.

Napasmu yang berikut segera kaubuang lampias-lampias. Kamu ingin segera memuja seluruh pengadang langit mulai dari komet Halley sampai Osiris, dari satelit Cassini sampai burung dodo, dari Carrie Fisher sampai Heath Ledger. Namun, kauurungkan niat itu karena takut terlihat seperti bocah laki-laki yang norak. Sebagai gantinya, kamu hanya menunduk; berlutut sebelah sambil membereskan ranselmu yang tadi diacak-acak Semerkhet, sambil menepis-nepis debu di kaki celana dan sepatumu.

"Tunggu, Anak Muda," desis Sanomat. Ia menunjuk-nunjuk laci, sambil berbisik-bisik pada Zigurat. Topi bulunya naik turun waktu ia menengadah-menunduk bergantian di balik salah satu daun pintu lemari. Tak lama, ia keluar dengan sebelah tangan menggenggam selembar berkas. Sudah agak menguning, terlipat empat simetris. Ia sodorkan padamu. Telak. Kamu nyaris terjengkang oleh hantaman telapak tangannya, yang seolah dibingkai lima jempol.

"Kamu beruntung, masih ada yang mau mencetak berkas semacam ini di dunia serbadigital yang katanya eco-green ini. Seharusnya berkas ini bisa kauunduh dari gawaimu saja. Tapi, sudahlah. Anggap saja itu hadiah dari kami."

"Te-te-te...."

"Sudah, sana pergi. Begitu saja gagap."

"T-teri-ri-ma k-k-ka...."

Sanomat tak peduli dengan kegagapan yang tiba-tiba menyergapmu tanpa permisi.

"Pasukan, angkut mayat ini. Kita cari lagi siapa pembunuhnya."

Dalam sekejap, seluruh ruangan dibereskan hingga resik oleh mereka bertiga. Mayat Margana kini terbungkus rapi dalam terpal dua lapis. Beberapa lembar kertas dan spesimen di ruangan telah terkemas dalam beberapa kantong plastik dan plastik obat, semua terkunci rapat dengan segel berlogo emblem negara: burung kakaktua belang merah kuning berjambul empat susun, dengan daun mapel terikat di salah satu kakinya. Tanpa menoleh lagi untuk permisi, mereka berempat (berlima, jika tubuh Margana dihitung) berlalu lewat pintu yang kamu pilih (dengan keliru) tadi. Suara mereka semakin sayup, semakin sayup, sebelum akhirnya semua lenyap, meninggalkanmu sendirian.

Kesendirian yang sungguh bebas, kali ini.

Kamu bernapas lega sekali lagi, sambil mundur ke pintu tempat tadi kamu masuk.

Lalu berlari sekencangnya menuju stasiun metrokapsul.


Berterimakasihlah kepada keempatnya--Sanomat, Zigurat, Solomat, dan Semerkhet.

Tarik napas dulu sebelum melipir ke [32].

DOCUMENT RETRIEVED: Salinan daftar riwayat hidup Profesor Tamara Margana. Silakan cek [35] untuk membacanya.

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang