[100]

71 1 0
                                    

        

Dengan bantuan papan kambang, kamu dan Deev hanya butuh semenit untuk menempuh jarak dari pintu gerbang sampai ke rumah dedalu. Semak dan perdu pendek sempat beberapa kali tersangkut di sepatu kalian, tetapi tidak sampai menjatuhkan, apalagi sampai membuat mesin papan mati.

"Itu, rumahnya," tunjuk Deev. "Untung tadi kamu bilang. Gilles memang cukup sering kirim paket kemari. Terakhir minggu lalu. Coba kita lihat."

Serentak, kalian turun dari papan. Deev membuka kunci pintu. Kuncinya cukup aneh, karena harus diputar tiga kali--lazimnya, pintu di Augariana hanya berkunci dua. Setelah kalian menyandarkan papan yang terlipat ke sisi dalam kosen pintu, Deev mempersilakanmu duduk. Padahal tidak ada kursi di ruang yang tepat berada di balik pintu. Hanya ada karpet dan lorong sempit. Sinar matahari yang masuk lewat jendela, memendarkan bayangan serupa garis merah lurus membentang di lantai, seperti pola karpet. Ada juga garis-garis kecokelatan, seperti bekas tempelan karpet.

Mungkin seseorang baru mengubah tata letak perabotan di sini.

"Ini, paketnya," ujar Deev. Ia menggendong sekardus sedang, seukuran dua puluh satu senti kali tiga puluh dan tiga puluh senti, erat di dadanya. Kardus itu ia letakkan di lantai, tepat di sebelah kirimu. Debamnya tidak keras. Dugaanmu, kebanyakan isinya cuma kertas.

Tanpa menunggu perintah, kamu membuka tutupnya.

Tepat sekali. Cuma serakan kertas-kertas. Penuh berjejalan dari bawah sampai atas. Begitu kamu buka seluruh tutup sampai tuntas, beberapa lembar kertas beterbangan. Deev menatap kosong sebentar, lalu ganti menatapmu. Dengan tatapan yang nyaris sama kosongnya.

"Kamu yakin informasi yang mau diberitahukan Gilles ke Anumet itu ada di dalam sini?"

"Bawa saja mana informasi yang kira-kira penting," tukas Deev.

"Semua? Yakin?"

"Ya jangan! Gimana bawanya?"

"Nah makanya. Kita mau cek ini semua? Sekardus penuh?"

"Waktu kita masih banyak," sahut Deev lagi, sambil menunjuk ke arah jendela. Di rumah itu tidak ada jam, tetapi kamu yakin saat ini masih tak jauh dari pukul empat atau lima siang. "Sebetulnya Brekit sempat mau mengirimkan banyak dokumen. Rata-rata titipan dari Gilles. Gilles rutin ke sini, makanya dia nitip."

Kamu mengindrai usaha Deev untuk berbelok dari sesuatu.

"Jangan bilang dokumen itu hilang saat penggerebekan."

"Itu, kamu sudah tahu. Beberapa terlambat diselamatkan Anumet dan Brekit. Ada yang keburu datang ke sana. Bunuh mereka. Bakar semua yang belum dipaketkan ke sini. Yang di depan kita ini," ujarnya, menunjuk kardus yang tengah kamu bongkar, "berisi dokumen terakhir yang sempat mereka selamatkan."

Kamu dan Deev membagi tugas. Deev mencari dan mengambil semua dokumen yang memuat kata efbiai dan siaie, sementara kamu kebagian semua dokumen yang memuat kata anti, panel, atau Veritasensor.

Entah sudah berapa menit atau berapa jam kalian menyortir, langit masih terang, dan kamu menemukan beberapa lembaran spesifikasi tumbuhan.

"Di sini ada kebun efbiai?"

"Di mana?" sahut Deev tanpa menoleh.

"Di sini. Katanya kertas ini, di perbatasan Quantaria dan Pravdanest ada banyak kebun efbiai. Ada petani yang membudidayakannya di...."

"Rumah dedalu?"

Kalian berpandangan. Jadi selama ini Deev tidak tahu nama tumbuhan yang ada di halaman rumah dedalu? Atau....

"Aku tahu. Jelas aku tahu pohon efbiai itu seperti apa. Gilles memang sering kemari. Untuk dua hal."

Kamu menelan ludah. Ingatan pahit bangkit kembali di kerongkonganmu, menjalar ke dalam kepala. "Aku tahu yang satunya," ucapmu. Kamu melirik sekilas ke Deev. Giliran ia membalas, kamu membuang muka. Kamu tak ingin ia melihatmu berkaca-kaca.

"Yang satunya, karena.... Profesor Tamara mengejar-ngejarnya."

Kamu melongo dengan rahang tergelantung.

"Jangan bilang ini ke Kirkin," ujarnya, melanjutkan penyortiran sambil menjejalkan beberapa lembar kertas ke ranselnya, "kita bisa disate. Kita bisa kehilangan akses ke Gudang Otak."

Kamu rasa inilah waktunya."Karpet, perabotan... baru digeser? Ada apa...."

Deev menatap berkeliling. Ia diam cukup lama, sebelum mendengus.

"Zsolt."

Ia merapatkan telunjuk ke bibir. Sebelah telunjuknya menunjuk ke garis karpet.

Kepingan teka-teki tentang ini semua, yang sejak awal berbaris di kepalamu, kini mulai tersusun rapi. Namun yang satu ini....

"Jangan sekarang. Tunggu."

Tinggal menunggu sekeping jatuh, menimpa yang lain, berdomino.

*

Langit ungu menyilakan malam tiba. Turun dari papan masing-masing, Deev memilih jalan duluan. Tiba di persimpangan, seraya menghadap lurus ke arah bangunan tusuk sate, Deev melongo. Kamu, yang penasaran, mengikuti arah pandangannya.

"Lapaknya tutup."

Kamu berlari menghampiri Deev. Benar. Lapak tempat kalian meminjam papan tadi sore, kini sudah rata dengan tanah dan tembok. Cuma ada lampu jalan yang menerangi trotoar kosong. Tidak ada jejak bahwa di situ pernah ada lapak penyewaan papan kambang. Kamu mencolek Deev, tetapi ia bergeming. Ia menggeleng-geleng. "Jangan-jangan nenek tadi bisa teleportasi."

"Bukankah teleportasi belum dibenarkan dalam ajaran fisika kita?"

Deev menyahut, "Nah. Apa mungkin dia digaruk pemerintah?"

"Itu mungkin. Bisa juga dia dibunuh. Otaknya diambil. Lalu mayatnya dibuang ke jalanan."

"Jadi papan ini?"

"Kita bawa saja dulu."

"Bawa ke mana? Bawa tidur?"

"Ke mana lagi?"

"Tidur di jalan?"

"Di tempat bernaung. Mana saja."

Justru, tempat bernaung terdekat ada tak jauh dari tempat kalian berdiri. Belasan tahun lalu, pastilah itu bekas halte metrobus premium, yang kemudian disulap menjadi tempat pemberhentian taksi kapsul. Di masa perang, pastilah tempat ini tidak ada gunanya. Paling maksimal, ia digunakan sebagai tempat tidur darurat para prajurit.

Kamu memilih bernaung di bawah sana, tepat di bawah tempat duduk yang sangat-sangat tipis itu. Kaulepaskan ransel, kaugunakan sebagai bantal. Kamu pasangi gembok di dua pasang ritsletingnya, demi melindungi seperangkat dokumen bocoran spesifikasi anti-Veritasensor di dalam sana. Papan kambang kalian--ada dua--kamu sampirkan ke tiang terdekat. Deev berbaring di sebelahmu. Ia mengambil sikap yang sama. Hanya saja posisinya di luar, demi melindungimu, katanya.

Entah mengapa, di sana kamu sulit tidur.

Deev sudah terlelap.

Kamu memutuskan menghitung jumlah prajurit topi bulu ayam yang melompati pagar.

Satu, dua, tiga, empat....


Tidurlah di tempatmu sekarang, lalu bangunlah di [107].

Conundrum AproposTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang