Part 5

3.9K 162 5
                                        

Malam itu di saat semua orang tengah terlelap, Via masih asik dengan laptopnya. Jemarinya masih lincah menari diatas keyboard untuk menterjemahkan cerita yang mengalir deras di pikirannya. Kedua mata lentiknya masih cerah bersinar mengalahkan cerahnya cahaya layar laptop di hadapannya. Sebungkus keripik kentang menemaninya terjaga diruang tengah tempat ia tinggal. Kedua telinganya masih tersumpat oleh headset yang tersambung ke laptop.

Kerik daun pintu salah satu ruangan yang terbuka sama sekali tak terdengar oleh telinganya yang tersumbat. Derap langkah tak beralas mendekati tempatnya berkonsentrasi.

Via sedikit terkejut saat ia rasakan seseorang menyentuh bahunya dengan lembut. Dilihatnya kebelakang, dan terlihat mamanya sedang berdiri sambil memegang segelas susu coklat di tangannya. Dilepasnya headset dari kedua telinganya dan menerima apa yang Mamanya itu sodorkan kepadanya.

"Nih kamu minum. Mama buatin yang anget. Habiskan." Ucap Bu Tari sambi menyerahkan segelas susu coklat kepada anaknya.

Via menerima dengan senang hati susu coklat pemberian mamanya itu. Meminumnya sedikit lalu meletakannya di sudut meja. Ia tak menghiraukan kemana mamanya beranjak setelah menyerahkan susu itu. Ia hanya melanjutkan apa yang sedang ia kerjakan.

"Kamu kenapa gak seriusin aja sih jadi penulis novel. Sepertinya itu lebih baik buat kamu. Mama sama papa akan mendukungmu sepenuhnya." Ucap Bu Tari saat ia sudah duduk di sofa ruang tengah yang tak jauh dari meja kerja anaknya.

Via tak banyak merespon perkataan Mamanya dan tetap melanjutkan aktivitasnya.

"Kamu mau nerbitin novel kamu? Tinggal bilang aja. Nanti mama bilang ke papa buat ngasih kamu uang untuk modal cetak dan penerbitan."

Sekali lagi tak ada tanggapan dari Via.

"Atau kamu mau laptop baru? Yang kamu pakai itu sepertinya sudah waktunya diganti. Modelnya sudah cukup kuno. Nanti Mama bilangkan ke papa biar dibelikan yang keluaran terbaru ya.."

Via memejamkan kedua matanya erat-erat mendengar mamanya tak henti berbicara dengannya.

"Apa kamu gak capek kerja di bioskop.. Papa kamu bisa kasih kamu pekerjaan yang jauh lebih baik dari itu.. kamu tinggal minta aja.."

Tarian jemari Via terhenti sepenuhnya. Hembusan nafas beratnya terdengar lirih dari balik kepalanya yang tertunduk.

Bu Tari yang melihat itu, menatapnya dengan tatapan berharap bercampur sedikti cemas.

"Ma.. pliss.. jangan ungkit-ungkit pekerjaanku.. kenapa mama selalu menyuruhku untuk berhenti dari pekerjaan itu disaat aku sedang menikmatinya?" Ucap Via setelah ia putar kursi kerjanya menghadap kearah mamanya.

"Bukannya begitu sayang.." Jawab Bu Tari.

"Lalu kenapa? mama malu aku bekerja sebagai Ticketing Bioskop saat Papa sudah sukses dengan perusahaannya?" UCap tegas Via.

Bu Tari tak mampu berkata banyak saat mendengar ucapan anak semata wayangnya itu. Wanita paruh baya yang sudah berpakaian piama itu hanya mampu menatap ekspresi anaknya yang terlihat sedikit kesal.

"Bukan gitu maksud mama sayang.." Bu Tari berjalan mendekat dan mendekap kepala Via di dadanya.

"Maafkan mama ya. Mama gak bermaksud memandang remeh kamu, mama hanya ingin kamu tau kalau keluarga kita mampu membuatmu lebih baik tanpa kamu harus bekerja keras seperti ini.."

"Aku ngantuk ma. Via mau tidur dulu ya ma. Terimakasih susu coklatnya." Ucap Via yang lekas melepas dekapan mamanya dan beranjak menuju ke kamarnya di lantai 2 rumah yang cukup besar dan luas itu.

Malam semakin larut. Bintang malam hilang tertutup kabut tipis yang semakin menebal. Dingin yang menusuk, memaksa para hewan malam kembali kelubang peraduannya.

****

"Mana Via ma?" Tanya Pak Andi saat ia sudah duduk di meja makan bersama dengan istrinya.

"Viaaa.. Ayo turun, sarapan dulu sayang.." Teriak Bu Tari yang terdengar cukup jelas dari semua sudut rumah.

"Iyaa.. sebentar.." Via menjawab dengan suara samar dari balik ruangan yang tertutup.

Beberapa saat berlalu. Semua hidangan telah tersaji di meja makan.

"Papa dengar kamu mau menerbitkan bukumu segera ya?" Ucap Pak Andi memecah keheningan saat mereka bertiga tengah menikmati sarapan.

Bu Tari memandang suaminya dengan senyum tipisnya terlukis di wajahnya.

"Pengennya gitu pa, tapi Via masih ngumpulin uang buat biaya penerbitan. Doakan segera terkumpul dananya ya pa.. Lagian sejauh ini belum ada Penerbit yang tertarik untuk mensponsori." Ucap Via.

"Hm.. gitu.. Emanya berapa biaya untuk menerbitkan bukumu itu?" Tanya Pak Andi.

Bu Tari kembali tersenyum mendengar perkataan suaminya itu.

"Mm.. Via belum tau pasti sih pa. Harus dihitung lagi. Mungkin sekitar 20 Juta."

Bu Tari semakin melebarkan senyumnya. kaki kanannya sedikit menyentuh-nyentuh kaki suaminya.

"Lalu gaji mu sekarang berapa?" Lanjut Pak Andi.

"Masih 2 juta pa." Jawab singkat Via.

Pak Andi dan Bu Tari diam sejenak. Bu Tari hanya tersenyum-senyum sambil memandang suaminya dengan tatapan penuh harap.

Pak Andi pun hanya diam dan melanjutkan sarapannya dengan ekspresi yang terlihat sedikit berfikir.

"Kalau papa hitung. Kamu butuh sekitar 1 tahun untuk dapat menerbitkan buku itu tanpa sponsor. Jadi kamu harus lebih giat bekerja dan berhemat agar uangnya segera terkumpul."

Bu Tari seketika terdiam mendengar ucapan suaminya itu. Matanya membulat dan mulutnya sedikit menganga. Ia seakan tak percara apa yang barusaja diucapkan suaminya itu.

"Papa kok ngomong gitu sih..!" Ucap Bu Tari dengan nada sedikit mengeras.

Pak Andi yang merasa tak melakukan kesalahan, lantas memandang istrinya dengan tatapan penuh tanya.

"Lho kenapa Ma? Ada yang salah dari ucapan papa?

"Papa kok nyuruh Via bekerja lebih giat dan menabung??"

"Lalu?" tanya Pak Andi lagi yang masih tetap dengan ekspresi tak bersalah.

Via yang mendengar percakapan mereka juga merasa kebingungan dan heran akan apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya itu.

"Papa tega anak kita satu-satunya kerja keras siang malam buat hanya ngumpulin uang 20 juta?!" Ucap tegas Bu Tari yang mendapat perhatian penuh Pak Andi dan Via yang sudah menghentikan suapan mereka.

"Papa gak kasian apa liat dia tiap hari pulang malam?" Lanjut Bu Tari.

"Itu kan keinginannya Via sendiri ma. Dia ingin menerbitkan bukunya dengan usahanya sendiri. Apa itu salah?" Jawab pak Andi.

"Papa kan bisa aja bantu dia. Apa sulitnya sih ngasih uang 20 juta ke anak sendiri!" Perasaan Bu Tari mulai campur aduk dan wajahnya mulai sedikit memerah karena kesal.

"Kalau dia sanggup, kenapa kita ikut campur. Biarkan saja dia berusaha dengan kemampuannya sendiri."

"Papa keterlaluan!"

Bu Tari lekas meninggalkan meja makan dan berjalan entah kemana. Dari langkahnya terlihat kekesalan yang sudah ingin meletus dihadapan suami dan anaknya.

Via dan Pak Andi tak sanggup berkata. Mereka hanya saling melempar pandangan dan setelah itu kembali melanjutkan sarapan mereka seperti tak terjadi apa-apa.


---------------------------

Halo.. Terimakasih masih membaca hingga kini.. Selamat menikmati...

Saran dan Kritiknya jangan lupa ya...

Dear Boss's DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang