.
.
.#-#-#
" Nyonya Kouko ingin bicara denganmu. Dia menghubungiku dan bilang kalau mereka sudah menemukan Youren."
Arina mengangguk menanggapi ucapan Darka. " Begitu," gumamnya pelan.
" Kamu mau bicara dengannya, kan?" Darka mengulang kalimatnya.
Alis Arina tertukik, merasa aneh dengan pertanyaan Darka. " Aku nggak bisa bahasa Jepang, asal Om tahu."
Darka berdecak. " Dia bisa bahasa Indo, Rin."
" Oh, boleh deh kalo gitu."
Darka menatap gemas pada teman putranya itu. Dia sudah mengenal Arina sejak gadis itu menjadi teman sekolah Tama, putranya saat sekolah dasar, dan ia tahu watak keras kepala Arina. Selain keras, Arina juga selalu berbicara terang-terangan dan kadang membuat orang lain salah paham atau sakit hati dengan ucapannya. Arina selalu terlihat cuek dan masa bodoh dengan sekitarnya, tapi Darka tahu bahwa gadis itu adalah orang yang sangat peka terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Arina selalu cepat tanggap dalam menangani situasi apapun, gadis itu selalu punya solusi saat memiliki masalah atau semacamnya. Otak cerdas dan kepekaan dirinya sangat berguna di setiap keadaan. Namun hal itulah yang menjadi alasan Arina bersikap sok cuek, ia tidak mau ikut campur dengan urusan orang lain jika hal itu hanya akan membuat dirinya dimanfaatkan. Ia tidak suka jika ada orang lain yang memanfaatkan dirinya hanya untuk kepentingan mereka.
" Aku sudah mengirim nomormu ke Nyonya Kouko, mungkin nanti dia akan meneleponmu."
" Hm." Sekali lagi Arina hanya mengangguk.
" Kamu kenapa, sih? Kayaknya suntuk banget?"
Darka merasa gemas melihat Arina yang sok cuek di depannya. Biasanya, meskipun Arina sering bersikap dingin pada orang baru, dia akan menjadi pribadi yang sangat ramah dan hangat pada orang yang sudah kenal dekat dengannya atau jika Arina merasa cocok dengannya. Dan bukan kebiasaan Arina bersikap seperti sekarang ini di depan Darka.
" Masalah ibumu? Apa lagi kali ini?"
Darka bisa menebak alasan kenapa Arina berwajah murung saat ini. Sejak dulu, Darka tahu bahwa Arina sering mendapat tekanan dari orang tuanya dalam hal apapun. Mulai dari sekolah,pergaulan, bahkan kegiatan sehari-harinya dipantau secara menyeluruh oleh sang ayah. Dan ternyata, meskipun sang ayah sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, Arina nyatanya masih mendapat tekanan dari ibunya yang selalu menuntutnya untuk melakukan ini dan itu. Darka tidak terlalu mengerti dengan sikap orang tua Arina pada anak-anaknya, tapi entah kenapa ia merasa hanya Arina yang selalu mendapat tekanan dari kedua orang tuanya.
" Om, main, yuk?" ajak Arina tanpa menjawab pertayaan Darka.
Inilah hal yang selalu dilakukan Arina setiap kali ia merasa frustrasi. Pergi dari rumahnya dan tidak akan kembali sampai emosinya reda. Dan sepertinya Darka harus menemani gadis itu saat ini.
" Ke mana?"
" Taman bermain."
#-#-#
Segelas kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas diletakkan tepat di depannya. Arina memandang gelas itu dengan tatapan menerawang, lalu kepalanya menoleh ke arah seberang jalan, di mana terlihat sebuah gerbang gedung sekolah yang sejak tadi menjadi obyek fokusnya.
" Neng sendirian di sini? Nungguin orang, ya?"
Seorang ibu-ibu yang menjadi pemilik warung yang ia datangi saat ini tampaknya mencoba berbincang dengannya. Arina tersenyum sebelum menjawab pertanyaan ibu bertubuh gempal itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Death Line
Action. . . [15+] . . . Hidupnya abu-abu. Itulah yang ia sadari sejak dulu. Dan tidak akan berubah, entah sampai kapan. Karena ia memang tak menginginkan perubahan, dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Namun tiba-tiba saja, ia mendapati j...