.
.
.#-#-#
Tampak sosok tiga orang yang terduduk diam di sofa. Ryuu, Adler, dan Farren sedang berada di ruang tengah rumah Ryuu. Ketiganya tampak berpikir keras dengan raut serius yang kentara.
" Shougo bilang nggak ada yang bisa menghentikan Arina."
Farren berujar gusar. Sesekali ia mengusap wajahnya frustrasi.
" Sejak dulu memang nggak ada yang bisa menghentikannya," timpal Ryuu dengan nada pelan. " Aku nyoba nelepon Kak Natha, tapi dia juga nggak tahu cara menghentikan Kak Rin kalau udah kayak gitu."
" Tapi ini udah tiga hari. Dan selama itu dia...."
Adler mengarahkan tatapannya pada tangga menuju lantai atas. Seolah berharap melihat sosok menjengkelkan Arina muncul di sana. Ada seseorang yang berjalan turun dengan tergesa, tapi bukan Arina.
" Avena."
Avena yang baru sampai di lantai bawah menghela napas panjang. Setelahnya, ia menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan tanpa kata yang dilontarkan Ryuu melalui tatapan mata.
" Belum. Dia bilang belum selesai. Aku akan kembali ke kantor Black Hawk sekarang. Ada beberapa hal yang harus kuselidiki lagi. Ryuu, aku minta izin menggunakan ruang monitor sampai besok."
Ryuu hanya mengangguk menanggapi. Dan tanpa menunggu lama, Avena melesat pergi dari sana. Jelas terlihat sedang diburu oleh Arina untuk mencari sesuatu. Atau sebenarnya mereka sudah menemukan sesuatu tapi kini sedang merencanakan hal lain?
" Arina bilang dia akan menyerahkan semuanya pada polisi dan badan intelijen, tapi sepertinya dia nggak yakin semuanya akan cepat selesai. Karena itu dia berusaha menyelesaikannya sendiri."
" Tapi memangnya apa yang sebenarnya dia lakukan di ruang monitormu, Ryuu?" tanya Adler penasaran.
Sudah tiga hari ini Arina berada di ruangan penuh monitor di lantai dua rumah Ryuu. Gadis itu hanya keluar untuk keperluan penting saja, selebihnya ia berada di depan komputer entah mengerjakan apa. Ryuu sendiri tidak berani mengusiknya. Sejak Arina mendapat telepon dari Raymond saat itu, gadis itu hanya bicara seperlunya dan memilih menongkrongi laptopnya. Hingga tiga hari yang lalu Arina memilih meminjam ruangan Ryuu untuk melanjutkan kegiatannya.
" Mau lihat?" tawar Ryuu.
" Boleh?"
Ryuu mengedikkan dagu, memberi isyarat agar Adler dan Farren mengikutinya. Ketiganya sampai di lantai dua, dan mendapati ruangan monitor Ryuu dibiarkan dalam keadaan pintu terbuka. Bisa mereka lihat sosok Arina yang duduk dengan dua kaki dinaikkan ke atas kursi, tatapannya fokus pada monitor besar di depannya. Ada sebuah headphone yang menutupi telinganya, tangan kirinya mengetik dengan gerakan sangat cepat, dan tangan kanannya... sibuk memasukkan keripik kentang ke mulutnya. Terdengar Arina berbicara entah pada siapa dan membicarakan apa, karena suaranya teredam suara berisik keripik yang dilahapnya.
" Selesaikan sendiri. Aku akan terus memantau. Jadi jangan mengacau atau kalian tahu akibatnya."
" Kak Rin."
Anehnya, dengan semua kesibukan Arina, gadis itu bisa mendengar suara Ryuu yang memanggilnya pelan. Terbukti dari ia yang menghentikan kegiatan mengetiknya, lalu menutup sambungan telepon. Arina memutar kursinya sembari masih sibuk memasukkan kepingan keripik ke mulut.
" Ehm, kalian di sini," sapanya.
Ryuu masuk ke ruangan diikuti Adler dan Farren. Mengedarkan tatapannya sekilas, Ryuu memusatkan perhatiannya pada Arina yang hanya mengenakan kaus kebesaran dan celana kargo sebagai pakaian rumahannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Death Line
Action. . . [15+] . . . Hidupnya abu-abu. Itulah yang ia sadari sejak dulu. Dan tidak akan berubah, entah sampai kapan. Karena ia memang tak menginginkan perubahan, dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Namun tiba-tiba saja, ia mendapati j...