.
.
.#-#-#
Hujan masih mengguyur deras, bahkan kini diselingi dengan angin dingin yang tak terlalu kencang. Arina masih berusaha bangkit meski ia merasakan ada yang tak beres dengan punggungnya. Ia menghampiri motornya yang tergeletak mengenaskan dengan langkah sempoyongan, mendorongnya agar berdiri dan kembali menaikinya setelah memastikan tidak ada kerusakan yang berarti pada motornya. Arina menstarter motornya dan mulai melajukannya dengan kecepatan tinggi, berusaha menyusul mobil yang membawa Arya yang sudah menghilang dari pandangan.
Penglihatannya berhasil menangkap mobil itu setelah beberapa menit ia berkendara. Kini mobil hitam itu hanya melaju pelan di sisi jalan. Arina berusaha mendekat, berharap masih bisa menolong Arya yang ada di dalam sana. Akan tetapi, belum sampai ia di dekat mobil itu, si pengendara tiba-tiba kembali memacu mobilnya dengan cepat. Sepertinya dia menyadari bahwa Arina berhasil menyusulnya. Arina mencoba mengejarnya tanpa memerhatikan bahwa ada mobil lain berada tak jauh di belakangnya, melaju menghantam motornya dengan keras.
BRAK!
Arina terpental dari motornya. Tubuhnya terjatuh dan berguling hingga menghantam pepohonan di tepi jalan. Kali ini ia merasakan nyeri yang teramat sangat di seluruh tubuhnya. Kepalanya pening, dan kilatan cahaya menyapa penglihatannya saat kepalanya yang masih mengenakan helm terbentur batang pohon. Sesaat sebelum kesadarannya terenggut, ia samar melihat mobil Arya yang sudah ringsek di bagian depan, menabrak salah satu pohon di seberangnya. Apakah orang-orang itu juga menabrak mobil Arya?
" Om Arya. Maaf..."
#-#-#
BUGH!
Orang yang dipukulnya jatuh, namun masih sadarkan diri. Arina mendesis pelan sembari menyisir rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai menggunakan jemarinya, mengarahkannya ke belakang telinga. Ia berjongkok, menarik bahu pria yang tersungkur di lantai semen itu agar berbalik dan memandangnya.
" Siapa yang menyuruhmu menembaknya?" tanyanya pelan seraya menepuk pipi pria itu beberapa kali menggunakan punggung tangan.
Orang-orang yang ada di tempat itu menatap Arina ngeri. Meski sejak datang ke sana Arina tidak menampakkan raut kemarahan di wajahnya, tapi orang-orang itu tahu bahwa suasana hati Arina benar-benar buruk saat ini. Mereka adalah anak buah Frederic yang memilih mematuhi Arina, orang-orang yang mengurus pemindahan senjata ilegal beberapa jam yang lalu. Saat Arina tahu kalau mereka membakar gudang Frederic setelah sebelumnya menembak salah satu rekan mereka sendiri-walaupun pada awalnya niat mereka tidak seperti itu-, Arina segera menyuruh Neron mengumpulkan mereka di tempat ini. Di bangunan ruko kosong yang memang sering digunakan Arina untuk menemui para informannya.
" Kenapa kalian membuat masalah, hm? Aku biarkan kalian membelot dan datang padaku, tapi kalian malah mengacaukannya. Jadi, apa yang harus aku lakukan?"
BUGH!
Lagi. Kali ini Arina memukul wajah salah satu dari orang-orang itu yang tadi mengaku bahwa dirinya yang membakar gudang Frederic. Pria bertubuh besar itu oleng sesaat, dan setelahnya hanya berdiri menundukkan kepala, tak berani melawan Arina.
" Aku sudah memberitahu agar tidak membuat kekacauan, kan? Kalian sudah lupa? Atau tidak dengar waktu aku bilang begitu?"
" Tapi polwan itu menghalangi kami!" seru salah satu dari mereka yang bertubuh ceking.
" Dan kalau dia menghalangi, apa kalian harus membunuhnya di sana? Begitu?"
Pria yang berseru tadi seketika beringsut mundur saat Arina menghampirinya. " Ti-tidak."

KAMU SEDANG MEMBACA
Death Line
Acción. . . [15+] . . . Hidupnya abu-abu. Itulah yang ia sadari sejak dulu. Dan tidak akan berubah, entah sampai kapan. Karena ia memang tak menginginkan perubahan, dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Namun tiba-tiba saja, ia mendapati j...