.
.
.#-#-#
Yang pertama kali dilihatnya adalah lampu yang menempel di langit-langit ruangan. Lalu ketika indra penciumannya kembali, hidungnya menangkap aroma kuat dari pembersih yang bercampur dengan pengharum ruangan. Kepalanya nyeri dan tubuhnya terasa berat. Ia bahkan mencoba menggerakkan lengannya, namun seperti ada yang menahan usahanya. Mata cokelatnya memindai, dan sedetik kemudian ia sadar di mana dirinya sekarang. Helaan napas lelahnya terurai, dan tiba-tiba dadanya nyeri. Ia mengingat kejadian itu.
" Kamu sudah sadar? Syukurlah. Om panggilkan dokter dulu."
Tanpa perlu menoleh, ia tahu siapa yang bicara. Dan ia enggan memberi respon apapun. Sampai pria itu kembali dan berdiri di samping ranjangnya, ia tetap bergeming.
" Dokternya masih perjalanan ke sini. Sebenarnya dia udah pulang tadi karena shiftnya udah selesai, tapi waktu denger kamu sadar dia langsung mau balik ke sini. Jadi tunggu, ya."
Ia diam, mendengarkan semuanya sambil lalu. Pikirannya terus melayang pada malam kejadian itu, dan rasa menyesakkan di dadanya semakin menguat. Kerongkongannya kering, dan rasanya ada yang mencekik lehernya.
" Kamu nggak sadarkan diri selama tiga hari tiga malam, tapi syukurlah kalau kamu bangun sekarang. Om takut sekali waktu lihat kamu dalam kondisi seperti itu."
Berhenti. Ia ingin orang itu berhenti berbicara padanya. Ia tidak ingin mendengar apapun, ia tidak ingin bersama siapapun. Tapi suaranya tidak keluar, ia tidak bisa bicara.
" Tenang aja. Ibumu dan Pak Hari nggak tahu masalah ini. Kamu cukup melakukan perawatan dengan baik dan bisa pulang tanpa luka. Oke?"
Pergi. Dia ingin orang itu pergi.
" Permisi."
Ada suara lain. Disusul suara langkah kaki asing yang mendekat ke arahnya. Matanya terpejam kuat sesaat, lalu ia menghembuskan napas panjang lewat mulut.
" Selamat malam, Arina. Saya dokter yang merawat kamu. Nama saya Yudha. Salam kenal."
Lalu berbagai macam pemeriksaan basa-basi dilaluinya dengan diam. Ia tidak menjawab pertanyaan dokter itu dan hanya sesekali menganggukkan kepala.
" Bahu kiri kamu cedera, jadi untuk sementara jangan terlalu banyak digerakkan dulu. Kalau ada keluhan lain, kamu bisa bilang pada saya."
Arina hanya mengedipkan mata untuk menjawab perkataan dokter muda itu. Sesaat setelahnya, Arina bisa mendengarkan obrolan dokter Yudha dengan orang yang sejak tadi menemaninya, Darka.
" Dia memang agak pendiam," ujarnya menjelaskan sikap tak acuh yang ditampakkan Arina.
Yudha tersenyum, lalu mengangguk paham. " Tenang saja. Mungkin dia masih shock, kita lihat perkembangannya nanti."
Darka mengangguk paham. Setelah sang dokter berlalu, ia kembali menghampiri ranjang Arina dan melihat mata gadis itu yang tampak sayu. " Kamu ngantuk?"
Arina mengedipkan mata.
" Ya udah, kamu tidur aja lagi. Om keluar dulu, ya? Belum makan malam soalnya."
Arina diam tak menanggapi. Darka mematikan lampu ruangan dan menyisakan penerangan pada lampu kecil yang menempel di sudut dinding kamar rawat. Sesaat kemudian, Arina mendengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali, menandakan Darka sudah pergi dari ruangannya.
Kepalanya tertoleh ke arah jendela kaca di sebelah tempat tidurnya. Matanya mengerjap pelan, dan tubuhnya secara reflek bangun dari ranjang. Kakinya yang terasa lemah dipaksakannya untuk turun, setelah sebelumnya ia mencabut selang infus yang menempel di lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Death Line
Action. . . [15+] . . . Hidupnya abu-abu. Itulah yang ia sadari sejak dulu. Dan tidak akan berubah, entah sampai kapan. Karena ia memang tak menginginkan perubahan, dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Namun tiba-tiba saja, ia mendapati j...