Line -10-

732 55 0
                                    


.
.
.

#-#-#

Arina menatap bingung pada Darka yang duduk di depannya. Neron dan Shougo duduk dengan posisi mengapit pria itu. Ia merasa tengah menjalani sebuah wawancara kerja saat ini. Melihat dari ekspresi serius dan tegang yang sejak tadi ditampilkan ketiganya.

" Ada apa?" tanya Arina tanpa basa-basi.

" Kami sudah menjadwal ulang kegiatanmu. Sesuai keputusan rapat kami dan Chandra, kami membuat daftar kegiatan harian yang wajib kamu ikuti."

Arina mengernyitkan kening saat mendapati lembaran kertas berisi daftar jadwal yang disebutkan Darka barusan. Jadwal yang ditulis secara rinci bahkan hingga jam mulai dan berakhirnya.

" Olahraga? Bela diri?"

" Neron akan bertugas sebagai instrukturmu selain menjadi bodyguard, sedangkan Shougo dan Chandra akan menjadi tutormu dalam kelas bisnis. Jadwalmu sudah diatur sedemikian rupa, dan pekerjaanmu bukan hanya menjadi asisten abal-abal Chandra saja, tapi kamu juga akan menjadi murid khusus Shougo di beberapa waktu."

" Gila," desis Arina pelan. " Kenapa aku harus jadi asisten GM juga? Aku yakin Shougo nggak memerlukanku di kantor."

" Ini keputusan kami. Toh, kamu masih bisa membantu di toko ibumu atau berkunjung ke kafemu. Kamu masih banyak waktu luang, Rin."

" Tapi..."

" Atau aku harus mendaftarkanmu buat kuliah?"

Arina bungkam. Menatap jengkel pada Darka yang tersenyum ke arahnya.

" Terserah!"

Darka hanya terkekeh melihat raut jengkel Arina. Pria itu mengambil kembali kertas berisi daftar kegiatan gadis itu.

" Kamu udah hafal, kan?"

" Hm."

" Oh ya, untuk kelanjutan kasus Raiden, Arya bilang dia ingin bertemu denganmu. Dia akan datang ke sini besok."

Arina mengangguk menyahuti ucapan Darka. " Ya. Aku tunggu besok."

" Kamu tahu kan, kalau Jeanny sekarang akan mengincar Arya?"

Raut wajah Arina yang semula jengkel berubah mengeras. Bibirnya menipis. " Aku tahu," ia membuang napas. " Dan aku nggak akan membiarkan dia melukai Om Arya."

#-#-#

Tatapan Natha mengedar. Memerhatikan suasana ramai di ruangan luas berdesain minimalis itu. Ada beberapa orang di sana, mengobrol dengan suara berisik dan saling bersahutan. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa terjebak di tempat ini, karena seingatnya ia hanya mengikuti ajakan Tama, sepupunya yang secara tiba-tiba mengajaknya untuk pergi menemui teman-temannya. Ah, benar. Sepupunya itu bilang akan mengajak Natha ke rumah Arina tadi, mungkin karena hal itulah ia bisa sampai di tempat ini. Lantai dua kafe milik Arina yang pernah ia datangi.

" Jadi, Kak Natha beneran sepupunya Hutama?"

" Nggak usah nyebut nama panjang gue juga, Bego!"

Natha memandang heran pada sepupunya yang kini menyerang Putra, pria yang baru saja bertanya padanya.

" Ya."

" Kalian beda banget. Kak Natha anteng gini, si Tama barbarnya nggak ketulungan."

Itu komentar Reza yang baru saja meletakkan beberapa mug berisi kopi ke meja. Natha meringis mendengar ucapan teman-teman Arina, karena kini ia tiba-tiba merasa malu menyadari kelakuan Tama. Sepupunya itu memang terkenal sebagai pembuat onar sejak kecil.

Death Line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang