Peringatan! Banyak adegan kekerasan! Diharap bijak ketika membaca bab ini. Terima kasih!.
.
.#-#-#
Beradu fisik atau berkelahi dengan orang lain adalah hal yang paling dihindari Arina sejak dulu. Dan ada beberapa alasan yang mendasari keengganan Arina akan hal itu. Alasan pertama, hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan fisik sangat merepotkan dan melelahkan untuknya. Karena itu dia membuat prinsip sekali-dua kali pukul langsung selesai untuk menyerang lawannya, jadi ia tidak perlu banyak mengeluarkan energi. Yang kedua, Arina kadang sulit mengendalikan kekuatannya sendiri. Kekuatan Arina di sini bukan kekuatan semacam karakter utama anime yang sekali pukul si lawan langsung hancur, namun Arina pernah beberapa kali mematahkan tulang hidung teman laki-lakinya hanya dengan sekali pukul, saat dirinya masih di bangku SD dan ketika di SMP. Lalu alasan yang ketiga, Arina tidak suka jika orang-orang takut padanya hanya karena pernah melihatnya berkelahi. Ia harus menjaga nama baiknya di mata orang-orang di sekitarnya. Karena selalu bersikap terhormat di manapun ia berada adalah perintah mutlak dari orang tuanya.
Sayangnya, sudah beberapa tahun yang lalu Arina membuang semua prinsipnya. Entah prinsip untuk selalu bersikap terhormat, atau prinsip memukul lawan hanya sekali saja. Dan juga, ia sudah tidak peduli jika orang lain takut padanya sekarang. Ia tidak peduli dengan itu semua.
Terlebih lagi, perilaku orang-orang itu nyatanya berhasil membabat habis kesabarannya. Arina memang masih terlihat tenang, namun siapapun yang melihat matanya sekarang akan tahu kalau aura perempuan itu sudah diliputi kegelapan.
" Tuan Edmond dan Tuan Jordan," panggil Arina, suaranya tenang dan dalam. Ia beranjak berdiri lalu memutar tubuh menghadap dua pria itu. " Aku punya beberapa pertanyaan, apa anda mau menjawabnya?" tanyanya.
Edmond dan Jordan saling pandang, tidak paham dengan ekspresi tenang yang diperlihatkan Arina. Mereka sudah menyandera keluarganya, tapi kenapa Arina masih setenang itu?
" Silakan," sahut Edmond tak kalah santai. Berusaha mengabaikan sikap aneh Arina.
" Apa alasan kalian membawa mereka kemari? Apa yang kalian mau dariku?" tanya Arina. Tatapannya tertuju pada Natha. Saat mata keduanya saling bertemu, Arina menyunggingkan senyum manis pada pria itu. Dan Natha membalasnya dengan hal serupa.
" Kamu masih bertanya? Tentu saja karena kamu yang tahu di mana Neron sekarang! Di mana dia?"
Jawaban penuh keangkuhan dari Jordan ditanggapi dengan kernyitan di dahi oleh Arina. Gadis itu diam sesaat sebelum bersuara kembali.
" Jadi Neron, ya? Apa Egil yang mengatakannya ke kalian?" Arina mengusap ujung hidungnya sekilas. " Oke. Aku panggil dia sekarang, tapi lepaskan mereka dulu."
Arina bisa melihat kalau Arsa baru saja sadar. Pemuda itu membulatkan mata terkejut melihat keberadaan kakak kesayangannya di depannya. Tampaknya ia khawatir akan terjadi suatu hal buruk pada Arina.
" Panggil dia kemari! Baru kami akan melepaskan keluargamu."
Arina mengangguk, masih dengan gestur santai. Ia menghubungi sebuah nomor di daftar kontaknya dan menyalakan loudspeaker.
" Halo, Neron?" sapa Arina tepat setelah panggilannya diangkat. " Aku akan menjawab pertanyaanmu beberapa waktu lalu. Bisa bertemu?"
" Anda di mana sekarang?"
Suara berat seorang pria menjawab di seberang sambungan.
" Akan aku kirimkan alamatnya. Segera datang."
Arina mematikan sambungan, lalu mengirim pesan lokasi dirinya saat ini. Bodohnya, Edmond dan Jordan tampak tidak curiga sama sekali. Karenanya Arina yakin kalau Egil tidak menceritakan apapun kebenaran tentang dirinya. Tentang Egil yang sudah beberapa kali gagal saat mencoba membunuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Death Line
Acción. . . [15+] . . . Hidupnya abu-abu. Itulah yang ia sadari sejak dulu. Dan tidak akan berubah, entah sampai kapan. Karena ia memang tak menginginkan perubahan, dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Namun tiba-tiba saja, ia mendapati j...