.
.
.#-#-#
Jari telunjuk Arina mengetuk-ngetuk setir sembari kepalanya mengangguk-angguk kecil. Melirik sekilas ke samping, lalu tatapannya beralih ke arah spion tengah untuk melihat dua orang lain yang duduk di kursi belakang mobilnya. Jinso, Clyde, dan Elaine. Tiga orang yang entah sejak kapan menggeser tugas Neron untuk menjadi pengawalnya. Ini bukan pertama kalinya Arina diikuti banyak pengawal, tapi sayangnya mereka bukan benar-benar pengawal Arina. Dan hal itu membuat Arina tidak leluasa melakukan apapun yang dia inginkan atau rencanakan. Keberadaan orang-orang itu sangat mengganggunya. Tapi dia bisa apa sekarang?
" Jinso, bukannya kamu ke negara ini buat nangkep si Egil?" tanya Arina pada Jinso yang duduk di sebelahnya.
" Males."
" Jawaban macam apa itu?" desis Arina, tak habis pikir dengan ulah Jinso yang selama beberapa hari ini terus mengekorinya.
" Arina benar. Kenapa kamu terus mengikutinya?"
Arina menahan diri untuk tidak tertawa saat mendengar suara Elaine yang berbicara menggunakan bahasa baku. Terdengar lucu sekali.
Jinso hanya mengedikkan bahu tak acuh sebagai jawaban. " Tapi Rin, kita mau ke mana sekarang?"
" Kita?" Arina terkekeh sinis. " Kamu aja yang ngikut-ngikut."
Mereka sampai di sebuah gedung tinggi. Gedung mewah yang digunakan sebagai hotel di beberapa lantainya, bar, restoran, kafe, dan berbagai bisnis lain. Arina menekan tombol lift menuju lantai sepuluh, tempat tujuannya malam ini. Tiga orang berparas asing itu masih mengekorinya, berlagak menjadi pengawal yang hanya menuruti perintah tuannya.
Sebuah bar eksklusif dengan interior mewah adalah tempat yang didatangi Arina. Dua penjaga pintu segera mempersilakannya masuk, berikut dengan para pengawalnya.
" Mewah sekali. Aku baru tahu ada tempat seperti ini di sini."
Clyde berbisik takjub di belakang Arina. Gadis itu hanya tersenyum dan terus berjalan melewati meja-meja yang dikelilingi sofa empuk berwarna marun. Ada beberapa tamu dengan penampilan yang tampak berkelas menikmati gelas-gelas anggur di meja. Tidak ada musik yang menghentak keras, hanya alunan musik jazz yang terkesan tenang sebagai latar ruangan bertabur kemewahan itu.
Sampai di ujung sebuah lorong, Arina dihadang oleh empat penjaga bertubuh kekar. Jinso segera maju memasang badan melindungi Arina.
" Minggir, Jinso."
Jinso menepi sesuai instruksi Arina. Sesaat kemudian Arina mengeluarkan sebuah kartu berwarna abu-abu gelap dari kantong celananya.
" Kalian masih mau menghalangiku?" tanya Arina seraya melambaikan kartu itu di depan wajahnya.
" Ma-maaf, Nona. Silakan."
Empat orang itu menyingkir ke samping, merapat ke dinding. Dan tanpa ragu Arina berlalu pergi, diikuti dengan langkah tergesa Elaine dan Clyde di belakangnya.
" Sebenarnya kamu mau bertemu siapa?" tanya Jinso yang menyejajari langkah Arina.
Arina urung untuk menjawab saat dirinya tiba di ujung lorong. Ada dua penjaga di depan pintu yang langsung pasang tampang waspada saat melihat Arina.
" Nona!"
" Manajer kalian di dalam, kan?"
Dua orang penjaga itu mengangguk ragu. " Ya."
" Kalian tunggu di sini. Aku akan masuk sendiri."
Arina memberi isyarat pada Jinso dan dua orang lainnya agar tidak mengikutinya masuk. Melainkan mereka harus tetap di depan pintu dan waspada jika terjadi sesuatu pada Arina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Death Line
Action. . . [15+] . . . Hidupnya abu-abu. Itulah yang ia sadari sejak dulu. Dan tidak akan berubah, entah sampai kapan. Karena ia memang tak menginginkan perubahan, dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Namun tiba-tiba saja, ia mendapati j...