Line -52-

413 43 2
                                    


.
.
.

#-#-#

Satu-persatu orang-orang itu memasuki ruang makan yang ada di lantai tiga. Gedung markas milik kelompok Brenda itu sebenarnya hanya menggunakan lantai dua sebagai kantor. Dua lantai atasnya merupakan tempat tinggal yang disiapkan Brenda untuk anak buah khususnya. Tiga pria tinggal di kamar di lantai tiga, sedangkan para wanita menempati kamar di lantai empat. Tapi untuk ruang makan dan dapur memang hanya ada di lantai tiga.

" Wangi sekali! Shirley, apa kau baru saja kerasukan hingga tiba-tiba berubah menjadi seorang koki?"

Itu adalah komentar Xavier. Pria itu mengucek matanya sebelum memakai kacamata. Alisnya kontan tertaut saat melihat Shirley hanya duduk menopang dagu di meja, meliriknya malas.

Sudah ada Emily, Hans, dan Richard di sana. Semuanya mengelilingi meja makan yang masih berisi cangkir kopi. Xavier segera menoleh ke arah meja dapur yang tak bersekat apapun dengan ruang makan. Di sana, Arina sibuk di depan kompor dengan spatula di tangan.

" Rin, kau memasak?" tanya Xavier.

" Shirley bilang ingin makan omelet, jadi aku membuatkannya. Tenang saja, aku juga membuatkannya untuk yang lain juga."

Tak berselang lama, Arina menyuruh Emily membantunya menyiapkan peralatan makan di meja. Ia sendiri membawa dua piring omelet, satu daging dan yang satu lagi berisi sayuran. Arina juga menyiapkan kentang tumbuk, sosis, dan beberapa roti panggang.

" Silakan."

" Aku tak menyangka kau bisa memasak menu sarapan kami," ujar Richard seraya menggambil sepotong omelet dan meletakkannya di piring.

Arina hanya tersenyum menanggapi. Tangannya bergerak mengambil sepotong omelet daging dan meletakkannya di piring Hans yang sejak tadi hanya diam. " Makanlah."

" Wow! Ini lezat! Rin, apa sudah ada yang mengatakan padamu bahwa kau ahli memasak?" tanya Shirley heboh.

" Sudah. Koki di kafe milikku sudah berkali-kali mengatakan kalau kemampuan memasakku sangat bagus. Makanlah yang banyak."

" Rin, aku akan melupakan dietku kalau aku tinggal bersamamu." Shirley masih lanjut berbicara meski mulutnya tak berhenti mengunyah.

" Ya, ya. Jangan bicara saat makan! Perhatikan etikamu di depan Tuan Muda," sahut Arina dengan nada rendah sembari melirik Hans yang menampakkan raut terganggu karena perilaku Shirley.

" Abaikan Tuan Muda. Dia selalu bersikap begitu."

Hans mendengkus keras. " Kita akan melakukan rapat setelah sarapan. Sebaiknya kalian bergegas."

Deringan ponsel milik Arina yang tergeletak di atas meja membuat Hans melirik si pemilik sekilas. Arina tersenyum simpul sebelum bangkit dari duduknya, berjalan ke dekat dinding kaca untuk menjawab panggilan.

" Halo, Jinso? Ada apa? Kau sudah sampai di sini?" tanyanya beruntun.

" Rin, aku diminta oleh atasanku untuk bergabung dalam investigasi kasus yang kau tangani saat ini."

" Ah," Arina mengangguk paham. " Pasti Etsuo juga memiliki kaitan dengan kasus ini, ya?"

" Benar."

Arina menoleh ke arah rekan-rekan barunya yang ternyata tengah memerhatikannya menelepon. Ia melambaikan tangannya sebentar sebelum berbicara lagi pada Jinso di seberang sambungan.

" Sayangnya bukan aku yang memutuskan. Tadi malam aku sudah mengusir orang-orang FBI, akan makin rumit jika kau ikut denganku. Dengar, Jinso. Silakan kau membuat penyelidikan sendiri dengan timmu, dan aku dengan timku. Kita bisa bertukar beberapa informasi sebagai gantinya karena kau tidak mungkin bergabung denganku."

Death Line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang