Line -19-

506 39 1
                                    


.
.
.

#-#-#

Arina berusaha menyeret langkahnya dengan beban di bahu kanannya. Ya, ia berusaha memapah Youren yang entah sadar atau tidak berjalan di sebelahnya. Dengan penuh perjuangan, keduanya sampai di tempat Youren memarkirkan motor. Arina berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan menaiki motor Youren dan mendudukkan gadis itu di belakangnya. Arina menyampirkan jaketnya ke punggung Youren, menarik lengan jaket merah itu hingga ke perutnya dan mengikatnya di sana. Setelah memastikan posisi Youren sudah aman di tempatnya, ia menstarter motor putih itu melaju pergi dari sana.

Kepalanya semakin berat, itu yang disadari Arina setelah berkendara beberapa menit lamanya. Ia melirik ke arah bahu kirinya yang tergores peluru, dan ia bisa merasakan bahunya yang cedera itu semakin nyeri. Dia memang sedikit memaksakan diri saat ini.

Tidak mau terjadi hal yang lebih buruk, Arina menghentikan motor Youren di depan sebuah taman sepi yang dilewatinya. Dengan langkah terhuyung ia memapah tubuh Youren yang sudah tak sadarkan diri, hendak mendudukkannya di sebuah bangku panjang. Namun belum sampai di tujuan, tubuh Arina roboh ke tanah. Tidak kuat menahan tubuh Youren yang berpostur lebih tinggi darinya. Arina merebahkan tubuh gadis itu di bawah pohon, lalu menutupi wajah Youren menggunakan topi putih yang dilepaskannya dari kepala gadis itu. Arina ikut merebahkan tubuhnya, bersisian dengan Youren.

" Ah, aku harus segera pulang."

Arina beranjak berdiri. Ia memandangi Youren yang masih berbaring untuk beberapa waktu. " Maaf, aku harus pergi. Aku yakin kamu baik-baik saja meski dengan luka seperti itu. Kamu kuat, Ren."

Setelah mengelus kepala Youren sekilas, Arina berjalan pergi dari tempat itu. Satu tangannya merogoh saku dan mengeluarkan ponsel yang sengaja ia matikan sejak ia kabur dari rumah sakit. Ia menyalakan ponselnya sembari berjalan keluar dari area taman. Matanya menyipit saat mendapati puluhan notifikasi masuk bersusulan tepat setelah ponselnya menyala. Ia sudah akan membuka menu telepon saat tiba-tiba tubuhnya terasa lemas dan kepalanya berat. Tubuhnya jatuh ke tanah. Dan sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, Arina bisa melihat aliran darah yang ternyata masih keluar dari luka di bahunya. Ah, benar. Ia baru merasakan sakitnya sekarang. Rasa nyeri cedera bahunya bertambah karena rasa panas yang menjalar dari luka yang menganga.

#-#-#

Tegang. Suasana ruangan klub eksklusif itu tampak sunyi meski ada beberapa orang yang duduk di sofa yang terletak di tengah ruangan. Arina duduk di ujung sofa panjang, di sebelahnya ada Neron yang tampak sibuk membaca berkas di tangannya.

" Egil bilang Drake menghilang. Kami nggak tahu alasannya dan ke mana dia pergi, jadi sampai sekarang kami nggak bisa mencarinya."

Ucapan Edmond beberapa menit yang lalu sepertinya berhasil membuat orang-orang di sana dalam keadaan waspada. Drake bukan orang sembarangan, tapi jika pria itu bisa tiba-tiba menghilang tanpa asalan, pasti ada suatu hal buruk yang terjadi.

" Terakhir kali kami bertemu, dia bilang mau menemui seseorang."

Kali ini Egil angkat bicara. Pria bermata cokelat terang itu mendongakkan kepala. " Dia bilang dia akan menemui orang bernama Arina."

Gerakan Neron yang membalik kertas di tangannya terhenti sesaat. Ekspresi bertanya muncul di wajahnya. " Arina? Arina siapa?"

Di saat Neron bisa mengimbangi pembicaraan orang-orang itu tanpa menampakkan gelagat mencurigakan, Arina justru berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia terus memainkan bolpoin di tangannya seraya sesekali melirik ke arah Egil dan Edmond bergantian. Ia baru tahu kalau Egil bisa berbahasa Indo, bahkan pria berkulit pucat itu tidak canggung menggunakan bahasa non-formal. Aneh, kapan pria itu belajar bahasa? Atau memang dia sudah bisa sejak awal?

Death Line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang