Part 18

97.8K 3.5K 134
                                    

Edward yang memutuskan mengambil tawaran Rio berarti harus berdamai dengan ayahnya. Pembangunan apartemen elit di Jakarta Selatan melibatkan investor dari Cina yang ingin bertemu langsung dengan penanggung jawab proyek tersebut. Edward harus menemui taipan kaya itu untuk meyakinkan uangnya tidak akan terbuang sia-sia jika berinvestasi.

"Ternyata kamu masih ingat jalan pulang," ujar ayah Edward saat putranya duduk di kursi rotan yang ada di sampingnya.

"Ayah selalu mengingatkanku jalan ke rumah dengan berbagai cara."

Pria berusia lebih dari setengah abad itu itu tersenyum kecil. Dia melipat koran yang dibacanya lalu menatap putra tunggalnya yang sedang sibuk dengan smartphone-nya. "Seorang ayah memang harus menunjukkan jalan pada anaknya agar tidak tersesat," ucapnya seraya meraih secangkir kopi di atas meja.

"Aku tidak ingin melalui jalan sesat yang ayah tunjukkan."

"Kamu pasti tahu pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohon...."

"Aku buah yang dibawa terbang kelelawar jauh dari pohonnya," potong Edward.

Ayah Edward tertawa kecil. Sekali lagi diseruputnya kopi hangat itu lalu diletakkan di tempatnya semula. "Lalu bijimu tumbuh jadi batang pohon sekuat ayahmu," ujarnya sambil membuka kembali koran yang tadi dilipatnya.

Edward tidak mengelak hal itu, "Aku akan merawatnya agar tidak membunuh tanaman lain."

"Tidak. Kamu akan mencengkeram tanaman itu jika tidak mau hidup berdampingan denganmu. Hanya dengan melilitnya menggunakan akar kuat, dia akan tinggal selamanya di sisimu."

Edward menarik napas, "aku tidak ingin seperti ayah." Suaranya lebih ditekankan pada kata tidak.

Ayah Edward membuka halaman berikut koran yang sedang dibacanya. "Aku juga tidak ingin anakku sepertiku dalam hal itu."

"Wah, pemandangan luar biasa sepagi ini. Seperti keluarga bahagia yang bercengkrama di pagi hari." Suara wanita paruh baya terdengar di belakang mereka. Baik Edward maupun ayahnya tidak ada yang menoleh. Mereka cukup tahu pasti siapa yang sedang bicara jadi tidak ada yang peduli. "Ya. Anak sama bapak sama saja," gerutunya mendekat lalu duduk di samping ayah Edward.

"Aku harus ke Cina." Edward mulai membicarakan tujuannya datang menemui ayahnya. "Rio bilang ayah tidak akan mencabut larangan terbangku ke luar negeri jika aku tidak ke sini."

"Kamu yakin itu bukan sekedar alasan?" Tanya ayahnya sambil tetap fokus pada bacaannya.

"Aku tidak akan berkeliaran di negeri orang lagi. Aku pasti kembali," jawab Edward.

"Ayah tidak percaya." Ayah Edward makin menenggelamkan kepalanya di koran lebar itu.

"Aku akan langsung pulang jika urusan di sana selesai."

"Karena?" Ayahnya masih ragu.

"Aku harus memberi makan kucingku." Edward tersenyum kecil. "Dia akan mati kelaparan jika aku tidak pulang," lanjutnya.

Ayah Edward mengangkat alis mendengar jawaban putranya. Dia menurunkan koran yang dibacanya lalu menatap lekat-lekat ke inti mata penerusnya itu.

"Kamu punya kucing?" Tanya ibu Edward yang sedari tadi diam sejak duduk di samping suaminya. "Aku kira kamu tidak suka kucing."

"Hanya kucing jalanan. Nanti setelah bosan aku buang lagi." Edward menengok screen smartphone-nya, memeriksa balasan pesan yang sedari tadi dikirimnya tapi sayangnya tidak ada.

"Jangan asal pungut kucing jalanan, Ed. Tidak steril. Nanti kalau kamu sakit, kan saya yang repot karena ayahmu khawatir."

Entah kenapa Edward merasa lucu dengan  perkataan wanita itu, "setidaknya kucingku tidak sepertimu," gumamnya.

Between Love & ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang