Part 23

79.7K 3.3K 97
                                        

Ingat vote & comment ya, guys.

Happy reading ^_^

🙂🙂🙂

Perasaan lelah dan letih memaksa May membenamkan diri di kasur. Dengan posisi telungkup dan tangan terbentang, kepalanya menghadap ke kiri, dia melihat dua kotak pizza di atas meja. Lapar. May sangat lapar tapi terlalu malas untuk bangun.

Mata May terpejam, mengingat kembali betapa bersemangatnya pria brengsek itu menggaulinya. Nafsu menulikan telinganya, membutakan matanya, hingga May terkapar dan masih memaksa mendapatkan pelepasan ketiga.

Buliran hangat keluar dari celah mata May. Genangan air yang sedari tadi ditahannya kini tak terbendung. Dia terisak dalam kesendirian, menggigit selimut agar tidak meraung menyesal.

Menyerah?

Membatalkan perjanjian bukan perkara mudah. Edward membuatnya sedetail mungkin. Awalnya May yakin bisa menjalaninya, tapi setelah kejadian tadi, dia mulai ragu.

May mendesah lemah, mengingat jumlah yang harus dibayar jika membatalkannya, terlalu jauh dari total jumlah di tiga buku tabungannya.

Mau tak mau, konsekuensi ditanggung May. Dia setuju, mengiyakan kemauan Edward. Hanya perlu menghindari terulang kedua kalinya.

Ponsel May berbunyi, di merogoh isi tasnya, mencari benda persegi empat panjang itu. Nama Weny terpajang di layar.

"Ha-lo We-ny." Suara May parau dan masih tersengut-sengut.

"May, kamu menangis? Aku belum marah-marah, loh. Belum mengatakan sumpah serapah."

"Maaf, aku tidak memenuhi janjiku." Ucapan maaf adalah hal utama yang harus dikatakan May demi kelangsungan pertemanan mereka.

"Jangan merasa bersalah terlalu cepat, tidak seru jika aku belum memakimu."

May tersenyum kecil menghapus ingusnya, "aku senang kamu menelpon."

"Kenapa? Kamu ada masalah? Tidak usah curhat, aku tidak akan peduli."

"Mendengar suaramu saja aku terhibur, masalahku jadi hilang."

"Sorry, May. Aku bukan wanita penghibur sepertimu."

May tertawa kecil, apa pun yang dikatakan Weny tidak membuatnya tersinggung. Gadis itu malah membuatnya lebih baik setelah menangis.

May bangkit dari tempat tidur lalu jongkok di atas kursi, menghindari nyeri di bokongnya. Dia membuka salah satu kotak pizza sedangkan tangan kanan masih menempelkan ponsel di telinganya.

"Kenapa tidak ke kampus hari ini? Persiapan seminarmu masih banyak yang belum beres." tanya Weny masih dari sambungan telepon.

"Karena itu aku butuh bantuanmu."

"Kamu benar wanita jalang yang tidak tahu malu," semprot Weny. "Ini ceritanya aku lagi marah makanya nelpon, bukan mau jadi asistenmu."

"Sepertinya aku baru bisa ke kampus lusa," kata May melihat bekas ikatan di tangan kirinya. "Urusan izin ruangan dan konsumsi peserta aku serahkan padamu."

"Kamu benar ada masalah? Berat? Berapa kilo?"

"Masalahnya akan selesai jika kamu membantuku."

"Baiklah, jika itu membuatmu lebih baik."

"Thank you, Weny sayang."

"Hahaha." Tawa Weny nyaring di telinga May, "ada sayangnya kalau ada maunya."

Between Love & ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang