Part 37

60.5K 3.4K 221
                                    

Lestarikan budaya vote & comment.

Enjoy your reading. ^_^

🙂🙂🙂

Perlahan May mengembalikan kesadarannya. Matanya mengerjap beberapa kali dalam kamar yang hanya diterangi lampu dari luar melalui jendela. Aroma tubuh yang masih dikenal indranya menusuk tajam. Dia menjauh dari dada bidang tempat kepalanya bersandar lalu lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya melonggar. Masih setengah terjaga May mendongak, refleks tangannya mendorong tubuh yang memeluknya setelah melihat wajahnya.

Bagai mimpi, kemarin malam May tidur bersama Edward dan menggoda oscar. Malam ini, dia malah terbangun di samping Nathan sambil berpelukan di atas lantai yang hanya dilapisi matras tipis.

Ini mimpi! Mimpi buruk yang menjelma kenyataan.

Pria yang ditampar May tadi sore itu pun terbangun. Saat dia masih berusaha terjaga sepenuhnya, tatapan tajam May sudah menusuk matanya. Dia malah menyeringai melihat wanita itu masih marah padanya.

Nathan duduk lalu melihat jam tangannya, pukul 2 dini hari. "Tidurlah agar kamu segar dalam perjalanan besok," ujarnya menguap.

May tidak berkutik, raut mukanya memendam amarah. Seringaian Nathan membuatnya ingin mengamuk tapi ditahannya agar Dafha tidak terbangun. Dia sudah meredam kemarahannya sejak tadi sore, sejak ibunya bercerita kebetulan yang disengaja. Kebetulan bertemu Nathan, kebetulan itu membuat adiknya cepat tertolong. Ibunya tidak berhenti mengucap syukur dan terima kasih saat bercerita apa yang terjadi.

Berbeda dengan ibunya, tamparan di depan pintu masuk rumah sakit adalah cara May mengungkapkan perasaannya terhadap kejadian itu. Sayangnya hanya sekali, tamparan yang kedua dicegah ibunya. Jadilah dia mendengarkan nasehat pembelaan terhadap orang yang mencelakai adiknya.

"Aku akan di luar jika itu membuatmu kembali nyenyak." Nathan menguap berkali-kali menoleh ke arah Dafha yang tertidur pulas di atas ranjang. "Tidak usah khawatir, dia akan baik-baik saja." Suaranya datar dan tenang.

Baik-baik saja katamu?! Dia akan baik-baik saja jika bukan kamu yang membuatnya terbaring di sana!

"Aku belum pernah ditampar sebelumnya." Nathan mengusap pipi kirinya. "Karena kamu yang melakukannya, aku maafkan kali ini," lanjutnya menghela napas berat.

"Lebih baik tidak ada maaf karena aku berencana melakukannya lagi," balas May dengan suara pelan namun tegas.

Nathan tersenyum sinis, "yang tadi saja aku berusaha memaklumi, jangan memancing emosiku." Tangannya hendak mengelus rambut May tapi ditepis. "Marahlah semaumu, yang jelas besok jangan seperti ini lagi." Dia bangkit meninggalkan May dalam ruang inap Dafha.

May menghapus dua aliran kecil di pipinya. Perlahan dia bergerak mendekati Dafha, memperbaiki selimutnya, memperhatikan perban di kepala dan lengannya. Tidak terlalu parah kata dokter, tidak ada tulang yang patah, semua organ tubuhnya berfungsi, tapi berbagai luka luar mungkin meninggalkan bekas di sana.

Pagi tadi, dua jam setelah Edward kembali tidur di samping May, Natasha menelponnya minta bantuan agar menemani Trisha sebentar karena mendadak ada urusan penting. May tidak tega membangunkan Edward minta izin. Dia juga sudah siap menerima konsekuensinya jika Edward marah.

Jam sembilan pagi May bermaksud kembali ke apartemen Edward setelah urusan Natasha kelar. Dalam perjalanan, May malah mendapat telepon dari ibunya. Taksi yang tadinya akan ke tempat Edward berubah arah ke terminal bus terdekat.

Seperti yang dikatakan Nathan, dia harus memastikan May tidak mengacaukan rencananya. Itu bukan ancaman, dia menunjukkan sebagian kecil yang akan dilakukan jika May tidak mengikuti kemauannya. Tindakan kecil baginya tapi nyaris merebut nyawa adik May.

Between Love & ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang