Part 42

58.2K 3.4K 77
                                    

Lestarikan budaya vote & comment.

Enjoy your reading, guys. ^_^

🙂🙂🙂

Sambil menunggu antrian di bank, May berpikir bagaimana mengurangi kecanggungan antara dia dan Edward setelah pertemuannya tadi pagi. Dia tidak mau hari-hari terakhirnya bersama pria itu hanya diisi awkward moment.

Antrian di bank cukup lama hingga May pulang melewati batas waktu yang diberikan Edward. Dia hanya bisa mendesah lemah menikmati makan siangnya saat melihat jam tangannya. Pukul 14:15. Hidupnya pasti makin ribet dengan kesalahan baru.

May sendiri bingung dengan kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Tidak ada yang berjalan lancar. Dia masih dilema dengan rencana pernikahannya bersama Nathan, ditambah masalah kecil dan besar selalu bermunculan di momen akhir perjanjian kerjanya dengan Edward.

Mungkin May terlalu percaya diri bisa mengatasi kedua pria itu, nyatanya tidak semudah yang dibayangkannya dulu. Walau sempat dia menghawatirkan sesuatu terjadi di antara keduanya gara-gara dia, tapi sepertinya malah dia yang harus was-was dari Edward maupun Nathan. May telah jadi mangsa dari kedua predator yang selalu mengintai ketenangan hidupnya.

Nathan sudah berbuat di luar batas yang bisa ditolerir May. Dengan kejadian Dafha, dia tidak bisa mempercayakan masa depannya dan keluarga pada pria itu. Sedangkan Edward, sejauh ini perlakuannya masih diterima May. Masalah hubungan seks yang berlebihan masih dalam tahap kemampuannya. Toh itu memang tugasnya.

Bertengkar dengan Edward selalu mengakibatkan deg-degan setiap May akan menekan password apartemennya. Pria itu selalu punya cara membuatnya segera mengidap penyakit jantungan. Jika bisa kembali ke dua bulan lalu, dia akan menolak takdir pertemuan dengannya. Pria itu seolah punya aura negatif yang menenggelamkan masa depannya.

Edward sedang fokus dengan laptop saat May masuk ke private room-nya. Dia sama sekali tidak peduli dengan kehadiran May. Karena dicuekin, tidak kena marah atau bentakan seperti biasanya kalau datang terlambat, May langsung mengambil posisi duduk di samping Edward lalu mengaitkan lengan mereka berdua. Laptop Edward hampir terjatuh tapi May masa bodoh.

"Ma-af," ucap May pelan. Seharian ini sudah berapa kali dia mengucapkan kata itu hingga lidahnya ngilu. "Antriannya lama jadi aku telat pulang. Hm..., dan juga aku...." Dia ragu. Kepalanya mendongak melihat reaksi Edward yang nyata terganggu dengan tingkahnya. "Singgah beli tiket nonton. Mau kan nonton berdua?" ajaknya semanis mungkin.

Tangan May yang melilit dilepas Edward dari lengannya. Pria itu memperbaiki posisi duduk yang didempet May agar bisa lebih leluasa menggerakkan kursor laptopnya. Matanya kembali mengamati berbagai laporan yang baru diterimanya via email.

May mendengkus kecewa tidak dihiraukan, alasannya singgah beli tiket bioskop sepertinya gagal. Wajar sih, wong dia pesan kursi via aplikasi doang.

Tangannya dilipat di atas perut lalu kepalanya miring bersandar di lengan Edward, sontak jari Edward yang sedang mengetik balasan email menekan beberapa huruf yang salah.

"Jam berapa?" tanya Edward menghela napas karena ketikannya jadi berantakan.

May tersenyum sumringah kembali melingkarkan tangannya di lengan Edward.

"17:40," jawabnya melirik jam tangan, "sejam lagi mulai. Mau, kan?"

Edward menoleh dengan ekspresi datar. "Kamu mandi dan ganti baju dulu baru kita pergi."

Wow, demi apa Edward setuju dengannya! May berdiri, hormat dengan jari tengah menyentuh pelipis, "siap!" katanya lantang lalu berlari kecil ke luar kamar. Edward tersenyum tipis setelah May menghilang di balik pintu.

Between Love & ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang