Entah berapa kali suara helaan berat keluar dari bibir mungilnya. Rasa lelah setelah menempuh perjalanan tanpa tujuan yang pasti, membuat tenaganya habis terkuras.
Deva Safira namanya. Gadis lugu dan cupu itu sedang mencari tempat untuk bernaung bersama ayahnya, Herman. Kehilangan sosok seorang ibu karena penyakit tumor yang beliau derita, membuat Deva dan Herman juga harus kehilangan rumah. Rumah yang penuh kenangan itu harus dijual untuk melunasi hutang-hutang Herman kepada rentenir. Herman terpaksa meminjam uang pada rentenir untuk pengobatan istrinya.
"Deva capek?" Tanya Herman.
Gadis itu menggeleng perlahan. Namun sekali lagi helaan berat terdengar. Langkahnya terhenti. Deva menoleh kepada ayahnya.
"Kita sekarang harus kemana lagi, Ayah?" Tanya Deva.
"Tante Rina gak mau nolong kita." Imbuhnya. Kakinya terlalu sakit untuk melanjutkan perjalanan. Deva berjongkok untuk mengurangi rasa pegal dikakinya.
Herman mendekati putri semata wayangnya itu. Herman menenangkan Deva. Menepuk pundaknya berkali-kali.
"Kita istirahat sebentar disini." Ujar Herman lembut. Mereka berteduh dari panasnya matahari di emperan sebuah ruko.
"Kita cari kontrakan aja yah," ucap Deva.
"Pakai uang tabungan Deva." Lanjutnya.
Herman menggelengkan kepala.
"Deva simpan saja untuk pindah sekolah nanti." Ucap Herman menolak. Deva menghela nafas.
"Ayah, sih! Tau gini mending gak usah ke kota! Toh, tante Rina emang dari dulu gak pernah suka sama kita!" Gerutu Deva. Ia menyandarkan kepalanya pada tiang baliho.
Herman tersenyum getir. Fakta bahwa adik iparnya itu tak suka dengannya perihal kasta. Herman berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun seharusnya tidak untuk Deva. Bagaimanapun, Deva keponakannya, anak dari kakaknya. Tak seharusnya Deva ikut menderita karna ketidakmampuan Herman.
"Deva lapar gak?" Tanya Herman mengalihkan pembicaraan. Deva hanya mendengus kesal.
"Kita cari makan yuk..." ajak Herman.
#####
"Vano!!!"
Suara cempreng yang setiap hari konser di rumah itu membuat Stevano Wijaya harus memutar musik lebih keras lagi. Headset yang bertengger di kedua telinganya itu ditarik paksa oleh Ny. Dahlia, mamanya Vano.
"Apaan sih ma!" Ucap Vano jengkel.
"Bantuin mama bentar," Rengek Dahlia dengan memasang muka imutnya dan menyatukan kedua tangannya, memohon.
Vano mengacak-acak rambutnya, frustasi.
"Mama belanja apa lagi sih sampe gak bisa bawa sendiri! Ganggu orang aja!" Gerutu Vano.
Dahlia nyengir kuda.
"Mama beli dongkrak." Jawab Dahlia ngaco
Vano mengerutkan keningnya.
"Dongkrak? Mama mau buka bengkel?"
"Buat bangunin kamu biar cepet bangun kalo dipanggil mama!" Ungkap Dahlia gemas.
"Apa hubungannya coba? Gak jelas!" Gerutu Vano seraya berjalan melewati Dahlia.
Dahlia mengekori anaknya itu.
"Kamu tuh, kalo dimintain tolong pasti banyak banget alesannya! Ayok, bantuin mama bentar!" Rengek Dahlia.
Namun, bukannya menuruti permintaan mamanya, Vano malah pergi ke dapur. Cowok itu haus setelah adu argumen dengan sang mama. Ia mengambil air dingin dari kulkas di depannya. Vano meneguk segelas air putih di tangannya hingga habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devano [Complete]
Teen FictionCover by: surya_arr70 Second story sebenernya tp yg first diunpub. Ngambang soalnya😆. Pure khayalan sendiri, so dont copy paste my story!!!😆😆. Plagiat? Minggir!!!! No nyinyir yes! "Jika huruf diawali dengan ABC Angka diawali dengan 123 Nada diawa...