Sang pengusik

5.8K 200 2
                                    

"Sorry" ucap Vano setelah Deva sadar.

"Gue gak tau lo punya magh kronis" lanjutnya. Raut wajah Vano antara takut dan khawatir. Deva merasa tak enak. Ia pun menenangkan Vano dengan tersenyum kaku.

"Gue udah gak apa-apa kok"

"Buktinya.. dokter bilang gak perlu rawat inap"

Wajah Vano pun berubah dingin kembali.

"Salah lo sendiri sih! Teriak minta tolong kek!" Sungut Vano.

Deva menelan ludah. Antara takut dan menyesal karna telah menenangkan 'singa' yang jelas-jelas tetap akan mengamuk!

"Jangan dibentak gitu atuh den..." ujar Bi Jumi di depan pintu kamar Deva. Ditangannya ada baki berisi dua mangkuk, bubur dan sup hangat. Bi Jumi menghampiri Deva. Deva nyengir kuda mendapat pembelaan dari Bi Jumi.

"Makan dulu non, setelah itu non minum obat" tutur Bi Jumi penuh perhatian. Vano kesal. Bi Jumi tak pernah memperhatikan Vano seistimewa Deva.

"Bi!" Bentak Vano.

"Bentar den, non Deva biar makan dulu" ucap Bi Jumi sambil menyuapi Deva. Deva sangat senang. Ia merasa kembali memiliki ibu.

Vano makin jengkel. Ia merebut mangkuk berisi bubur dari tangan bi Jumi.

"Ambilin buat Vano juga! Vano laper, biar Vano yang nyuapin" ucap Vano.

Bi Jumi tersenyum penuh arti. Sementara Deva hanya menatap Vano canggung.

"Jangan kepedean! Kalo lo gak sakit gara-gara gue, gue gak sudi nyuapin lo!" Ucap Vano sambil mengulurkan sesendok bubur ke mulut Deva. Deva terdiam. Ia masih menatap Vano.

Melihat Deva yang tak merespon, Vano pun ikut larut dalam tatapan Deva. Deva tersenyum simpul. Detak jantung Vano kembali tak beraturan.

"Gue udah maafin lo kok" ucap Deva. Ia mengambil mangkuk dan sendok ditangan Vano. Tak sengaja tangan mereka bersentuhan. Dingin. Tangan Vano terasa dingin. Deva meliriknya sekejap. Vano masih menatapnya lekat. Pipi Deva terasa panas.

"Gue makan sendiri aja" pinta Deva sambil menunduk karna malu.

"Ini den, sup sama buburnya" ucap Bi Jumi disamping Vano. Membuat Vano tersadar akan lamunannya. Vano menerima mangkuk itu. Ia berdiri dari king size Deva. Vano memilih makan di ruang tengah.

####
Dua jam berlalu. Sudah pukul 02:33. Tapi Vano masih mengaduk-aduk mangkuk di hadapannya. Supnya sudah dingin dan bubur yang terus diaduk-aduk kini berubah mencair. Namun detak jantung Vano masih belum kembali normal.

Bayangan akan senyuman Deva dan sentuhan tangan Deva masih terngiang di benak Vano. Berulang-ulang ia menarik nafas dan menghembuskan perlahan. Berharap agar ketenangannya kembali. Gagal!

Vano mengacak rambutnya karna frustasi.

"Lo gak tidur?" Tanya seorang gadis dibelakang Vano.

Deg.

Detak jantung Vano makin menjadi. Ia mencoba tetap tenang di depan Deva. Ia berdiri dan mematikan televisi yang sejak tadi menyala tanpa di tonton. Vano melangkah. Ia berhenti di depan Deva.

"Lo sendiri?"

"Insomnia gue kambuh kayaknya, gue denger suara dari televisi jadi gak bisa tidur" jelas Deva.

"Jadi lo gak bisa tidur gara-gara gue?" Tanya Vano menarik kesimpulan. Deva takut. Ia salah bicara lagi.

"Ma... mak.. maksud gu.. gu..gue.." Deva tergagap.

Vano menarik nafas. Ia mendekat perlahan ke arah Deva. Deva mundur perlahan. Perasaan takut dan gugup bercampur di hati Deva.

"Kalo gitu temenin gue" ucap Vano kemudian. Vano mendekatkan tubuhnya pada Deva. Deva makin terpojok.

Devano [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang