Jarak Pemisah

4.1K 135 0
                                        

"Kenapa?" Tanya Vano melihat kekasihnya senyum-senyum sendiri di balkon.

"Astaghfirullah... ngagetin mulu kerjaannya!!" Spontan Deva memgelus dada.

Vano mendekat. Ditangannya ada dua gelas susu hangat. Dahlia memyuruh Vano mengantarkannya untuk Deva.

"Ada apa kesini?" Tanya Deva.

"Nih." Vano mengulurkan segelas susu.

"Gak usah di anter nanti juga gue turun." Celetuk Deva sambil meletakan ponselnya di meja. Vano tak menanggapi. Ia menyesap susu hangatnya. Begitu pula Deva.

"Ngapain cengengesan tadi?" Tanya Vano.

Uhuuukkk uuhhuukk

Deva tersedak. Vano makin curiga.

"Pelan-pelan kalo minum." Ucap Vano. Deva mengangguk. Ia pun berlalu ke kamar mandi untuk ganti. Bajunya basah ketumpahan susu. Vano yang penasaran pun membuka ponsel Deva.

Vano tersenyum tipis setelah mengetahui yang di streaming Deva di Youtube. Ia pun kembali menutup ponsel Deva dan meletakannya kembali diatas meja.

"Seenggaknya, dia mulai merelakan kepergian ayahnya." Ucap Vano pelan. Ia pun melenggang ke kasur dan merebahkan diri.

Deva yang baru keluar dari kamar mandi pun terkejut. Ia menoleh kearah jam dinding.

"Jam segini tidur? Di kamar gue lagi! Woyyy bangun!" Gerutu Deva. Tak ada respon dari Vano, ia pun mendekat dan menggoyahkan tubuh Vano agar segera bangun dan pindah ke kamarnya.

Vano masih tak bergerak. Mendadak Deva panik sendiri.

"Jangan-jangan..." ucap Deva.

"Van, bangun Van! Vano bangun!" Deva histeris. Ia mengoyahkan tubuh Vano dengan kuat.

"Vano, bangun!"

"Apa sih brisik banget." Sahut Vano. Kesal karna di kerjain, Deva pun memukul bahu Vano keras-keras.

"Auuww." Vano menggerang.

"Gak lucu! Bangun! Pindah kamar lo sendiri!" Bentak Deva. Ia pun cemberut. Vano malah tersenyum.

Sebenarnya sudah lama, Vano tak memasuki kamar Deva. Karna gadis itu melarangnya menganggu saat ia sedang belajar. Dan berhubung sekarang ujian semester sudah selesai, jadi Vano berfikir ingin menganggu Deva.

"Lo gak kangen sama gue?" Tanya Vano.

"Kagak!" Deva masih tak menoleh.

"Bener?'

Deva diam sejenak sebelum menganggukan kepalanya sekali.

"Yaudah." Vano pun turun dan beranjak keluar kamar tapi Deva malah menggerutu tak jelas.

"Udah tau kangen, malah di kerjain! Dikira gak takut beneran!" Gerutu Deva seraya membenarkan posisi gulingnya.

"Jadi yang bener lo kangen ato takut kehilangan gue?" Sahut Vano di depan pintu. Ketahuan, Deva pun speachless. Vano menghampirinya. Deva pun kembali memasang wajah cemberutnya. Vano memeluknya dari belakang. Deva berjingkat saking terkejutnya.

"Lo terkejut?" Tanya Vano. Deva menggeleng cepat.

"Maksud gue, sedikit." Ucap Deva. Seulas senyum terbit di ujung bibir Vano. Ia makin mempererat pelukannya.

"Kangen." Ucap Vano berbisik tepat di telinga Deva. Deva merasa darahnya berdesir. Detak jantungnya berdegup lebih kencang seolah memompa darah lebih cepat. Ya, tak bisa di pungkiri Deva pun sangat rindu sosok Vano. Sepekan berpisah kelas dan harus belajar di kamar masing-masing. Terasa berbeda, seolah untuk sekian tahun mereka baru bertemu lagi. Deva dengan susah payah meneguk salivanya saat Vano mengecup leher jenjang miliknya.

"Jadi gimana rasanya?" Celetuk Vano. Deva bingung, ia pun menoleh. Ia menautkan alinya dan menatap Vano.

"Lo kangen gue, makanya streaming-nya adegan kissu. Pengen gue kissu juga gak?" Tanya Vano spontan. Deva menunduk malu. Ia mundur perlahan tapi tangannya di tarik Vano hingga ia terjatuh dalam pelukan Vano. Deva menunduk malu tapi Vano malah menarik pinggul Deva hingga tak ada jarak diantara mereka. Deva menatap kedua mata Vano. Vano mendekatkan wajahnya ingin mencium bibir Deva.

Tokk tookk tookk

Buyar semua. Vano melepas pelukannya. Ia menundukan kepala. Bukan marah tapi kesal karna terganggu.

"Gue buka pintu dulu." Pamit Deva. Deva berlalu melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Kenapa bi?" Tanya Deva.

"Anu non, den Vano ada disini? Bibi tadi muter-muter nyariin gak ketemu."

"Oh, ada kok bi. Emang ada apa bi?" Tanya Deva.

"Ada non Icha di bawah." Jawab Bi Jumi. Seketika Deva terdiam di tempat.

"Bilangin Vano gak dirumah bi." Sahut Vano yang sudah bersandar di sofa dengan komik ditangannya. Matanya tak berpindah dari komik itu.

"Eeem i-i-iya den." Bi Jumi pun turun dan menyampaikan pesan Vano. Deva masih mematung di depan pintu. Vano meliriknya. Ia pun menghampiri kekasihnya itu. Vano memeluk Deva dari belakang.

"Gak ada yang gue kangenin selain elo." Ucap Vano. Deva masih diam.

####

Sebuah mobil memasuki pelataran kediaman Wijaya. Seorang perempuan dengan dandanan rapi turun dari mobil itu.

"Selamat pagi, mencari siapa nyonya?" Tanya Bi Jumi sopan.

Perempuan itu membuka kaca mata hitamnya.

"Benarkah ini kediaman Hardi Wijaya?" Tanya perempuan itu.

"Benar." Sahut Hardi dari dalam. Kebetulan Hardi akan berangkat kerja.

####

"Jadi anda ini mencari Deva Safira anaknya Herman?" Tanya Hardi. Mereka duduk berhadapan di ruang tamu.

"Iya benar, kakeknya memerintahkan saya untuk menjemput non Deva." Ucap Rara, sekretaris kakek Deva.

"Kenapa baru sekarang kakek nyariin Deva?" Sahut Deva dari anak tangga. Ia baru saja turun untuk sarapan bersama tapi berhenti di anak tangga ke tiga dan mendengar semuanya. Rara berdiri dan membungkukan tubuhnya.

"Tuan sudah mencari nona berbulan-bulan yang lalu, tapi beliau tak mendapatkan kabar apapun."

"Sabar sayang." Ucap Dahlia memeluk Deva. Vano hanya diam di atas, mendengarkan.

"Saya paham, kakek Deva lebih berhak atas Deva, tapi biarkan kami membicarakan ini dulu." Ucap Hardi menengahi.

"Saya akan menyampaikannya, tuan. Jika begitu, saya permisi." Ucap Rara. Ia pun pergi.

####

Deva melamun di taman belakang. Liburan sekolah ini terasa begitu singkat bagi Deva. Vano pun menghampiri.

"Gak streaming lagi?" Goda Vano. Tapi Deva hanya menggelengkan kepala perlahan tanpa semangat.

"Gak usah sedih. Toh kita masoh bisa bertemu di sekolah. Gak baik juga belum sah udah serumah." Tutur Vano. Deva pun menoleh menatap Vano.

"Enak sih kalo tinggal ngomong doang, gue.. gue pasti bakal kangen banget sama tante sama om."

"Gue engga?"

"Gue belom selesai ngomong! Gue bakal lebih kangen lagi sama lo!"

"Kirain gak kangen sama gue."

Deva kembali murung.

"Lo kan gak pernah diapelin, jadi kalo gak serumah lagi kan gue bisa ngapelin elo." Hibur Vano. Deva pun tersenyum geli.

"Apaan sih."

Vano memeluk Deva. Seketika Deva terpaku.

"Gue bakal kangen banget sama lo. Jadi, mungkin gue bakal apel seminggu tujuh kali." Goda Vano.

"Sama aja dong!"

"Biarin."

Vano melepas pelukannya dan beralih mengenggam erat tangan Deva. Seolah tak ingin berpisah. Meski terbalut tawa dan senyum di kedua bibir mereka, tapi rasa sakit akan berpisah jarak ada di hati mereka masing-masing.

Devano [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang